Oleh : Farhat Abbas Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Kecolongan atau memang ada persekongkolan rapi? Sebuah pertanyaan yang layak kita lontarkan sejalan dengan lolosnya Orient P Riwu Kore dalam pilkada serentak 2020 lalu di Kabupaten Sabu Raijua – Nusa Tenggara Timur (NTT). Bukan persoalan kemenangannya dalam kontestasi yang diikuti tiga pasangan itu. Tapi, Orient yang berstatus kewarganegaraan Amerika Serikat yang bisa mengikuti pilkada di negeri ini.
Jika memang ada indikasi kecolongan dalam mekanisme pilkada itu, maka ada unsur ketidakjujuran atau – ekstrimnya manipulasi dokumen – yang sengaja dilakukan Orient. Dan KPUD Sabu Raijua benar-benar diperdaya oleh Orient. Tapi, mungkinkah? Bukanlah tak mungkin. Dalam beberapa kasus pilkada, manipulasi dokumen sering terjadi, seperti problem ijazah palsu. Tapi, sepertinya baru kali ini ada manipulasi dokumen seputar status kewarganegaraan asing yang bisa lolos ikut pilkada langsung. Hal ini cukup menggambarkan ketidakcermatan KPUD Sabu dalam memverifikasi sejumlah dokumen.
Di sisi lain, bagaimana kinerja Bawasda dalam mencermati siapapun sebagai kontestan pilkada? Meski akhirnya terungkap dan itu merupakan hasil selidik Bawasda Sabu Raijua, mengapa langkah itu baru dilakukan usai Orient telah ditetapkan sebagai pemenang? Artinya, ada dugaan kuat bahwa aksi Bawasda Sabu Raijua terkandung muatan pesanan dari di antara pasangan calon (paslon) yang kalah, yakni paslon 01 (Nikodemus H Riki Hake-Yohanis Uly Kale (13.292 suar atau 31,1%) dan atau pasangan 03 (Takem Irianto Radja Pono-Herman Hegi Radja Haba, yang meraih 9.569 suara (21,6%).
Apapun argumentasi politik yang bergulir, proses politik pilkada di Sabu Raijua yang meloloskan kandidat Orient sampai titik akhir penyelenggaraan pilkada sarat dengan nuansa persekongkolan. Meski perlu dibuktikan, tapi dugaan politik uang saat menuju dan selama proses politik pilkada wajib hukumnya untuk diuji secara hukum, melalui lembaga pengadilan, bahkan Mahkamah Konstitusi. Di sana, setidaknya ada dua pelanggaran pidana pemilu. Yaitu, dugaan pemalsuan dokumen dan dugaan money politics. Pelakunya – di satu pihak – sang kandidat yang kebetulan menang dalam pilkada itu. Dan pihak lainnya, organ KPUD Sabu Raijua yang patut diduga terima sesuatu, baik janji bahkan sebagian dana taktis dari komitmen yang dijanjikan itu.
Dalam kaitan organ KPUD, maka lembaga penyelenggara pilkada di Sabu Raijua melakukan pelanggaran terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 1 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas PKPU No. 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Walikota dan Wakil Walikota, tercantum pada Pasal 4. Dalam hal ini terkait persyaratan calon kepala daerah. Persyaratan pertama (1) tertulis jelas tentang warga negara Indonesia yang dapat atau bisa menjadi calon kepala daerah, (calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon Bupati dan Wakil Bupati, atau calon Walikota dan Wakil Walikota).
Dengan demikian, Orient – saat mengikuti proses pilkada sebagai calon Bupati – sesungguhnya melanggar PKPU tersebut. Dengan bukti sah status Orient sebagai warga negara Amerika Serikat, ia – secara sengaja – melanggar UU Pemilu dan PKPU No. 1 Tahun 2020 itu. Di sisi lain, KPUD Sabu Raijuna – secara sadar atau tidak sadar – tidak memegang teguh aturan KPU. Dengan fakta yuridis pelanggaran proses politik ini, maka – di satu sisi – Orient wajib dianulir kemenangannya. Di sisi lain, proses hukum yang harus ditegakkan.
Mengancaman Kedaulatan Negara
Ada satu hal yang jauh lebih krusial di luar aturan prinsip PKPU dan atau UU Pemilu. Yaitu, kelolosan proses politik pilkada bagi warga negara asing – harus kita catat dengan serius – merupakan etape neokolonialisasi formal. Dengan posisinya sebagai warga negara asing dan legalitas kekuasaan akibat kemenangannya dalam pilkada, maka ia berpotensi besar untuk menguasai sumber-sumber vital aset negara, terkait sumber daya alam (SDA), bahkan kedaulatan lainnya.
Secara lokalitas, keberadaannya sebagai kepala daerah, ia punya ototiritas untuk merancang-bangun kepentingannya, yang – bisa jadi – lebih kea tau untuk kepentingan negara asalnya. Who knows? Secara kultural dan emosionaliltas, tak bisa dipersalahkan jika ia – sebagai warga negara asing – lebih loyal kepada Pemerintah dan negara asalnya. Namun, persoalannya adalah status dirinya sebagai warga negara asing yang berkuasa pada suatu wilayah yang bukan negara asalnya. Inilah problem mendasarnya.
Karena itu, langkah dan atau upaya politik Orient dalam kontestasi pilkada bisa dinilai okupasi secara etis. Hal ini tentu melanggar kedaulatan negara lain (NKRI). Bukan hanya mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dan atau bahkan mengganggunya. Tidak tertutup kemungkinan, jika Orient tidak dianulir kemenangannya, ia akan menjadi pintu masuk kepentingan strategis AS di negeri ini. Jika arahnya kerjasama investasi dan formal hubungan di antara dua negara (Indonesia – Paman Sam), tentu bukan menjadi persoalan. Tapi, bagaimana jika terjadi kesepakatan strategis antara Orient dengan AS dalam kaitan – misalnya – perizinan pembangunan pangkalan militer? Meski kecil kemungkinanya, tapi – dalam lingkup local terbatas – sangatlah terbuka kemungkinan itu. Sungguh akan menjadi persoalan yang sangat membahayakan bagi kepentingan keamanan nasional RI.
Andai tidak sampai pada agenda yang menakutkan itu, setidaknya, kiprah Orient – karena posisi formalnya sebagai aparatur pemerintah daerah – ia akan leluasa melakukan aksinya sebagai spyer. Meski diplomat dan atau sejumlah wartawan asing juga bisa melalukan kegiatan spying, tapi tetap tak akan seleluasa sebagai tokoh nomor satu di daerah. Maka, secara jernih, kita bisa tegaskan bahwa legalisasi Orient sebagai Bupati Sabu Raijua – jika tak segera dianulir – akan menjadi malapetaka nasional. Tidak tertutup kemungkinan, akan menjadi tren ke depan bagi sejumlah warga negara asing untuk mencaplok negeri ini dengan pendekatan kesertaan pilkada. Harus dicegah.
Dan keluarga besar Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) – sebagai akspresi dan artikulasi cinta kedaulatan negeri ini – bukan hanya prihatin menyaksikan panorama pilkada yang meloloskan kandidat warga negara asing, tapi terpanggil untuk menghadangnya. Meski tidak dengan unjuk rasa, namun perlu gerakan penentangan secara educated. Tampaknya gerakan secara hukum bisa menjadi komitmen besar gerakan keluarga besar PANDAI. Inilah sikap tegas PANDAI atas panorama pilkada Sabu Raijua (NTT) yang cukup ironis. (Jakarta, 5 Februari 2021)