JAKARTA – Generasi muda merupakan lapisan terbawah dari masyarakat yang umumnya terdiri dari anak-anak, remaja dan pemuda yang berumur antara 0 – 30 tahun. Generasi muda memiliki arti yang amat penting dalam tatanan kehidupan suatu bangsa, mereka tulang punggung suatu bangsa yang dibahunya terdapat harapan-harapan akan masa depan yang lebih baik.
Generasi muda sangat identik dengan perubahan dan bahkan kerap menjadi motor bagi perubahan itu sendiri atau menjadi agent of change, tidak terkecuali di bidang hukum. Oleh karenanya, amatlah penting untuk mengedukasi mereka secara terus menerus agar kesadaran hukum di kalangan mereka tetap terjaga.
Menurut *Johan Imanuel*, *Advokat dan Praktisi Hukum dari kalangan muda di Jakarta*, kesadaran hukum perlu ditanamkan sejak generasi muda sehingga dalam kehidupan sehari-hari dapat ikut mengkampanyekan budaya hukum yang mencerminkan peran dan segala aturan hukum dalam kehidupan masyarakat. “Peran dan segala aturan hukum ini harus seimbang sehingga terwujud keseimbangan antara hak dan kewajiban,” ujarnya.
Ditambahkan beliau, kesadaran hukum yang tinggi dapat menciptakan kehidupan yang harmonis, bijak dan demokratis bagi segala lapisan masyarakat. Dan generasi muda wajib jadi pendorong kesadaran hukum.
Kesadaran hukum di kalangan generasi muda juga memiliki korelasi dengan peminatan jurusan hukum di dunia kampus. Menurut *Imanuel* kabar gembiranya sejauh ini minat generasi muda untuk menjadi penegak hukum salah satunya Advokat masih tinggi.
Bahkan, profesi advokat bisa mengambil peran besar di tengah pesatnya industri 4.0, lulusan hukum *bisa menjadi advokat spesialisasi* di industri fintech misalnya. “Salah satunya permasalahan hukum Konsumen dalam bisnis digital dan sebagainya dimana selalu potensial untuk menjadi perkara hukum baik dapat diselesaikan secara litigasi maupun non litigasi. Disitulah butuh peran advokat dalam penyelesaian hukum dengan mengutamakan prinsip win-win solution,” tandasnya.
Rendahnya Kepuasan atas Penegakan Hukum
Riset Indonesia Millennial Report (IMR) 2019 yang dilakukan IDN Research Institute menyebutkan, tingkat optimisme generasi millennial terhadap penegakan hukum menempati peringkat terbawah dibandingkan optimisme terhadap bidang-bidang lainnya.
Hal ini menjadi tantangan bagi dunia hukum. Sebab kalangan generasi muda mencakup 70% persen penduduk Indonesia (IDN Times, 2019), artinya generasi muda memiliki pengaruh penting dalam mengukur rendah atau tingginya persepsi publik terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Menanggapi penelitian tersebut, *Imanuel* mengatakan generasi muda pun sebetulnya perlu juga memahami proses hukum secara keseluruhan agar menjadi lebih ojektif dalam melihat sebuah kasus hukum. “Mengapa? Karena setiap proses hukum yang dilaksanakan oleh penegak hukum juga memiliki batasan-batasan dalam undang-undang tidak berdasarkan opini publik yang kadang malah men-judge suatu proses hukum yang malah menimbulkan kekeliruan atau salah tafsir,”katanya.
Proses penegakan hukum memang semata-mata berbasis bukti dan fakta. Bukan berbasis opini, sehingga jika ada penegakan hukum yang dinilai tidak memenuhi harapan publik, tidak serta merta menjadi indikator bahwa penegakan hukum di Indonesia lemah. Menurut *Imanuel*, hal ini mesti dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat di Indonesia.
Di sisi lain, generasi muda juga harus melek hukum. Banyaknya kasus kriminal yang melibatkan para remaja, membuktikan masih perlunya peningkatan wawasan generasi muda terhadap hukum. Contohnya mengenai penegakan hukum *Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)*.
Banyak kalangan muda yang belum memahami UU ITE ini, sehingga mereka cenderung mengabaikan unsur kehati-hatian ketika melakukan postingan di media sosial. Padahal, meski terlihat sepele, postingan atau komen yang memenuhi unsur ujaran kebencian, body shamming (pelecehan kondisi tubuh seseorang-red) dan sejenisnya, bisa menjerat pelakunya pada masalah hukum yang serius.
Terkait UU ITE ini, *Imanuel*meminta pemangku kepentingan tidak boleh berhenti memberikan sosialisasi kepada generasi muda. Sebab mereka golongan yang memiliki akses luas ke platform media sosial. “Lakukan terus sosialisasi di sekolah-sekolah, di kampus-kampus, atau adakan event aktivasi tentang hukum yang melibatkan anak muda,” ujarnya.
Paralel dengan hal tersebut, kalangan muda juga harus lebih banyak dilibatkan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, misalnya dengan menangkap ide dan gagasan mereka.
“Sehingga peristiwa unjuk rasa dari kalangan mahasiswa terhadap UU Cipta Kerja tidak perlu terjadi bilamana akses maupun keterbukaan dalam penyusunan maupun pengesahan kepada generasi muda dibuka seluas-luasnya,” tutup *Imanuel*. (KAL)