Breaking News
TANGERANG–Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memiliki peran penting dalam menjaga isi siaran media massa, baik televisi maupun radio, melalui konten-konten yang ditayangkan. Oleh karena itu, KPI perlu memastikan bahwa isi siaran harus mengutamakan kepentingan publik dan selaras dengan norma dan nilai yang berlaku. “Penggunaan frekuensi milik publik oleh penyelenggara penyiaran harus benar-benar diawasi agar isi siaran bermanfaat untuk kepentingan publik dan menjaga nilai kebinekaan di masyarakat,” ujar Wapres pada Peringatan Hari Penyiaran Nasional ke-91 dan Pembukaan Rakornas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) 2024, di Indonesia Convention Exhibition (ICE), Jl. BSD Grand Boulevard Nomor 1, Pagedangan, Tangerang, Banten, Senin (24/06/2024). Sebab menurut Wapres, sebagaimana digaungkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, demokratisasi penyiaran sepatutnya dapat menumbuhkan ekosistem penyiaran nasional yang sehat dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Pelayanan informasi yang sehat tentunya mengedepankan prinsip keberagaman isi agar masyarakat dapat menikmati berbagai jenis pilihan program yang bermanfaat,” jelasnya. Di samping itu, Wapres juga menyebutkan bahwa penyiaran nasional memiliki kontribusi yang besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Adapun kontribusi tersebut antara lain pendapatan iklan, penyediaan lapangan kerja, promosi sektor pariwisata, dan penyaluran edukasi masyarakat. “Untuk itu, KPI hendaknya tetap mengawal prinsip keberagaman kepemilikan dan pengembangan ragam konten penyiaran, demi membangun iklim persaingan yang sehat, tidak dimonopoli, atau memihak kepentingan kelompok tertentu,” imbaunya. Menutup sambutannya Wapres menekankan, di era digitalisasi ini, penyiaran tidak hanya membuka peluang partisipasi bagi tokoh penyiaran baru, tetapi juga meningkatkan tanggung jawab KPI untuk terus menjaga kualitas dan integritas informasi yang disalurkan. Oleh karena itu, ia meminta agar KPI mampu mengimplementasikan tolak ukur dalam memastikan sumber informasi yang cepat, akurat, dan kredibel. Baca Juga: Dosen-dosen, Jadilah Pengajar Handal Faham Dunia Usaha “Untuk itu, penyiaran nasional harus menjadi barometer sumber informasi yang cepat, akurat, dan kredibel bagi masyarakat,” pungkasnya. Hadir pada kesempatan ini di antaranya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga, Pj. Gubernur Banten Al Muktabar, Ketua KPI Pusat Ubaidillah, dan para Ketua KPI Daerah beserta jajaran. Sementara Wapres didampingi oleh Kepala Sekretariat Wapres Ahmad Erani Yustika, Deputi Bidang Administrasi Sapto Harjono W.S., Staf Khusus Wapres Bidang Komunikasi dan Informasi Masduki Baidlowi, Staf Khusus Wapres Bidang Reformasi Birokrasi M. Nasir, Staf Khusus Wapres Bidang Umum Masykuri Abdillah, Staf Khusus Wapres Bidang Politik dan Hubungan Kelembagaan Robikin Emhas, dan Tim Ahli Wapres Farhat Brachma. Yerusalem (SI Online) – Pemimpin Gerakan Islam di wilayah pendudukan tahun 1948, Syekh Raed Salah, menegaskan perlunya melakukan perjalanan ke Masjid Al-Aqsha Al-Mubarak. “Kami akan menjaga perjanjian dengan Masjid Al-Aqsha dan kami akan terus melakukan perjalanan ke sana.” ujar Syekh Salah dikutip dari Pusat Informasi Palestina, Ahad (14/7/2024). Dia menyerukan perjalanan ke Masjid Al-Aqsha yang diberkati di tengah banyaknya konspirasi Israel yang terungkap. Kemarin, puluhan ribu jamaah melaksanakan salat Jumat di Masjid Al-Aqsha Al-Mubarak, meskipun pasukan penjajah Israel mengalangi dan prosedur militer ketat di Kota Tua dan kota Yerusalem yang diduduki. Sumber-sumber di Yerusalem melaporkan bahwa sekitar 35.000 jamaah dapat melaksanakan salat Jumat di Al-Aqsha, melewati pos pemeriksaan militer penjajah Israel dan pemeriksaan ketat yang dilakukan di gerbang Masjidil Al-Aqsha. Jamaah berbondong-bondong dari Gerbang Damaskus ke Kota Tua untuk melaksanakan salat Jumat di Masjid Al-Aqsha, sementara pasukan penjajah Israel dikerahkan di halaman Kubah Ash Shakrah bersamaan dengan salat. Pasukan penjajah Israel memasang pos pemeriksaan militer di “Lions Gate”, bertepatan dengan warga Yerusalem yang berangkat untuk melaksanakan salat Jumat di Al-Aqsha. Khatib Al-Aqsa menekankan bahwa “tanah Yerusalem yang diberkahi dan kami tidak berselish mengenai hak ini, terlepas dari bencana dan pengusiran yang dilakukan oleh pendudukan. Al-Aqsha adalah hak ideologis dan historis yang mencakup seluruh umat Islam.” Khatib Al-Aqsha menyerukan untuk mempertahankan tanah ini dan memperbaharui niat untuk mengikatnya, untuk melindungi Al-Aqsha dan tempat-tempat suci Islam, dan untuk menggagalkan rencana dan konspirasi pendudukan yang semakin meningkat. Hati-Hati terhadap Yahudi! KIM Plus: Strategi Perang Politik ‘Kuda Troya’ Yerusalem (SI Online) – Otoritas pendudukan Israel (IOA) pada Kamis mengeluarkan perintah pelarangan terhadap khatib Masjid Al-Aqsha yang diberkahi, Syekh Ikrima Shabri, dengan melarangnya masuk ke tempat suci tersebut selama enam bulan. Perintah tersebut dikeluarkan setelah Syekh Shabri ditangkap pada 2 Agustus dan dibebaskan beberapa jam kemudian dengan syarat tidak boleh masuk ke tempat suci tersebut selama enam hari. Syeikh Shabri, 86 tahun, ditangkap dari rumahnya di lingkungan Al-Sawana di kota tua Yerusalem setelah ia melayat kepala biro politik Hamas, Ismail Haniyah, dan memimpin para jamaah dalam shalat jenazah selama khotbah Jumat terakhir di Masjid Al-Aqsha. Pengacara Khaled Zabarqa, salah satu anggota tim pembela Syekh Shabri, mengatakan bahwa perintah pengusiran IOA terhadap Syekh Shabri dari Masjid Al-Aqsha selama enam bulan merupakan keputusan yang tidak adil dan rasis yang merupakan bagian dari kampanye penghasutan yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok ekstremis Yahudi. “Ini adalah pelanggaran mencolok terhadap kesucian Masjid Al-Aqsha yang diberkati dan Otoritas Wakaf,” tambahnya. Pengacara Yerusalem, Hamza Qatina, mengatakan bahwa pengusiran Israel terhadap khatib Masjid Al-Aqsa, Syekh Ikrima Shabri, dari Masjid tempat ia telah menyampaikan khutbah Jumat selama 51 tahun, terjadi di tengah meningkatnya jumlah pemberitahuan serupa terhadap warga Yerusalem, yang secara terang-terangan melanggar hukum dan kebebasan beribadah.
advertisements
advertisements
Gambar Bergantian

Potret Kehancuran Demokrasi Indonesia: Masa Depan Partai Politik Oleh Farhat Abbas

Sedang terjadi tontonan nasional, bahkan sudah memasuki wilayah internasional. Itulah perhelatam  politik Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat (PD) di Sibolangit – Sumatera Utara (Sumut). Pasalnya, Moeldoko sebagai sosok kader partai lain (Wakil Ketua Umum HANURA) tiba-tiba menggalang kekuatan untuk menggapai posisi terpuncak PD: sebagai Ketua Umum.

Setidaknya, muncul dua pandangan yang sangat  kontras dan mendasar. Pertama, apa yang terjadi di KLB PD merupakan dinamika demokrasi, yang lumrah terjadi dalam panggung politik praktis. Meski, terdapat problem etik politik, tapi kancah politik saat ini memang masih dominan kedepankan kepentingan personal dan atau kelompoknya. Kedua, dinamika itu juga merupakan reaksi akibat dari problem internal partai PD. Ada sejumlah kepentingan elitis yang tidak terakomodasi kepentingannya pada stuktur kepengurusan baru PD pasca Kongres kelima PD 15 Maret 2020. 

 

Di sisi lain – menurut catatan internal fungsionaris PD di berbagai daerah – Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) – kurang memberi kesempatan untuk bincang-bincang saat beliau terjun ke daerah. Catatan yang terlontar, AHY lebih memperlihatkan diri sebagai sosok yang sangat elitis dan eksklusif. Bagai sang raja yang semua konsekuensi akomodatifnya harus ditanggung fungsionaris daerah. Semua ini menjadi faktor yang membuat sejumlah fungsionaris PD di daerah kaget dan sesungguhnya complain, kalua tidak dibilang tak suka dengan gaya kepemimpinan baru PD itu. Itu semua menjadi pintu masuk bagi para kader senior yang dipecat. Dan pelampiasan pembalasannya, di antaranya mengajak pihak eksternal: Moeldoko. Bagai gayung bersambut. Dan meletuslah dinamika PD sebagai konsekeunsi sikap menganut demokrasi yang berujung KLB.

 

Dinamika itu kian menguat. Hal itu sejalan dengan sikap pro-kontra KLB yang siap diselenggarakan. Fakta di lapangan menujukkan, kedua pihak – kubu AHY ataupun Moeldoko – sama-sama mempertaruhkan integritas. Caranya sederhana: menyandera dengan cara memberikan dana taktis, minimal, kesepakatan ikatan kompensasional. Di lapangan dijumpai, tak  sedikit kader dari DPD ataupun DPC bermain “kaki dua”. Dengan sikap pragmatisnya, maka berlaku prinsip siapa yang lebih besar, ia akan berikan suaranya. Jadi, ada problem integritas dan loyalitas. Ke mana berpihak, uang yang bicara. Ternyata, KLB terus berhasil terselanggara. Hal ini relatif menggambarkan ada perubahan peta politik dukungan yang mengarah pada Moeldoko. Sangat boleh jadi, Ketua KSP ini lebih besar memberikan kompensasinya. Karena itu, kita sulit untuk menyalahkan proses politik KLB. 

 

Yang perlu kita renungan mendasar, bagaimana masa depan partai politik (parpol) Indonesia akibat gempita politik yang – di mata sebagian publik – dinilai sebagai tindakan penghalalan segala cara (moral hazard) itu untuk merebut posisi Ketua Umum PD itu?

 

Potret parpol Indonesia ke depan itu perlu dibaca gegara panorama baru KLB PD di Sibolangit itu. Dalam wacana keilmuan, apa yang terjadi pada KLB PD itu jelaslah merupakan konsekuensi demokrasi yang tidak bisa hindari dinamika itu. Jika didiskursukan, maka yang perlu disoroti adalah problem etika berdemokrasi. Tapi, sorotan masalah etika hanya menilai sektor dua sisi: baik dan buruk, pantas dan tidak pantas. Dan cara pandang ini bisa subyektif. Tergantung dari sang penilai.

 

Namun demikian, tentang baik-buruk atau pantas-tidak pantas memang sungguh urgen untuk dikritisi. Jika atas nama demokrasi lalu membiarkan praktik penghalalan segala cara, maka dinamika politik bangsa dan negeri ini akan selalu diwarnai pemandangan konfliktual. Juga, akan selalu dihinggapi rasa was-was saat memasuki lingkaran kekuasaan. Sebagai ilustrasi faktual, apa yang dilakukan Moeldoko – menurut catatan sejumlah jenderal TNI – dinilai mencoreng nama baik korsa institusi TNI, dari sisi jatidiri, karakter dan mental. Problem psikologis ini menimbulkan tanda tanya, apakah posisi Presiden saat ini aman? Pertanyaan ini layak dilontarkan sejalan dengan hubungan dekat Moeldoko dengan Presiden sejalan dengan tugasnya sebagai KSP. 

 

Banyak purnawirawan TNI mencatat, hilangnya etika dan sikap tak tahu diri seorang Moeldoko, sangat mungkin terjadi penggoyangan kekuasaan Presiden. Meski prospektusnya kecil, tapi kudeta bukan sesuatu yang tidak niscaya dalam panggung kekuasaan. Saat perebutan kekuasaan dinilai tidak demokratis. Tapi, manakala berhasil mengkudeta, akan berubah posisi hukumnya: jadi sah secara hukum. 

 

Kita perlu menctat, apa yang dilakukan Moeldoko terhadap PD – secara langsung atau tidak – beliau menggambarkan sikap yang tak bisa berterima kasih kepada Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang telah membesarkan dirinya sebagai KASAD dan sampai Panglima TNI. Jasa baik itu dipandang sepi, sehingga dirinya berani membantai PD, yang jelas-jelas, SBY masih ada dalam PD. Hal ini perlu kita korelasikan pada karakter personal yang – bukan tidak mungkin – menjadi preseden baruk bagi Presiden. Sebagai pemilik karakter brutus, siapapun yang menghalangi ambisi politiknya akan disikat. Inilah yang harusnya diwaspadai, sebagai diri Presiden ataupun komponen elitis partai-partai politik (parpol) di tanah air ini.

 

Saat ini, banyak pihak menilai ilegalitas hasil KLB itu, karena pijakannya pada proses atau prosedur KLB. Menurut AD/ART PD 2020 yang hingga kini diakui Pemerintah, KLB PD Sibolangit tidak memenuhi syarat dasar. Di ataranya persoalan kehadiran peserta kongres minimal ¾ (75%) Pengurus wilayah dan 1/5 (50%) unsur Pengurus Daerah, di samping ketentuan adanya izin dari Ketua Majelis Tinggi Partai.  Semuanya dikangkangi. Inilah problem yuridis AD/ART yang akan diuji secara faktual oleh Menkumham, terkait jumlah pemilih suara dalam KLB dan keabsahan peserta sebagai pemegang mandat DPD ataupun DPC. Pemalsuan data sangat mungkin terjadi. Tapi, bisa jadi juga memang terdapat pembelot karena kalah saing dalam hal fulus.

 

Sebuah renungan, apakah Kementerian Hukum dan HAM selaku pihak Pemerintah akan mengabsahkan KLB PD di Sibolangit itu? Jika landasannya AD/ART tersebut di atas dan memang faktual terjadi manipulas data peserta KLB, tentu harus ditolak. Namun, apakah landasan itu akan menjadi acuan? Bicara hukum atau UU Politik, harusnya ya. Tapi, masalahnya proses politik perampokan posisi Ketua Umum PD melalui KLB itu tak akan lepas dari kepentingan politik kekuasaan.

 

Secara alibi, Pemerintah – boleh saja – menyatakan tidak terlibat dalam kancah politik internal PD. Namun, alibi ini akan dilihat nanti secara pasti. Jika KLB PD Sibolangit itu diabsahkan secara hukum, maka publik secara umum semakin yakin adanya sinyal keterlibatan Pemerintah Pusat, meski sudah bekerja dengan rapi dan penuh dedikasi. Sinyal ini tak lepas dari posisi Meoldoko sebagai Ketua KSP, “tangan kanan kerumahtanggaan” Presiden, sehingga demikian menampak kedekatannya. Boleh jadi kalah dekat dengan para menteri lainnya. Akan semakin kentara ketika PD pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dibikin “linglung” di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bahkan juga, semakin terlihat kepentingan Pemerintah jika pihak kepolisian tidak memproses keadilan hukum karena ada proses pembajakan posisi Ketua Umum PD itu karena memang ada unsur pidananya.

 

Bagaimana sinyal ke depannya? Mengutip pernyataan Max Sopacua yang meyakini 1.000 % KLB PD Sibolangit akan disahkan Kemenhukham, hal ini cukup menggambarkan proyeksi dukungan politik dan hukum Pemerintah jauh sebelum KLB. Sinyal ini – jauh sebelumnya – sudah ditangkap, sehingga bola liar untuk merebut paksa Ketua Umum AHY semakin kuat. Dan – dalam tempo sesingkat-singkatnya – KLB PD bukan hanya berhasil terselenggara. Aparat kepolisian pun tampak tidak mau tegas mempertanyakan izin penyelenggaraan KLB. Bahkan, Pemda Sibolangit dan atau Pemprov. Sumut – atas nama disiplin protokol kesehatan Covid-19 – pun tidak tampak menegakkan kebijakan anti corona sebagaiama mestinya. Jika sejumlah kerumunan semasa pandemik ditegakkan aturan protokol kesahatan (prokes), bahkan ada yang kena sanksi tegas, mengapa kerumunan yang jelas-jelas terjadi full of body contact (bersentuhan) terbiarkan, meski mereka mengenakan masker, salah satu poin dalam menjalankan prokes.

 

Semua sinyal itu menyuguhkan fakta politik dan hukum. KLB PD versi Meoldok berhasil terselenggara. Dan dalam waktu relatif singkat, hasil KLB ini pun berpotensi disahkan. Ketika keabsahan itu sudah dikantongi, Moeldoko diperkirakan akan segera dilakukan perbersihan seluruh kekuatan pro AHY, yang ada di kepengurusan DPP, DPW atau DPD dan DPC. Dan secara inline sangat mungkin juga dilakukan pergantian antar waktu (PAW) anggota secara massal, terutama yang ada di DPR RI. 

 

Skenario itu untuk bersungguh-sungguh melumpuhkan kekuatan loyalis AHY, sekaligus memecah integritasnya terhadap penerus Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini. Sehingga – atas pertimbangan pragmatisme – para anggota Fraksi PD kemungkinan besar akan banyak berbalik badan: dari AHY ke Moedoko. Itulah – dalam waktu relatif singkat – akan terjadi PAW “massal” di tengah Fraksi PD, meski prosesnya tidak mulus. Bagaimanapun KPU punya landasan yuridis untuk menentukan tenggang waktu anggota DPR itu. Namun, KPU pun harus tunduk pada kemaun partai. Atas nama urusan internal partai, KPU tak punya otoritas untuk menolak kemauan partai. KPU harus menjalankan amanat UU.

 

Semua gambaran tersebut relatif mencerminkan campur tangan kekuasaan yang ada. Yang perlu kita baca lebih jauh, ke mana arah politik kekuasaan itu? Ada dua agenda yang perlu kita soroti. Pertama, agenda jangka pendek. Seperti kita ketahui, PD kini berseberangan dengan pemerintah. Sebagai partai atau fraksi oposisi bersama Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Meski secara komposisi minoritas (keduanya hanya memiliki 105 kursi dari 575 kursi DPR RI), namun tetap dinilai sebagai pengganggu proses politik legislasi. Sementara, di arena parlemen – meski baru terlihat “asap” mengepul – sedang digencarkan amandemen kelima: arahnya, perubahan masa jabatan kepresidenan, dari maksimal dua periode menjadi tiga periode. Sekali lagi, amandemen yang berterget politik pemanjangan masa jebatan masih sebatas spekulasi. Tapi, gerakan itu terlihat di lapangan. Karena itu – atas nama demokrasi yang beradab – potensi perusakan system demokrasi juga perlu kita kritisi dan sikap tegas.

 

Dengan mem-PAW-kan sejumlah anggota Fraksi PD, praktis PKS tinggal “seorang” diri. Meski tetap ada perlawanan, tapi tak akan seramai jika PD tetap solid terkait masalah jabatan tiga periode itu. Sebanarnya, tanpa harus membonsai Fraksi PD, pun politik legislasi di parlemen sudah dikuasai. Dan tetap akan mulus upaya amandemen kelima itu. Namun, mengapa harus tetap mengkerdilkan PD? Di sanalah kita perlu membaca agenda politik lainnya (agenda kedua).

 

Agenda kedua itu tak lepas dari proyeksi kontestasi kepresidenan. Tak bisa dipungkiri, AHY merupakan bintang baru. Daya magnetnya berpotensi besar untuk menyingkirkan populeritas kandidat lain yang sedang dipersiapkan, terutama Puan Maharani. Membaca peta politik ini, maka cahaya AHY harus diredupkan jauh sebelum pilpres. Dan penyingkiran AHY dari kursi Ketua Umum PD adalah langkah yang sangat efektif. 

 

Dari analisis tersebut, maka kita dapat membaca bahwa sinyal campur tangan kekuasaan lebih diperankan oleh partai penguasa. Pinjam tangan “petugas partainya” (Presiden). Membaca sketsa politik parpol penguasa, maka PD – di depan mata – bukan hanya akan hancur, tapi memang sedang dihancurkan secara sistimatis. 

 

Agenda tambahan pasca PAW sejumlah anggota DPR RI, Moeldoko sangat mungkin juga melakukan PAW sejumlah anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Juga, dilakukan pergantian pengurus PD loyalis AHY. Sekali lagi, atas nama pertimbangan pragmatisme, tidaklah sulit melucuti integritas seluruh kader PD pro AHY, meski sekarang ini masih tampak heroik menolak Moeldoko. Dengan demikian, sketsa politik PD ke depan memang akan berpuing-puing. Akan terjadi ketidakpercayaan publik (para pemilih setia PD) akan berpindah seiring dengan kepidahan para kader PD. Meski hal ini tidak dikehendaki Moeldoko sebagai konsekuensi pegang kendali partai, tapi skenario penghancuran ini sejatinya sudah diketahui dari awal. Beliau menjadi instrumen penghancur (the destroyer). Praktik politik seperti ini sudah sering kita saksikan sejak Orde Baru. Juga di era reformasi ini.

 

Semua strategi itu benar-benar untuk menyirnakan potensi AHY masuk dalam bursa pemilihan presiden (pilpres). Sah-sah saja dalam spektrum demokrasi, meski menjadi persoalan mendasar dari sisi konstitusi. Mengapa harus mengamputasi hak individu dalam memasuki kontestasi pilpres. Yang perlu kita teropong lebih jauh, apakah seluruh parpol kompetitor akan “didemokratkan”? Why not

 

Bagi parpol penguasa saat ini hanya ada satu opsi: siapapun yang bersebarangan dengan PDIP harus diinjak. Bukan hanya sulit bernafas. Tapi, harus mati suri. Dalam hal ini kita akan bisa membaca nasib Partai Golkar dan Nasdem. Kedua parpol ini masih mitra koalisi. Tapi – sejalan dengan pilpres 2024 – keduanya sudah pasang kuda-kuda. Akan berhadapan secara vis a vis dengan kepentingan Partai Banteng itu.

 

Masa Depan Parpol Indonesia

Di depan mata, gerakan sistimatis Partai Moncong Merah itu akan membuat kekuatan sejumlah parpol diperdaya. Setidaknya loyo, sehingga tak bisa bersaing secara powerful. Skenario politik devide et empera dalam internal parpol akan terus dikembangkan sebagai strategi umum pelumpuhan parpol lainnya. Masing-masing parpol kompetitor akan terus dibangun insoliditas internal. Terjadi sikap saling curiga. Dibikin konflik yang terangkat ke arena permukaan. Dan semua itu akan menciptakan kondisi tidak nyaman bagi para fungsionaris parpol.

 

Implikasinya, kinerja parpol menurun. Dan publik akan hilang kepercayaan kepada parpol-parpol yang dilanda konflik berkepanjangan itu. Parpol-parpol tersebut pun semakin sulit untuk membangun kemesraan dengan seluruh konstituen.

 

Potret bencana demokrasi itu, tidak berarti meniadakan blessing in disguise (himah). Bagi keluarga besar Partai Negeri Daulat (PANDAI), potret destruksi demokrasi menjadi peluang terbuka, sekaligus alternatif yang bisa diharapkan untuk menumbuh-kembangkan obsesi politik yang penuh nyaman. Dengan mengedepankan sistem “desentralisme” kewenangan, PANDAI yang jelas-jelas beda dengan seumlah parpol yang ada, para politisi dan atau calon politisi bisa merapat ke PANDAI. Selamat datang dan hayo berjuang bersama PANDAI.

 

Sikap apresiatif PANDAI bukanlah aji mumpung karena kisruh parpol yang sedang dibikin tidak nyaman. Tapi, PANDAI harus menawarkan sikap terbuka itu. Semata-mata untuk menyelamatkan demokrasi di negeri ini. Sementara, parpol merupakan salah satu pilar demokrasi. Karena itu, menyelamatkan parpol harus menjadi kesatuan agenda bersama. Penuh kesadaran kolektif. Kebersamaan dalam menghadapi parpol egois yang mendambakan partai mayoritas tunggal (single majority). 

 

Dalam literasi politik, hanya ada pada sistem partai komunis yang mengukuhkan politik mayoritas tunggal. Sebagai partai yang bernegara Pancasila, maka tak kata lain kecuali satu kata: lawan. Dan PANDAI memprakarsainya. Bersama-sama, kita kuat dan pasti mampu menyingkirkan kekuatan sang “Goliat” itu. Kebersamaan ini – sekali lagi – untuk menatap masa depan parpol yang tetap berfungsi. Untuk demokrasi Indonesia, saat ini dan ke depan.

 

Jakarta, 10 Maret 2021

advertisements

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *