advertisements
advertisements
advertisements

Pembangunan, Ketimpangan dan Modal Sosial

Oleh : Jousairi Hasbullah
Pembangunan adalah proses mengembangkan kapabilitas, memperluas pilihan, memperkuat sense of efficacy, mengakui daulat masyarakat, bermartabat dan menjadikan masyrakat happy.
Cara melakukan pembangunan terus disesuaikan. Dari paradigma pertumbuhan (tahun 1970an), pemenuhan kebutuhan dasar/basic needs ( tahun 1980an) sampai ke era terbaru saat ini yaitu era SDGs yg ditandai dengan tidak hanya rakyat sebagai subjek tapi juga making people happy and satisfied with their lives.
Alat mengukur keberhasilannya pun berubah. Di era pertumbuhan ukuran dominannya adalah PDB, kemampuan mengakumulasikan nilai tambah. Era pemerataan, ukuran seperti indeks L, Indeks Theil, Gini Rasio, ukuran pemerataan WB semakin penting. Di era MDGs-SDGs cara mengukur keberhasilan secara komposit mulai bergeser ke Subjective Well-being and rely on people’ judgement. Artinya ukuran-ukuran yg didasarkan pendekatan subjektif mulai mendapat tempat wabil khusus “happiness index”
Di semua tahapan strategi tersebut mengusung kekuatan dan kelemahan.
Era pertumbuhan inflasi lebih terkendali dari sebelumya karena melimpahnya ketersedian barang dan jasa. Di eranya basic need, kemiskinan turun cepat sebagai akibat intervensi pemerintah yg menggunakan bagian dari kue pertumbuhan untuk disalurkan langsung ke masyarakat.
Di Indonesia strategi basic need ini diejawantahkan dan dikenal sebagai Delapan Jalur Pemerataan. Dintensifkan selama khususnya Pelita 3 : 1 April 1979- 31 Maret1984.
Strategi Pertumbuhan menghasilkan penumpukan kekayaan yg luar biasa di kelompok atas, penderitaan di kelompok bawah. Revolusi hijau di pertanianpun membawa korban semakin termarginalkannya petani gurem karena ekspansi lahan petani kaya. Ketimpangan makin melebar.
Di tahun 1976 Angka Gini 0.34 meningkat cepat menjadi 0.38 di tahun 1978.
Ketika di tahun 1980an Orde Baru mengadopsi delapan jalur pemerataan, Angka Gini relatif stabil di kisaran 0.33. (tahun 1981 Gini Rasio 0.33 di tahun 1984 di akhir Pelita 3, besarannya tetap sebesar 0.33). Era ini berhasil menurunkan ketimpangan ( walau kemudian parah lagi) Juga kemiskinan. Di awal Pelita 3, 1980, angka kemiskinan sebesar 29, 04 persen, turun menjadi 21,18 persen di tahun 1984, bahkan di tahun 1996 angka kemiskinan turun menjadi 12.3 persen. Luar biasa.
Akan tetapi, angka ini ternyata sangat labil (walau persoalan konjungtur seperti krisis 1998 relatif tidak terlalu berpengaruh pada UMKM..bahkan disebut sebagai penyelamat ekonomi. Tidak terlalu buruk pengaruhnya pada sektor informal dan sektor pertanian pedesaan..tapi angka kemiskinan justru meroket)
Angka kemiskinan yg di tahun 1996 sudah rendah 12.3 persen, melejit tinggi menjadi 25,72 persen di tahun 1998.
Apa maknanya?
Data itu berbicara bahwa di era delapan jalur pemerataan, pemerintah mampu menyalurkan bantuan-bantuan ekonomi pada kelompok bawah, tetapi seketika rakyat ambruk ketika bantuan itu terhenti. Penurunan kemiskinan yg cenderung semu.
Upaya membangun kapabilitas, enlarging choices dan upaya saling mengangkat dari dan untuk masyarakat bawah tidak terbangun. Dan itu terjadi sampai hari ini.
Mengapa? Karena Modal Sosial Lemah.
Dari Zaman pak Harto sampai zaman ini modal sosial kita lemah. Bahkan seperti saya tulis di Kompas ( 3/9/2018) dari zaman ketika Belanda pertama mendarat, karakteristik modal sosial kita udah lemah. Kita kurang memiliki integritas. Trust dan kemampuan menjaganya antar anak bangsa lemah, eksternalitas positif (derajat empatik terhadap yg lain) juga lemah. Karena itu upaya keberpihakan yg sungguh-sungguh pada rakyat bawah juga minimalis. Lebih baik menyalurkan sembako langsung (ada feenya) dari pada secara sungguh-sungguh berusaha memahami mereka yg dibawah dan memberdayakannya. Lebih baik impor beras, bawang, garam, sayur-mayur dan banyak lagi yg lain ( karena keuntungan pribadi berlipat) dari pada secara empatik ikut membangun dan memberdayakan petani miskin. Daya resiprositas kita begitu lemah.
Trust dan eksternalitas lemah adalah sumber utama pendorong perilaku korup. Mari kita lihat dari sisi petty corruption misalnya. Hasil Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK) BPS tahun 2019 saja, Indeks kita 3.7 dari skala 0-5. Semakin mendekati 5 makin baik. Artinya banyak masyarakat yg anti korupsi tapi juga masih sangat banyak yang permisif terhadap korupsi. Korupsi mengakar di masyarakat dan di pemerintahan ( termasuk legislatif dan yudikatif) .
Modal sosial dengan eksternalitas positif yg lemah dg trust yang rendah akan menghasilkan masyarakat dg daya saing dan produktivitas yang rendah (baca bukunya Robert D Putnam) Bagaimana posisi kita? World Economic Forum meneliti Global Competitiveness Index dan menempatkan Indonesia di posisi ke 50 jauh di bawah Malaysia di posisi ke 27 dan Thailand di posisi ke 40. Data dari APO ( Asian Productivity Organization menempatkan produktivitas Indonesia per pekerja 2016 hanya US $ 24.900, Singapur US $ 131 900, Malaysia US $ 56 400 dan Thailand US $ 28.300. Kita jauh tertinggal. Daripada meningkatkan produktivitas dengan serius, kekurangan produk lebih mudah ditutupi dengan impor.
Modal sosial terutama dari dimensi resiprositas yg menguatkan daya tolong-menolong: vertikal dan horizontal juga belum terlihat tanda-tanda menguat. Tidak akan terjadi kemiskinan akut dan ketimpangan yg parah, jika saja daya resiprositas sesama masyarakat kuat. Tentu banyak variabel non sosial yg ikut memengaruhi kecenderungan2 yang disebutkan, tetapi seperti yg dikatakan oleh Francis Fukuyama dan Putnam bahwa peran modal sosial sangat besar dalam menentukan tingkat kesejahteraan suatu bangsa.
Sebetulnya strategi pembangunan apapun, jika modal sosial kuat akan menuai keberhasilan dan kekuatan bangsa. Tidak ada strategi basic needs dalam pembangunan Jepang pasca kehancurannya. Fukuyama dan Inoguchi mengatakan, modal terbesar Jepang adalah Modal Sosial yg tinggi. (RUL)
advertisements

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× HUBUNGI KAMI