JAKARTA – Kisah polisi teladan yang satu ini memang tak bisa lepas dari ingatan dan hati masyarakat. Siapa lagi kalau bukan mantan Kapolri Jenderal Polisi (Purn.) Hoegeng Imam Santosa yang dikenal tegas tak manfaatkan jabatan.
Meski di bawah panji rezim otoriter, Hoegeng pun tetap berpendirian teguh sesuai prinsipnya. Bergelimang harta dengan karier moncer justru membuatnya takut terbelit kemudahan hidup.
Melalui pemikirannya itu, seluruh anggota keluarga sang Jenderal juga terkena imbasnya. Istri dan anak-anak Hoegeng justru hidup pas-pasan. Berikut ulasan selengkapnya.
Hidup Sederhana, Tak Ada Barang Mewah
Salah satu saksi kunci keteladanan Hoegeng adalah sang istri, Meriyati Roeslani atau yang biasa disapa Merry Hoegeng. Sosoknya yang penuh inspiratif tak lain terilhami dari kepribadian sang suami tercinta.
Tak Terima Suap
Merry masih mengenang kejujuran suaminya. Salah satu yang ia kenang saat seorang wanita pelaku penyelundupan memberi barang, agar kasusnya tak dilanjutkan. Namun Hoegeng dan Merry memutuskan untuk mengembalikan barang itu.
“Ketika saya pulang ke rumah maka sebuah peti besar dari kayu dibuka. Hadiah-hadiah itu banyak sekali, antara lain, alat-alat mesin cuci listrik, alat-alat elektronik, bahan-bahan pakaian mahal dan banyak lagi,” kata Hoegeng saat itu.
Tak Ada Barang Mewah
Menjabat Kapolri tak lantas membuatnya tidur beralaskan emas. Rumah tak dipenuhi barang mewah.
Sebagai istri seorang perwira polisi, Merry juga tak menuntut apa-apa dari sang suami. Merry tetap mendukung Hoegeng untuk terus bersikap jujur meski harus hidup pas-pasan.
Larang Anak Masuk Akpol
Tak hanya sang istri, anak Hoegeng pun juga turut mendapatkan pelajaran. Saat masih menjabat sebagai Kapolri, Hoegeng bahkan sampai melarang anaknya untuk masuk ke Akademi Kepolisian (Akpol).
Sang anak, Aditya sempat marah. Tetapi, kemudian ia paham maksud baik dari ayahnya.
“Jadi tidak sama sekali. Saya kecewa sekali tapi saya bisa mengerti. Saya enggak pernah merasa anak pejabat,” kata Aditya.
Pilih Anak Bekerja di Bengkel
Aditya pun justru mendapatkan restu dari sang ayah untuk tetap bekerja di sebuah bengkel dan toko suku cadang milik Henky Irawan (pembalap ternama kala itu). Aditya tak malu lantaran pekerjaan itu halal.
“Bapak tak melarang saya bekerja di mana pun. Beliau hanya berpesan, dimana pun dan apa pun posisimu, bekerjalah dengan benar,” katanya menirukan sang ayah.
Perintahkan Istri Tutup Toko
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Merry membuka toko bunga. Kala itu, toko miliknya terbilang laris dan terus berkembang.
Sehari sebelum Hoegeng akan dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi tahun 1960, Hoegeng meminta Merry menutup toko. Ia menyebut, pekerjaannya kala itu rentan berurusan dengan toko milik sang istri.
“Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya,” jelas Hoegeng.
Merry paham maksud permintaan Hoegeng. Dia rela menutup toko bunga yang sudah maju dan besar itu.
“Bapak tak ingin orang-orang beli bunga di toko itu karena jabatan bapak,” kata Merry.
Tak Perkaya Diri & Tak Ambil Kemudahan
Sejak awal kemerdekaan, jawatan imigrasi dikenal sebagai sarang korupsi dan penyelundupan. Namun, ia justru tak pernah memanfaatkan jabatannya untuk mengeruk kekayaan. Padahal imigrasi dikenal sebagai sasaran empuk untuk memperkaya diri.
Sebagai kepala jawatan Imigrasi, Hoegeng masih tetap mengenakan seragam polisi. Dia hanya mau mengambil gajinya dari kepolisian.
Setelah bertugas di luar Polri selama enam tahun, Hoegeng kembali ke Korps Bhayangkara. Ia lantas menjabat Wakapolri. Tahun 1968, Hoegeng dilantik menjadi Kapolri.
Kisah Jenderal Polisi (Purn.) Hoegeng Imam Santoso seolah tak pernah sirna dari sejarah bangsa Indonesia. Mantan Kapolri yang menjabat pada tahun 1968 hingga 1971 ini berhasil menjadi sosok yang berbeda.
Ia diketahui memang selalu berani menyampaikan pendapatnya, meski bertentangan. Bukan main-main, Hoegeng dikenal tak menciut sekalipun berseberangan dengan Soeharto.
Hoegeng terus maju melawan ketidakadilan yang berada di hadapannya kala itu. Ia pun disebut menjadi polisi teladan sepanjang masa.
Bertentangan dengan Kroni Soeharto
Kasus pemerkosaan seorang penjual telur bernama Sumarijem di Yogyakarta menjadi perhatian, tak terkecuali dengan Hoegeng. Anak seorang pejabat dan seorang anak pahlawan revolusi diduga turut menjadi pelaku.
Proses pengadilan berjalan penuh rekayasa. Sumarijem yang menjadi korban justru menjadi tersangka. Hoegeng bertekad mengusut tuntas kasus ini. Dia siap menindak tegas para pelaku.
Lantaran hal itu, Presiden Soeharto sampai turun tangan menghentikan kasus Sum Kuning. Dalam pertemuan di istana, Soeharto memerintahkan kasus ini untuk dilimpahkan ke Team Pemeriksa Pusat Kopkamtib.
Selalu Berlawanan dengan Soeharto
Sebelum menjabat sebagai Kapolri, Hoegeng memang diketahui berseberangan dengan Soeharto. Petisi 50 adalah buktinya. Tokoh-tokohnya antara lain Jenderal AH Nasution, Jenderal Hoegeng, Letjen M Jasin, Ali Sadikin, Mohammad Natsir dan lain-lain.
Mereka secara tegas menolak gaya Soeharto yang otoriter. Kala itu, segala bentuk kritik terhadap Soeharto selalu dianggap kritik terhadap pancasila dan mengancam kedaulatan.
Menjadi anggota dalam Petisi 50 berarti menggali kuburan sendiri. Akibatnya, Hoegeng dilarang tampil di depan umum seperti menghadiri HUT Polri setiap tanggal 1 Juli.
Tegas Tolak Tawaran
Awal jabatannya sebagai Kapolri, Hoegeng menghadap Soeharto. Presiden RI kedua tersebut meminta agar polisi tak lagi bertugas di medan tempur.
Jawaban Hoegeng pun justru tak menimbulkan kepuasan bagi Soeharto. Ia justru seolah memerintahkan Soeharto untuk tak membuat angkatan lain mencampuri tugas Polri.
“Kalau begitu angkatan lain juga jangan mencampuri tugas angkatan kepolisian,” kata Hoegeng tegas. Soeharto terdiam mendengarnya. Demikian ditulis dalam buku Hoegeng, Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa terbitan Bentang.
Dicopot Tak Jelas
Sepak terjang Hoegeng membuat kroni keluarga Cendana mulai panas. Apalagi sejumlah kasus diduga melibatkan kerabat Soeharto. Puncaknya, Soeharto mencopot Hoegeng sebagai Kapolri tanggal 2 Oktober 1971.
Hal ini dilakukan Soeharto saat Hoegeng masih memiliki tanggung jawab dalam dua tahun mendatang. Ironinya dengan alasan penyegaran, justru pengganti Hoegeng, Jenderal M Hasan lebih tua satu tahun.
Hendak Dibuang ke Luar Negeri
Heogeng kembali menghadap. Ia mempertanyakan alasan pencopotan dirinya secara langsung.
Tak disangka, Soeharto justru menawari Hoegeng dengan jabatan sebagai duta besar atau diplomat di negara lain. Sebuah kebiasaan untuk membuang mereka yang kritis terhadap Orde Baru. Hoegeng seketika langsung menolaknya.
“Saya tidak bisa jadi diplomat. Diplomat harus bisa minum koktail, saya tidak suka koktail,” sindir Hoegeng.
Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo telah resmi menjabat Kapolri pada Rabu (27/01/21). Mantan Kabareskrim Polri itu dilantik Presiden Jokowi menjadi pemimpin Korps Bhayangkara di Istana Negara, Rabu 27(1/21) pagi ini.
Tugas berat pun menanti Listyo. Sejumlah pekerjaan rumah (PR) yang ditinggalkan Kapolri sebelumnya, Jenderal (Purn) Idham Azis, harus dituntaskan. Dari utang penuntasan kasus hingga pembenahan di internal Korps Bhayangkara. Salah satu contohnya adalah kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan yang tak jelas rimbanya hingga kini.
Menjadi Kapolri memang bukanlah tugas mudah. Dibutuhkan manusia setengah dewa untuk memimpin korps berbaju cokelat itu. Dulu Polri pernah memiliki seorang pemimpin yang hingga kini menjadi legenda karena kejujuran, ketegasan dan keberaniannya.
Polisi itu bernama Jenderal Hoegeng Imam Santoso. Segudang teladan yang dimiliki Jenderal Hoegeng patut diteladani para juniornya, termasuk Kapolri Jenderal Listyo.
Jujur Tak Kenal Kompromi
Jauh sebelum menjabat sebagai Kapolri, Jenderal Hoegeng sudah terkenal akan kejujurannya. Saat bertugas di Medan dengan pangkat Kompol Hoegeng mengobrak-abrik bandar judi. Dia membongkar suap menyuap pada para polisi dan jaksa di Medan yang menjadi antek bandar judi.
Hoegeng tak mempan disuap. Barang-barang mewah pemberian bandar judi dilemparnya keluar jendela. Lebih baik hidup melarat daripada menerima suap ataukorupsi. Itu prinsip hidup Hoegeng yang ditirunya dari Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Karirnya terus menanjak. Pada 15 Mei 1968, Presiden Soeharto melantik Hoegeng menjadi Kapolri. Hoegeng tak mau menerima suap satu sen pun. Istrinya yang berjualan bunga disuruh berhenti. Hoegeng takut profesi istrinya akan dijadikan celah orang-orang yang ingin menyuapnya.?
Hoegeng bahkan tak punya mobil pribadi. Sehari-hari dia mengandalkan mobil dinas untuk memantau kondisi Jakarta. Jika jalanan macet, sang jenderal tak segan turun dari mobilnya dan mengatur lalu lintas bersama ajudannya.
Hoegeng sempat heran saat mendengar seorang perwira polisi bisa membeli rumah mewah di Kemang. Atau bermobil mewah dan bergaya perlente ala pengusaha.
“Memang berapa gaji polisi? Itu dapat darimana,” ujar Hoegeng sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Hoegeng juga tak kenal kompromi mengusut berbagai kasus kejahatan. Dia tidak peduli siapa beking orang itu. Jika bersalah, harus ditindak.
Anti Suap dan Rayuan Wanita Cantik
Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santosa pernah dirayu seorang pengusaha cantik keturunan Makassar-Tionghoa yang terlibat kasus penyelundupan. Wanita itu meminta Hoegeng agar kasus yang dihadapinya tak dilanjutkan ke pengadilan.
Hoegeng memang sangat gencar memerangi penyelundupan. Dia tidak peduli siapa beking penyelundup tersebut, semua pasti disikatnya.
Wanita ini berusaha mengajak damai Hoegeng. Berbagai hadiah mewah dikirim ke alamat Hoegeng. Tentu saja Hoegeng menolak mentah-mentah. Hadiah ini langsung dikembalikan oleh Hoegeng. Tapi si wanita tak putus asa. Dia terus mendekati Hoegeng.?
Yang membuat Hoegeng heran, malah koleganya di kepolisian dan kejaksaan yang memintanya untuk melepaskan wanita itu. Hoegeng menjadi heran, kenapa begitu banyak pejabat yang mau menolong pengusaha wanita tersebut. Belakangan Hoegeng mendapat kabar, wanita itu tidak segan-segan tidur dengan pejabat demi memuluskan aksi penyelundupannya.
Hoegeng pun hanya bisa mengelus dada prihatin menyaksikan tingkah polah koleganya yang terbuai uang dan rayuan wanita.
Demi Kebenaran Tak Gentar Melawan Siapapun
Kapolri Jenderal Hoegeng tak gentar berhadapan dengan siapa pun untuk menegakkan kebenaran. Salah satu contohnya adalah Hoegeng berusaha mengungkap kasus pemerkosaan seorang penjual telur bernama Sumarijem di Yogyakarta.
Padahal dalam kasus itu anak seorang pejabat dan seorang anak pahlawan revolusi diduga ikut menjadi pelakunya. Hoegeng sadar proses di pengadilan berjalan penuh rekayasa. Sumarijem yang menjadi korban malah menjadi tersangka. Hoegeng bertekad mengusut tuntas kasus ini. Dia siap menindak tegas para pelakunya walau dibekingi pejabat.
“Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita tindak,” tegas Hoegeng dalam buku ‘Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa-‘ terbitan Bentang.
Hoegeng membentuk tim khusus untuk menangani kasus ini. Namanya ‘Tim Pemeriksa Sum Kuning’, dibentuk Januari 1971. Kasus Sum Kuning terus membesar seperti bola salju. Sejumlah pejabat polisi dan Yogyakarta yang anaknya disebut terlibat, membantah lewat media massa.
Belakangan Presiden Soeharto sampai turun tangan menghentikan kasus Sum Kuning. Dalam pertemuan di Istana, Soeharto memerintahkan kasus ini tak lagi ditangani Hoegeng melainkan ditangani oleh Tim pemeriksa Pusat Kopkamtib. Hoegeng sadar. Ada kekuatan besar untuk membuat kasus ini menjadi bias.
Tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri. Beberapa pihak menilai Hoegeng sengaja dipensiunkan untuk menutup kasus ini.
Tak Elitis dan Langsung Turun ke Lapangan
Jenderal Hoegeng bukan tipe Kapolri yang gemar duduk manis di kantor. Hoegeng bahkan kerap turun tangan langsung mengatur lalu lintas di perempatan.
Hoegeng berpendapat seorang polisi adalah pelayan masyarakat. Dari mulai pangkat terendah sampai tertinggi, tugasnya adalah mengayomi masyarakat.
“Karena prinsip itulah, Hoegeng tidak pernah merasa malu, turun tangan sendiri mengambil alih tugas teknis seorang anggota polisi yang kebetulan sedang tidak ada atau tidak di tempat. Jika terjadi kemacetan di sebuah perempatan yang sibuk, dengan baju dinas Kapolri, Hoegeng akan menjalankan tugas seorang polantas di jalan raya. Itu dilakukan Hoegeng dengan ikhlas seraya memberi contoh kepada anggota polisi yang lain tentang motivasi dan kecintaan pada profesi,” demikian ditulis dalam buku Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa-terbitan Bentang.
Hoegeng merupakan sosok yang disiplin. Dia selalu tiba di Mabes Polri sebelum pukul 07.00 WIB. Sebelum sampai di kantor, dia memilih rute yang berbeda dan berputar dahulu dari rumahnya di Menteng, Jakarta Pusat. Maksudnya untuk memantau situasi lalu lintas dan kesiapsiagaan aparat kepolisian di jalan.
Saat suasana ramai, seperti malam tahun baru, Natal atau Lebaran, Hoegeng juga selalu terjun langsung mengecek kesiapan aparat di lapangan. Hoegeng bahkan pernah menyamar untuk membongkar sindikat peredaran narkoba.
Berani Bongkar Korupsi di Polri
Meski tak lagi menjabat sebagai Kapolri, Jenderal Hoegeng tetap memberi perhatian khusus kepada Polri. Pada 1977, Hoegeng yang tak lagi menjabat sebagai Kapolri mendapat laporan dari seorang perwira menengah polisi berdinas sebagai provos tentang dugaan tindakan korupsi sejumlah perwira tinggi polisi di bagian jawatan keuangan.
Hoegeng lantas segera menulis memo pribadi kepada Kapolri saat itu, Jenderal Widodo Budidarmo. Isinya, Hoegeng mengkritik habis-habisan perilaku polisi bergaya hidup mewah.
“Wid, sekarang ini kok polisi sudah kaya-kaya, sampai-sampai sudah ada yang punya rumah mewah di Kemang. Dari mana duitnya itu,” tanya Hoegeng kepada Widodo dalam memo seperti dikutip dalam buku ‘Hoegeng, Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa,’ Karya Aris Santoso bersama rekan. Terbitan PT Bentang Pustaka.
Karena tidak mendapatkan respon baik dari kapolri, Hoegeng lantas membocorkan dugaan korupsi itu kepada beberapa media. Tidak lama kemudian meledaklah kasus dugaan korupsi mencapai Rp 6 miliar itu di surat kabar nasional.
Setelah diusut, sejumlah petinggi polisi terlibat dalam kasus korupsi itu, seperti Deputi Kapolri Letjen Polisi Siswadji, dan tiga perwira kepolisian lainnya. Mereka lantas divonis bersalah dan dipenjara.
“Sebagai mantan Kapolri, saya benar-benar prihatin dan malu mendengar adanya kasus manipulasi di Mabak itu,” kata Hoegeng.
Sungguh hal yang sudah langka saat jaman sekarang orang seperti Pak Hoegeng ini. Keteladanannya perlu diikuti oleh siapapun, khususnya jajaran Kepolisian dan pejabat pemerintah pada umumnya. (Berbagai Sumber-Wins)