MENGGUGAT PENGADILAN SESAT TERHADAP HRS
JAKARTA. Persidangan atas terdakwa Habib Riziek Shibab (HRS) di Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang dilaksanakan secara elektronik, teleconference (ONLINE), dimana Terdakwa berada di Rumah Tahanan Bareskrim, POLRI di Jakarta Selatan sementara persidangan itu sendiri diselenggarakan di PN Jakarta Timur, jelas merugikan hak hukum pihak Terdakwa.
Secara teknis persidangan ONLINE tersebut ternyata mengalami ganggungan audio secara fatal, dimana suara Terdakwa tidak bisa jelas dimengerti seluruh hadirin persidangan. Sebaliknya bagi Terdakwa, HRS, juga tidak bisa mendengar secara jelas apa yang diucapkan oleh pejabat-pejabat pengadilan di persidangan. Dus, terjadi diskoneksi antara hakim dan jaksa di satu pihak, dan Terdakwa di lain pihak.
Secara hukum, persidangan ONLINE seperti itu adalah suatu *“CONTRA LEGEM”* (Pelanggaran Hukum secara Nyata) oleh lembaga peradilan Indonesia. Suatu pencederaan atas azas _“fair trial”_ pada umumnya, dan secara khusus merupakan pemangkasan hak terdakwa untuk membela diri di depan persidangan.
KUHAP adalah aturan main dalam beracara di pengadilan pidana. KUHAP diberlakukan dengan undang-undang (UU No.8/1981), yang kedudukannya dalam hirarkhi perudang-undangan adalah urutan ketiga setelah UUD 1945 dan TAP MPR. Sementara itu persidangan ONLINE, diberlakukan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.4/2020, yang kedudukannya bukan saja dibawah UU, tetapi juga menurut UU No.12 /2011, PERMA tidak dikenal dalam hirarkhi perundang-undangan di Indonesia.
PERMA hanya mempunyai kekuatan mengikat secara internal yaitu berlaku untuk lingkungan Mahkamah Agung sendiri, tidak mempunyai kekuatan mengikat jika menyangkut kepentingan umum yang melibatkan Terdakwa.
Menurut KUHAP, Terdakwa harus dihadapkan ke ruang sidang secara fisik dan dalam keadaan bebas. Berarti perintah KUHAP adalah *mengharuskan persidangan dilakukan secara OFFLINE dan tidak dalam keadaan ditahan*. Untuk menyimpangi ketentuan ini, maka harus merubah KUHAP dengan instrumen UU juga. Tidak boleh disimpangi dengan perundang-undangan selevel PERMA.
Betul bahwa PERMA atau Peraturan Menteri (PERMEN) diakui keberadannya dalam praktek beracara dan bernegara, namun keberlakuannya harus atas perintah UU atau peraturan yang lebih tinggi. Dalam hal persidangan ONLINE ini, tidak ada perintah dalam UU atau KUHAP atau peraturan yang lebih tinggi dari PERMA yang memperbolehkan MA membuat PERMA untuk melakukan persidangan secara ONLINE.
Fakta bahwa terdakwa HRS berada di Rutan Bareskrim ketika persidangan berlangsung di PN Jakarta Timur sudah jelas menunjukkan pelanggaran nyata bahwa terdakwa disidang tidak dalam keadaan bebas. Fakta lain, kehadiran Terdakwa di ruang ONLINE di Bareskrim, *dipaksa dan didorong secara fisik* (setengah diseret seolah terdakwa adalah barang) telah menunjukkan bahwa *hak Terdakwa untuk hadir secara bebas telah dirampas oleh penyelenggara peradilan dan aparat negara*. Hal ini jauh dari sikap yang seharusnya ditunjukkan oleh aparat negara bahwa Indonesia negara hukum yang berkeadilan terhadap sesama anak bangsa.
Selain itu Majelis Hakim juga salah memahami atau malah sengaja memanfaatkan PERMA No.4/2020 untuk kepentingan politis dengan cara mengangkangi hukum. Jika kita perhatikan secara seksama pasal 2 dari PERMA aquo, maka untuk melaksanakan persidangan ONLINE harus atas persetujuan bersama dengan Terdakwa. Dalam hal ini HRS sebagai Terdakwa jelas telah menolak untuk disidang secara ONLINE. Sehingga menurut PERMA sekalipun, *Majelis Hakim telah melakukan kezoliman dengan melanggar hak Terdakwa.*
Kami sudah paham bahwa persidangan ini bersifat politis dari pada yuridis, sehingga kami sudah bisa memperkirakan 99% vonisnya adalah HRS bakal dijatuhi hukuman. Ketidakadilan ini sudah kami perhitungkan, sehingga kami tidak berharap ada vonis yang meringankan.
Namun ternyata bukan hanya vonisnya yang akan kita terima sebagai ketidakadilan, malah prosesnya pun merupakan kedholiman nyata. Alhasil ini semua menjadi lengkap sebagai suatu *peradilan yang sesat.* Lembaga peradilan telah berubah fungsi menjadi hanya sebagai *Lembaga Pemidanaan!*
Atas dasar hal-hal di atas, mengingat kasus HRS ini tak dapat dipisahkan dari peristiwa pembunuhan enam anggota Laskar FPI, maka Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Enam Laskar FPI menyatakan sikap sbb:
*Pertama,* mendesak PN Jakarta Timur yang mengadili kasus HRS agar menjalankan proses peradilan secara konsisten sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dengan senantiasa menghadirkan terdakwa secara OFFLINE di muka persidangan.
*Kedua*, meminta MA agar mengawasi dan memeriksa Jaksa maupun Hakim yang mengadili HRS yang menunjukkan sikap tidak independen, melanggar HAM, serta mengadili dengan tidak berasaskan _presumption of innocent._
*Ketiga,* mengingat kasus ini dinilai mengada-ada dan menjadi sebuah peradilan politik, maka transparansi dan makna “terbuka untuk umum” harus benar-benar dijalankan sebaik mungkin. Akses Penasehat Hukum kepada terdakwa dibuka seluas-luasnya demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
*Keempat,* terhadap perilaku tak pantas yang dilakukan oknum Jaksa maupun petugas yang terlibat dalam proses peradilan HRS, merupakan catatan yang harus ditindaklanjuti dengan sanksi hukum yang semestinya. Penghormatan kepada siapapun harus dilakukan, terlebih HRS adalah da’i, ulama, dan salah satu tokoh Islam.
*Kelima*, mendesak agar memberi penangguhan penahanan kepada HRS mengingat yang bersangkutan telah cukup usia, kondisi kesehatan, serta jaminan untuk tidak lari atau menghilangkan bukti. Wibawa hukum dan pengadilan patut untuk dipulihkan kembali setelah dua kali persidangan yang memperlihatkan kegaduhan, invalid secara hukum, dan tidak menunjukkan proses peradilan yang berwibawa.
Demikian gugatan TP3 ini disampaikan demi tegaknya kebenaran dan keadilan, sekaligus sebagai wujud tanggungjawab kami demi tegaknya Pancasila, nilai kemanusiaan, kemuliaan umat, kehormatan bangsa, dan martabat negara. Atas Nama Anggota TP3 M. Amien Rais (Dewan Penasehat) Dan Abdullah Hehamahua (Ketua). (RUL)