Implementasi Kebijakan Satu Data Jadi PR Aksi Stranas PK 2021-2022
JAKARTA. Dalam pelaksanaan Aksi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) 2021-2022, implementasi kebijakan satu peta dan satu data perlu ditekankan kembali karena capaiannya belum memuaskan dalam capaian Aksi Stranas PK 2019-2020. Hal ini disampaikan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo dalam acara Peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi Stranas PK 2021-2022, secara virtual, Selasa (13/04).
“Salah satu permasalahan yang sampai sekarang belum mencapai poin hasilnya adalah implementasi kebijakan satu peta. Ini baru mencapai 68,57 persen,” ujar Tjahjo.
Kendala dan tantangan untuk mewujudkan kebijakan tersebut berkaitan dengan SK, lampiran peta dan peta digital, serta perizinan. Izin yang diterbitkan sebelum tahun 2013 banyak yang tidak terdokumentasi dengan baik. Selain itu, banyak terjadi perizinan yang sudah tidak sesuai, diantaranya IUP lebih luas dari ILOK, perusahaan tidak operasional, dan tidak adanya titik koordinat.
Meskipun demikian, capaian pada fokus pertama, yakni perizinan dan tata niaga meraih rata-rata persentase capaian di atas 90 persen dalam Aksi Stranas PK 2019-2020. “Nomor induk kepegawaian dan bantuan sosial capaian sudah mencapai 89,99 persen. Kemudian yang berkaitan dengan integrasi dan sinkronisasi data informasi strategis sudah mencapai 93,23 persen,” jelasnya.
Tim Nasional Pencegahan Korupsi telah menetapkan fokus Stranas PK untuk tahun pelaksanaan 2021-2022. Dalam kesempatan ini, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri turut menjelaskan lebih rinci fokus Stranas PK untuk tahun pelaksanaan 2021-2022. Tiga fokus Stranas PK adalah perizinan dan tata niaga, tata kelola keuangan, serta reformasi birokrasi dan penegakan hukum.
Selain melaksanakan Stranas PK, KPK menunjukkan komitmen dalam memberantas korupsi dengan tiga cara. Pertama, melalui pendidikan masyarakat supaya tidak melakukan tindak korupsi. Kedua, pencegahan dan perbaikan sistem supaya tidak terjadi celah peluang untuk korupsi. Ketiga, melakukan penindakan untuk menimbulkan rasa takut untuk melakukan korupsi.
Korupsi tentunya akan mengganggu upaya pemerintah dalam menjalankan perlindungan sosial, pembangunan nasional, serta kegiatan untuk memajukan pendidikan dan mutu kesehatan. “Artinya, kalau korupsi itu terjadi maka tujuan nasional pun akan terganggu karena perlambatan pembangunan nasional, jaminan sosial, kesejahteraan rakyat, dan program-program yang harus kita laksanakan,” tutup Firli. (RUL)