SEKALI LAGI, KUDETA PARTAI DEMOKRAT MURNI KASUS POLITIK BUKAN KASUS HUKUM
[Catatan Hukum Kisruh Partai Demokrat dan Solusinya]
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah
Penulis ingin tegaskan kembali, bahwa kasus Kudeta Partai Demokrat oleh KSP Moeldoko adalah kasus politik, bukan kasus hukum. Kasus ini, bisa saja dibawa ke proses hukum, namun jika jalan ini yang ditempuh maka sama saja Partai Demokrat masuk alur peta kudeta yang telah dipersiapkan KSP Moeldoko.
PD-KLB (sebutan untuk kubu Partai Demokrat KSP Moeldoko) sejak awal telah menyadari betul bahwa tindakannya telah melanggar hukum, ilegal dan inkonstitusional. Karena itu, dalam ‘Master Plan’ kudeta juga telah disusun langkah hukum untuk mengantisipasi Gugatan dari PD-AHY (Kubu Partai Demokrat yang kubu sah dan legal).
langkah paling praktis dan taktis dalam berperkara secara hukum, adalah meminta back up kekuasaan. back up ini bisa dalam dua kondisi : Pertama, untuk mendapatkan SK Legalisasi dari Kemenkum HAM. kedua, untuk back up di pengadilan, baik untuk menghadapi Gugatan Perdata maupun Tata Usaha Negara.
Dalam hal ini, penulis tak merekomendasikan Partai Demokrat mengambil langkah hukum terhadap PD-KLB pimpinan KSP Moeldoko. meskipun, celah mengambil upaya hukum itu terbuka lebar, melalui :
*Pertama,* Gugatan Perbuatan Melawan Hukum atas diselenggarakannya Kongres Luar Biasa yang menyalahi AD ART Partai Demokrat, baik ihwal tidak absahnya penyelenggaraan, termasuk tidak absahnya keputusan-keputusan yang dihasilkan Kongres. Pintunya, banyak sekali dari soal Surat Mandat Peserta, Politik Uang dalam KLB, tidak ada ijin KLB yang dilaksanakan di masa pandemi, dan lain sebagainya.
Gugatan ini dapat diajukan ke Pengadilan Negeri Deli Serdang, yang berwenang mengadili perkaranya. Gugatan ini jika dimenangkan, dapat dijadikan amunisi untuk membatalkan SK Pengesahan dari Kemenkum HAM jika kelak diberikan kepada Pengurus PD-KLB.
*Kedua,* Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara yang diajukan ketika SK Pengesahan dari Kemenkum HAM kelak diberikan kepada Pengurus PD-KLB. Gugatan ini nantinya dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang berkedudukan di Jakarta Timur.
Upaya ini dilakukan, untuk membatalkan legalitas PD-KLB yang dikeluarkan Kemenkum HAM. Pada tahap ini, sudah dapat diketahui keberpihakan Penguasa pada kubu PD-KLB secara eksplisit melalui keluarnya SK Kemenkum HAM.
Sekali lagi, penulis tidak menyarankan dua upaya hukum ini. Berkaca pada kasus Kisruh Golkar kubu Aburizal Bakrie dan Kubu Agung Laksono, dapat diambil hikmah politik sebagai berikut :
*Pertama,* langkah hukum yang ditempuh oleh Ical (Aburizal Bakrie) tidaklah menyelesaikan persoalan politik yang dialami Golkar. mMeskipun kubu Ical menang dalam gugatan Perbuatan Melawan Hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan Gugatan TUN di PTUN Jakarta, namun Ical tidak mengeksekusi putusan itu.
Penyelesaian kisruh Golkar akhirnya selesai dengan menempuh upaya politik, yakni membuat Kongres Islah (Kongres Konsolidasi) yang melibatkan kedua kubu, dan akhirnya menunjuk Setya Novanto sebagai Ketua Umum Golkar. Kongres konsolidasi ini sebenarnya juga sudah masuk perangkap rezim, karena sejak kongres ini, Golkar dibawah kendali Novanto beralih mahzab menjadi mitra pemerintah. Padahal, sebelumnya dibawah kendali Ical Golkar sempat beroposisi dan menyulitkan rezim Jokowi.
Sejak kehadiran kongres Ancol, sebenarnya Ical sudah menyadari adanya keterlibatan unsur istana dalam kasus ini. Apalagi, intensnya Luhut Panjaitan dalam pusaran kisruh Golkar, yang punya motif ingin menarik gerbang Golkar ke kubu istana. Melalui Setya Novanto, ambisi istana tercapai.
Ical sendiri menyadari, jika langkah hukum terus ditempuh akan memunculkan keterbelahan partai Golkar dan ini akan melemahkan partai dan menjadi legacy politik yang buruk di era Ical. Ical akan dikenang sebagai Ketua Umum yang tidak bisa menjaga persatuan Golkar, disamping Golkar sebenarnya juga butuh bermitra dengan penguasa karena tabiat dan karakter politik Golkar tak biasa jauh dari kekuasaan dan menjadi oposisi.
*Kedua,* menempuh upaya hukum semisal dengan melakukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum terhadap kubu PD-KLB justru akan melegitimasi eksistensi PD-KLB. padahal, eksistensi PD-KLB dengan Ketua Umum KSP Moeldoko sangat berbeda dengan Kubu Agung Laksono hasil Kongres Luar Biasa Ancol.
Agung Laksono adalah kader bahkan kader inti dan senior Golkar. Berbeda dengan KSP Moeldoko bukan kader Partai Demokrat, terakhir tercatat anggota Partai Hanura.
KLB Golkar Ancol relatif legal, karena dihadiri oleh internal dan sejumlah petinggi Golkar. sedangkan KLB Deli Serdang, tidak dihadiri internal partai Demokrat kecuali sejumlah kader pecatan dan bermasalah. pemilik suara diketahui siluman, bahkan ada uang yang menggerakkan peserta untuk menghadiri kongres (walaupun janji uang 100 juta hanya ditunaikan 5 juta).
Karena kondisi yang berbeda ini, sangatlah keliru jika Partai Demokrat membawa sengketa Kudeta Politik ini ke meja pengadilan. Sebab, hal itu akan melegitimasi kedudukan KLB abal-abal kubu KSP Moeldoko.
*Ketiga,* Tidak boleh ada upaya islah dengan kubu KSP Moeldoko. jika terjadi, ini sama saja melakukan Islah dengan penjahat, islah dengan pembegal, islah dengan perampok.
Saat Ical mengambil opsi islah dengan melakukan Kongres Konsolidasi yang menghasilkan Setya Novanto sebagai Ketua Umum Golkar, itu relevan. Karena Agung Laksono dan sejumlah pengurus Golkar kubu Ancol, itu semua internal Golkar, kader inti, bukan kader pecatan. Mereka semua masih keluarga besar Partai Golkar.
Sementara itu, siapa KSP Moeldoko ? Nazaruddin ? Jhony Allen Marbun ? semua nama ini tak merepresentasikan anggota dan keluarga besar Partai Demokrat.
Karena itu, satu-satunya jalan adalah melawan secara politik dengan mendelegitimasi KLB Abal abal kubu Moeldoko, mencari simpati dan dukungan publik, melakukan serangan dan delegitimasi ke kubu penguasa agar jangan sampai menerbitkan SK Pengesahan bagi kubu PD-KLB, sampai kondisi itu tak memungkinkan bagi istana untuk melegalisasi kongres Abal Abal besutan KSP Moeldoko. Sebab, istana boleh saja punya otoritas melegalkan PD-KLB tetapi tak punya kekuasaan untuk mengambil legitimasi publik atas tindakan itu.
Kalaupun harus diambil upaya hukum, itu tetap dalam kerangka strategi politik. politik harus jadi panglima strategi, bukan hukum. Karena hukum sudah berada dibawah ketiak penguasa.
Publik akan ikut menghukum istana sebagai ‘Biang Kerok’ kisruh Partai Demokrat jika sampai mengeluarkan SK bagi kubu PD-KLB. Suasana ini, akan memaksa istana melepas mimpi mengambil alih Partai Demokrat melalui KSP Moeldoko.
Strategi politik ini, jika dipertahankan dan konsisten akan mendelegitimasi sekaligus menghapus entitas PD-KLB. Selanjutnya, PD-KLB hanya akan dikenang sejarah sebagai Kongres lucu-lucuan. Paralel dengan itu, strategi perlawanan ini akan meningkatkan elektabilitas Partai Demokrat ditengah kemarahan rakyat pada rezim.
Hanya saja yang wajib diingatkan kepada Partai Demokrat adalah ketika rezim mengubah strategi, dari memukul menjadi merangkul, mengorbankan KSP Moeldoko, dan mendapuk AHY menjadi salah satu menteri di Kabinet Jokowi-Ma’ruf. Apa yang akan dipilih Partai Demokrat ? tetap berkoalisi dengan Rakyat, atau merapat ke istana mengikuti Partai Gerindra yang sebelumnya juga beroposisi terhadap rezim ?
Penulis kira, terlalu mahal pengorbanan Partai Demokrat jika harus merapat ke rezim pada kondisi rezim mengalami krisis kepercayaan. Salah-salah, kemarahan rakyat kepada rezim akan dilampiaskan pula ke Partai Demokrat.
Partai Demokrat harus fokus berjuang bersama rakyat, fokus pada framing dan penguatan sosok kepemimpinan AHY dan peningkatan elektabilitas partai. Pemilu sebentar lagi, lebih baik bersabar sesaat untuk tidak tergiur pada tawaran kekuasaan istana, demi meraih kemenangan sejati yang lebih bermartabat. [RUL]