Oleh : Farhat Abbas Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Akhirnya, calon tunggal Kapolri Komjen Pol. Listyo Sigit Prabowo lolos fit and proper test DPR RI pada 20 Januari kemarin. Tiada resistensi publik. Tinggal menunggu pelatikan resmi Presiden. Dengan rasa hormat dan penuh harap, layak kita sampaikan, “Selamat datang, sebagai orang No. 1 di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Jl. Trunojoyo 3 – Jakarta. Selamat jalankan amanah sesuai komitmen mulia: untuk rakyat dan negeri ini yang jauh lebih bermartabat”.
Perlu kita catat, tidak mudah mewujudkan amanat mulia yang disampaikan Komjen Pol. Listyo saat fit and proper test di Komisi III DPR RI. Dari internal, Kapolri baru harus menghadapi realitas yang bukan rahasia lagi. Panorama koruptif di tengah lembaga Polri bukanlah pekerjaan ringan untuk diatasi. Saat lakukan pembenahan, Komjen Pol Listyo harus menghadapi perilaku dan mental eksploitatif yang selama ini sudah mengakar di lembaganya. Bahkan, harus membenahi format kebijakan yang disalahgunakan. Belum lagi, Kapolri baru yang melampaui empat angkatan dari sejawatnya juga menjadi problem psikologis tersendiri ketika harus menegakkan disiplin internal. Namun demikian, kendala internal yang sudah menstruktural itu memang harus dihadapi dengan spirit reformatif kuat. Demi kembalikan marwah atau wibawa Polri yang sudah sekian lama terkikis.
Sungguh cerdas sang Kapolri baru itu. Ketika siap melakukan komitmen reformatif itu, yang disasar adalah pembenahan kebijakan. Sebagai ilustrasi faktual, penilangan akan dilakukan secara eletronik. Berarti, aparat polisi lalu-lintas tak boleh lagi menilang para pengendara yang melakukan pelanggaran. Tugas utama satlantas adalah menciptakan kelancaran lalu-lintas, bukan mengejar pelaku pelanggaran yang berujung duit sebagai motivasi utama.
Pendekatan disiplin lalu-lintas ini memang perlu perangkat keras (sistem monitor elektronik) yang harus dipasang di setiap sudut. Dan praktis perlu waktu, baik dari sisi anggaran ataupun pemasangan. Namun demikian, imbas penegakan disiplin lalu-lintas tanpa tilang langsung di lapangan itu sungguh sangat mendasar (radikal). Sebuah langkah besar menuju institusi Polri yang bersih dan berwibawa, setidaknya di mata masyarakat lapis bawah yang selama ini sering menjadi target “pemerasan” atas nama tindakan indisipliner di jalan raya. Langkah ini – tak dapat dipungkiri – merupakan upaya menciptakan rasa aman bagi pengendara, sekaligus upaya menciptakan keadilan di arena jalan publik. Jangan sampai ada penilaian bahwa rasa nyaman dan keadilan di jalan umum hanya dimiliki oleh kaum tertentu yang bisa menyewa voorijder.
Tentu, bukan hanya di sektor perlalu-lintasan untuk membersihkan korupsi. Masih sangat terbuka lebar ruang lain terkait korupsi di institusi Polri. Karenanya, Kapolri baru juga menegaskan prinsip “hukum bukan hanya tegak ke bawah, tapi juga harus tegak ke atas”. Demi keadilan, bukan sekedar kepastian hukum yang sering mengesampingkan rasa keadilan.
Sebuah tantangan berat dalam pro penegakan hukum total adalah – pertama – harus memperlakukan sama terhadap pelaku penyalahgunaan wewenang dalam institusi Polri, yang terkait korupsi atau lainnya. Siapapun yang melakukan kejahatan dan atau pelanggaran harus diproses dan dikenai sanksi setelah terbukti kesalahannya. Sikap tegas ini – secara psikologis – tidak mudah, karena bagaimanapun ada korsa (jiwa satu corp). Namun, apa yang pernah dilakukan Kapolri baru terhadap jajaran di bawahnya yang terlibat pada kasus Joko Chandra menunjukkan komitmen penegakan hukum tanpa tebang pilih, meski terhadap oknum corpnya. Itulah tingkat distingsi Kapolri baru yang menyadari bahwa melindungi atau membiarkan aksi oknum jauh lebih membayahakan dan merusak institusi Polri. Karena itu, persekongkolan pro kejahatan di tubuh internal Polri harus diatasi.
Kedua, tantangan yang tidak ringan adalah kalangan eksternal Polri, yang – menurut teori – disebut the untouchable people, dari unsur penguasa dan atau inner circlenya. Bahkan, dari anasir partai politik dan atau ormas yang selama ini tergolong mesra dengan kekuasaan. Seperti yang kita saksikan bersama, ketika terdapat diskriminasi perlakuan hukum terhadap mereka, di sana terlihat benderang sikap publik yang nyinyir terhadap institusi Polri. Dengan bijaksana, Kapolri baru melihat persoalannya pada diskriminasi itu, bukan reaksi publik. Karena itu, untuk mengubah pandangan dan sikap publik yang nyinyir itu bukan dengan menyikapi secara hukum terhadap para “nyinyirun” itu, tapi kembali pada causa primanya: penegakan hukum yang juga harus tegak ke atas, bukan hanya ke bawah.
Prinsip hukum itu pula yang mendorong Kapolri baru menegaskan sikapnya: tak boleh lagi terjadi kasus Minah yang mengambil kakao lalu – atas nama hukum – dia ditindak. Dalam hal ini, Kapolri lebih mengedepankan nilai dan rasa keadilan dibanding kepastian hukum. Keadilan jauh lebih substatif dan sungguh dirasakan keadilannya. Dan itu yang kini telah hilang. Karena itu, Komjen Pol Listyo – di hadapan para anggota dan pimpinan Komisi III DPR RI – sampaikan konsep restorative justice. Untuk kasus-ksaus kecil tak perlu diproses sampai ke pengadilan. Cukup diselesaikan secara kekeluargaan atau secara damai.
Satu hal yang perlu dicatat, jika problem hukum nasional dapat dihandle dengan maksimal oleh Polri, korupsi – tidak tertutup kemungkinan Polri akan kembali menangani kasus korupsi yang kini sebagian besar dihandle. Dengan sendirinya, KPK yang bersifat ad hoc itu akan berakhir, lalu dikembalikan lagi ke institusi Polri sebagai proses awal penindakan. Agar tidak terjadi lagi manuver dua “matahari” dalam mengatasi korupsi, yang sempat memanas pada beberapa tahun lalu, bahkan sampai kini, meski – secara tersirat – masih terlihat kompetisi.
Di luar persoalan internal itu, cukup menarik dan layak kita cermati konsep menghadapi problem eksternal. Seperti kita ketahui, di alam demokrasi ini terjadi kebangkitan sipil dalam mengekspresikan haknya. Kadang dalam ragam unjuk rasa yang ekstensif. Dalam hal ini kita saksikan pula tindakan aparat kepolisian dalam menghadapi aksi massa, yang – sejauh ini – sering menimbulkan persoalan baru.
Meski Bhayangkara bermotto “melindung dan mengayomi masyarakat”, tapi – in practicum – tak sedikit petugas di lapangan melakukan tindakan brutal terhadap para pengunjuk rasa. Tidak hanya dengan senjata pentungan, tapi juga tindakan fisik (tendang dan pemukulan), bahkan muntahan peluru panas, sehigga terjadi kewafatan. Brutalisme itu menuai kritik tajam dari masyarakat sipil. Dalam beberapa hal, publik yang tidak terima dengan perlakukan sadis itu bukan mencari keadilan ke ranah domestik (Polri), tapi mencari keadilan ke arena internasional.
Menyadari problem penanganan itu, maka menarik untuk kita telaah ketika Kapolri menegaskan bahwa penegakan hukum yang tetap harus profesional, tapi juga harus humanis. Salah satu refleksinya, petugas di lapangan tak dipersenjatai. Komitmen humanistik ini sungguh luar biasa. Menjunjung tinggi harkat manusia. Sikap ini sesungguhnya merupakan kata kunci dasar dalam menghadapi dinamika publik yang demokratik ini. Bagaimanapun, tindakan bersenjata terhadap masyarakat bukan hanya menodai esensi negara demokrasi, tapi menodai citra lembaga yang mulia Polri. Dalam kaitan ini terlihat jelas kematangan psikologis dan cara berpikir Kapolri baru bahwa mengedepankan pendekatan otot (senjata) justru kontraproduktif bagi citra Polri. Sebaliknya, jika mengedepankan sikap kemanusiaan pasti dan pasti hasilnya sebuah pujian tulus terhadap insan kepolisian ini. Dampak kontigionya adalah rasa hormat kepada sang petugas. Ketaatan dana tau ketundukan yang penuh ikhlas terhadap apa yang diserukan Polri. Kalau orang Sunda bilang, “beunang laukna, herang caina” (dapat ikannya. Airnya tetap jernih). Artinya, tindakan yang diambil sangat efektif tanpa mengakibatkan kegaduhan.
And the last but not least, Kapolri baru ini pun membaca medan sosial-politik yang memanas, bahkan berpotensi berlanjut. Itulah hubungan Polri – ulama, habaib dan sejumlah pengikutnya. Sekali lagi, jika Polri tetap kedepankan otot, maka – secara teoritik dan empirik – ketegangan itu tak akan pernah berakhir. Meski terlihat mendingin, tapi – secara fatual – tetap membara. Bagai api dalam sekam.
Bagi Kapolri, hanya satu kata kuncinya: dialog. Inilah kata kunci yang cukup berpotensi untuk mengakhiri ketegangan sosial, bahkan politik. Dialog menjadi sarana komunikasi yang saling memahamkan sikap. Dari dialog itu pun akan terkonstruksi sikap baru yang saling memahami persoalan dan akhirnya saling menghormati. Sungguh kerangka solusi yang sangat radikal atau mendasar. Benar-benar memanusiakan. Dan itulah makna strategis pendekatan yang manusiawi.
Sikap, pandangan dan komitmen Kapolri baru sungguh konstruktif bagi elemen bangsa ini. Dan keluarga besar Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) yang commited dengan nilai kedamaian, keharmonisan, keadilan dan persatuan sudah tentu menyambut positif kehadiran Kapolri baru, Komjen Pol. Listyo Sigit Prabowo. Tentu bukan sekedar sambutan positif dan acung jempol. Tapi, apa yang harus dilakukan untuk – secara bersama-sama – mensukseskan agenda besar Kapolri baru ini.
Dan sejalan dengan catatan kendekatan secara personal, saya pribadi meyakini bahwa Kapolri yang baru – meski nonmuslim – akan mampu menjalankan amanat penegakan hukum secara adil. Tidak diskriminatif. Fakta dirinya yang pernah menjadi Kapolda Banten yang mayoritas masyarakatnya muslim tidak ada gejolak atau benturan hanya karena penanganan hukum yang berbasiskan keyakinan. Jejaknya selama mimpin wilayah Banten juga terkategori dekat dengan para tokoh muslim dan umatnya. Jadi, perlu ditepis tentang kecurigaan terhadap keberadaan beliau sebagai Kapori hanya karena perbedaan keyakinan. Selamat bertugas. (Jakarta, 22 Januari 2021)