Breaking News
TANGERANG–Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memiliki peran penting dalam menjaga isi siaran media massa, baik televisi maupun radio, melalui konten-konten yang ditayangkan. Oleh karena itu, KPI perlu memastikan bahwa isi siaran harus mengutamakan kepentingan publik dan selaras dengan norma dan nilai yang berlaku. “Penggunaan frekuensi milik publik oleh penyelenggara penyiaran harus benar-benar diawasi agar isi siaran bermanfaat untuk kepentingan publik dan menjaga nilai kebinekaan di masyarakat,” ujar Wapres pada Peringatan Hari Penyiaran Nasional ke-91 dan Pembukaan Rakornas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) 2024, di Indonesia Convention Exhibition (ICE), Jl. BSD Grand Boulevard Nomor 1, Pagedangan, Tangerang, Banten, Senin (24/06/2024). Sebab menurut Wapres, sebagaimana digaungkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, demokratisasi penyiaran sepatutnya dapat menumbuhkan ekosistem penyiaran nasional yang sehat dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Pelayanan informasi yang sehat tentunya mengedepankan prinsip keberagaman isi agar masyarakat dapat menikmati berbagai jenis pilihan program yang bermanfaat,” jelasnya. Di samping itu, Wapres juga menyebutkan bahwa penyiaran nasional memiliki kontribusi yang besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Adapun kontribusi tersebut antara lain pendapatan iklan, penyediaan lapangan kerja, promosi sektor pariwisata, dan penyaluran edukasi masyarakat. “Untuk itu, KPI hendaknya tetap mengawal prinsip keberagaman kepemilikan dan pengembangan ragam konten penyiaran, demi membangun iklim persaingan yang sehat, tidak dimonopoli, atau memihak kepentingan kelompok tertentu,” imbaunya. Menutup sambutannya Wapres menekankan, di era digitalisasi ini, penyiaran tidak hanya membuka peluang partisipasi bagi tokoh penyiaran baru, tetapi juga meningkatkan tanggung jawab KPI untuk terus menjaga kualitas dan integritas informasi yang disalurkan. Oleh karena itu, ia meminta agar KPI mampu mengimplementasikan tolak ukur dalam memastikan sumber informasi yang cepat, akurat, dan kredibel. Baca Juga: Dosen-dosen, Jadilah Pengajar Handal Faham Dunia Usaha “Untuk itu, penyiaran nasional harus menjadi barometer sumber informasi yang cepat, akurat, dan kredibel bagi masyarakat,” pungkasnya. Hadir pada kesempatan ini di antaranya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga, Pj. Gubernur Banten Al Muktabar, Ketua KPI Pusat Ubaidillah, dan para Ketua KPI Daerah beserta jajaran. Sementara Wapres didampingi oleh Kepala Sekretariat Wapres Ahmad Erani Yustika, Deputi Bidang Administrasi Sapto Harjono W.S., Staf Khusus Wapres Bidang Komunikasi dan Informasi Masduki Baidlowi, Staf Khusus Wapres Bidang Reformasi Birokrasi M. Nasir, Staf Khusus Wapres Bidang Umum Masykuri Abdillah, Staf Khusus Wapres Bidang Politik dan Hubungan Kelembagaan Robikin Emhas, dan Tim Ahli Wapres Farhat Brachma. Yerusalem (SI Online) – Pemimpin Gerakan Islam di wilayah pendudukan tahun 1948, Syekh Raed Salah, menegaskan perlunya melakukan perjalanan ke Masjid Al-Aqsha Al-Mubarak. “Kami akan menjaga perjanjian dengan Masjid Al-Aqsha dan kami akan terus melakukan perjalanan ke sana.” ujar Syekh Salah dikutip dari Pusat Informasi Palestina, Ahad (14/7/2024). Dia menyerukan perjalanan ke Masjid Al-Aqsha yang diberkati di tengah banyaknya konspirasi Israel yang terungkap. Kemarin, puluhan ribu jamaah melaksanakan salat Jumat di Masjid Al-Aqsha Al-Mubarak, meskipun pasukan penjajah Israel mengalangi dan prosedur militer ketat di Kota Tua dan kota Yerusalem yang diduduki. Sumber-sumber di Yerusalem melaporkan bahwa sekitar 35.000 jamaah dapat melaksanakan salat Jumat di Al-Aqsha, melewati pos pemeriksaan militer penjajah Israel dan pemeriksaan ketat yang dilakukan di gerbang Masjidil Al-Aqsha. Jamaah berbondong-bondong dari Gerbang Damaskus ke Kota Tua untuk melaksanakan salat Jumat di Masjid Al-Aqsha, sementara pasukan penjajah Israel dikerahkan di halaman Kubah Ash Shakrah bersamaan dengan salat. Pasukan penjajah Israel memasang pos pemeriksaan militer di “Lions Gate”, bertepatan dengan warga Yerusalem yang berangkat untuk melaksanakan salat Jumat di Al-Aqsha. Khatib Al-Aqsa menekankan bahwa “tanah Yerusalem yang diberkahi dan kami tidak berselish mengenai hak ini, terlepas dari bencana dan pengusiran yang dilakukan oleh pendudukan. Al-Aqsha adalah hak ideologis dan historis yang mencakup seluruh umat Islam.” Khatib Al-Aqsha menyerukan untuk mempertahankan tanah ini dan memperbaharui niat untuk mengikatnya, untuk melindungi Al-Aqsha dan tempat-tempat suci Islam, dan untuk menggagalkan rencana dan konspirasi pendudukan yang semakin meningkat. Hati-Hati terhadap Yahudi! KIM Plus: Strategi Perang Politik ‘Kuda Troya’ Yerusalem (SI Online) – Otoritas pendudukan Israel (IOA) pada Kamis mengeluarkan perintah pelarangan terhadap khatib Masjid Al-Aqsha yang diberkahi, Syekh Ikrima Shabri, dengan melarangnya masuk ke tempat suci tersebut selama enam bulan. Perintah tersebut dikeluarkan setelah Syekh Shabri ditangkap pada 2 Agustus dan dibebaskan beberapa jam kemudian dengan syarat tidak boleh masuk ke tempat suci tersebut selama enam hari. Syeikh Shabri, 86 tahun, ditangkap dari rumahnya di lingkungan Al-Sawana di kota tua Yerusalem setelah ia melayat kepala biro politik Hamas, Ismail Haniyah, dan memimpin para jamaah dalam shalat jenazah selama khotbah Jumat terakhir di Masjid Al-Aqsha. Pengacara Khaled Zabarqa, salah satu anggota tim pembela Syekh Shabri, mengatakan bahwa perintah pengusiran IOA terhadap Syekh Shabri dari Masjid Al-Aqsha selama enam bulan merupakan keputusan yang tidak adil dan rasis yang merupakan bagian dari kampanye penghasutan yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok ekstremis Yahudi. “Ini adalah pelanggaran mencolok terhadap kesucian Masjid Al-Aqsha yang diberkati dan Otoritas Wakaf,” tambahnya. Pengacara Yerusalem, Hamza Qatina, mengatakan bahwa pengusiran Israel terhadap khatib Masjid Al-Aqsa, Syekh Ikrima Shabri, dari Masjid tempat ia telah menyampaikan khutbah Jumat selama 51 tahun, terjadi di tengah meningkatnya jumlah pemberitahuan serupa terhadap warga Yerusalem, yang secara terang-terangan melanggar hukum dan kebebasan beribadah.
advertisements
advertisements
Gambar Bergantian

Partai Politik, Sentralisme dan Problem Distribusi Keadilan Oleh Farhat Abbas

Salah satu pilar demokrasi. Itulah keberadaan dan peran partai politik (parpol). Konsekuensinya, bangsa dan negara manapun yang menghendaki wujudnya sistem demokrasi harus memberikan ruang gerak pada parpol. Yang perlu kita cermati lebih jauh, apakah sistem demokrasi otomatis terwujud manakala parpol eksis berperan dominan?

Tidak. Dalam beberapa hal, eksistensi dan peran parpol justru menjadi faktor destruktif perjalanan sistem demokrasi, apalagi jika ia parpol besar dan dominan menguasai parlemen dan pemerintahan. Hal inilah yang membuat sebagian publik menilai miris terhadap parpol. Di mata publik ini, parpol hanya dilihat sebagai instrumen menuju kepentingan sempit personal atau kelompok tertentu yang kadang tidak menghargai reaksi negatif sejumlah masyarakat. Suara kritis publik dandang sebelah mata.

Bahkan, tak sedikit terjadi gerakan kontrarian atas nama demokrasi ideal dihadapi dengan laras atau represif. Hal ini di mata parpol penguasa justru mendapat pembenaran. Tak disadari, sikap politik itu melukai hati nurani rakyat. Tidak sesuai dengan ruh utama parpol sebagai pilar demokrasi yang sejatinya menjunjung tinggi hak-hak rakyat. Karena itu, sebagian publik yang masih menaruh harapan (berfikir positif) terhadap parpol, mereka mendambakan jatidiri parpol yang memang benar-benar menjalankan peran politik yang menimbuhkan demokrasi yang berkualitas. Prinsipnya, masih ada kaum ideolog dalam insan parpol. Mereka siap menghadirkan parpol sekaligus membumikannya yang sejalan dengan cita-cita demokrasi ideal itu.

Kalangan pejuang tersebut itulah yang kemudian terpanggil untuk mengkiritisi otoritas atau kewenangan parpol yang tampak sentralistik. Kewenangan mutlak garis partai ada di Dewan Pengurus Pusat (DPP) layak dikoreksi secara mendasar, karena dinilai menjadi faktor impotensi, setidaknya memperlemah peran parpol yang sesungguhnya. Tak sesuai dengan ekspektasi publik secara meluas.

Fakta bicara, kekuasaan parpol yang sentralistik ini hanya memfasilitasi kepentingan para elit tertentu, karena faktor feodal (trah barah biru), atau faktor kecukupan finansial. Feodalitas dan atau budaya oligarki ini jelas memasung hak publik dalam berpolitik. Inilah panorama ketidakadilan dalam berpolitik. Sungguh memprihatinkan manakala ketidakadilan itu menerpa kaum potensial, yang sesungguhnya sangat dinanti peranannya untuk kepentingan publik yang multi keinginan itu.

Dan secara kelembagaan, sentralisme parpol membuat peran pengurus di bawahnya Dewan Pengurus Wilayah (DPW) dan Pengurus Daerah (DPD), apalagi pengurus tingkat kecamatan, kelurahan hanya menjadi instrumen bagi kepentingan taktis dan strategis DPP yang belum tentu sejalan dengan kepentingan kepengurusan daerah. Dengan demikian, sejatinya DPW, DPD dan atau fungsionaris di bawahnya sama sekali tak memiliki kewenangan.

Kita perlu mengkritisi, sentralisme absolut Pusat sering berdampak negatif pada sejumlah perbedaan cara pandang dan artikulasi politik. Ketika Pusat melalui perwakilannya di DPR RI merancang-bangun kebijakan yang bersifat nasional, hal ini sering menjadi masalah manakala output legislasi tidak senafas dengan keinginan dan kepentingan luas, termasuk mereka yang tinggal di daerah. Para pengurus parpol di daerah termasuk kadernya yang masuk ke parlemen daerah sama sekali tak berdaya ketika masyarakat di daerah menunjukkan keberatan atas produk legislasi DPR RI. Benar-benar menjadikan fungsionari dan kader DPW dan atau DPD terbebani oleh langkah politik Pusat, meski beberapa wakil yang duduk di singgasana DPR RI berasal dari daerah.

Meski sejumlah wakil itu dari daerah, tapi loyalitasnya pada komando DPP, bukan daerah. Cara pandang yang menihilkan posisi DPW dan atau DPD menjadikan kepentingan daerah akan selalu dipandang sebelah mata. Hal ini dapat kita baca dengan jelas pada panorama UU Omnibus Law yang mengundang gelombang reaksi negatif secara ekstensif. Reaksi ini sekali lagi membuat DPW, DPD bahkan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) tak bisa bicara konkret terhadap komponen publik yang menuntut pembatalannya.

Dalam panorama lain, seperti masalah pemilihan kepala daerah (pilkada), DPW dan atau DPD benar tak berdaulat, apalagi mandiri. Sentralisme dan kewenangan penuh DPP membuat DPW dan DPD hanya menjadi instrumen pengantar bidodata kandidat. Surat sakti (rekomendasi) yang menjadi alat sah dan tidaknya untuk proses politik menuju kontestasi pilkada tetap di tangan DPP.

Landasan UU Pemilu tersebut membuat posisi DPW dan atau DPD apalagi Dewan Pengurus Kecamatan dan Kelurahan/desa benar-benar tak punya otoritas atau kekuasaan. Sebagai lembaga politik yang sah, tapi tak punya kedaulatan dan kemandirian. Hal ini jelas paradoks dengan fitrah manusia yang berhak bersyarikat dengan back up kedaulatan dan kemandirian.

Yang perlu kita catat lebih spesifik, sentralisme kekuasaan DPP sering berdampak lebih jauh: konflik internal yang tidak mengharmoniskan hubungan DPP DPW/DPD. Bahkan, sering terjadi, karena dominasi campur-tangan pusat, mengakibatkan suasana kepengurusan daerah sering terjadi dualisme dan akhirnya konflik yang sulit dihindari. Panorama ini sering menampak jelas, terutama saat menghadapi pesta demokrasi dalam memilih calon kepala daerah.

Panorama tersebut tentu tidak sehat. Karena itu harus dicari kerangka solusi permanen. Bukan hanya cara mencegah terjadinya konflik internal musiman, tapi bagaimana memperkuat kiprah parpol yang menyeluruh. DPP harus kuat. Dan kepengurusan parpol di daerah juga harus kuat. Hal ini akan terbangun konstruksi baru dalam warna politik, yakni masing-masing level kepengurusan akan mampu memberikan kinerja terbaiknya (kemanfaatan nyata) untuk masyarakat, dari level nasional hingga daerah.

Daerah Menjadi Episentrum Kekuatan
Dalam kaitan itulah posisi kepengurusan daerah harus memiliki hak dan kewenangan untuk mengembangkan diri dan hal ini harus dilandasi prinsip kemandirian, sehingga DPW dan atau DPD benar-benar berdaulat. Jatidiri ini bukan hanya akan mendorong partai untuk melakukan peran maksimal dan produktifnya, tapi kemanfaatannya bagi kepentingan publik di daerah. Dan kultur parpol seperti inilah yang selalu dinanti.

Daerah harus menjadi episentrum kekuatan parpol, atau fondasi rancang-bangun parpol. Dan karena itu para fungsionaris di wilayah atau daerah dalam perspektif sistem parpol yang produktif, menjalankan misi keadilan, sekaligus berpotensi besar untuk mengahdirkan sestem demokrasi maka tak ada kata lain bahwa wilayah dan daerah harus berdaulat dan atau diberi kewenangan yang penuh oleh Pusat. Kewenangan ini akan membuat fungsionaris wilayah dan daerah bisa mandiri, dapat menentukan nasib ke depannya secara jelas, tanpa bayang-bayang Pusat.

Otoritas wilayah dan atau daerah itulah dalam sistem politik kita kenal dengan istilah sistem distrik. Penguasa wilayah dan atau daerah dituntut untuk menciptakan mekanisme politik yang siap mengantarkan kandidat terbaiknya dari sejumlah kandidat yang berkontestasi, bukan hanya untuk urusan kepala daerah, tapi juga dalam kaitan parlemen. Yang perlu kita catat adalah, siapapun yang tampil sebagai pemenang dalam kontestasi itu, ia bukan hanya sangat memahami kepentingan daerah yang diwakilinya, tapi ia merasa benar-benar mewakili daerahnya. Seperti satu-kesatuan atau senyawa. Hubungan sang wakil dan yang diwakilinya (rakyat) juga demikian kental. Kualitas hubungan ini di satu sisi akan memudahkan rakyat untuk mengontrolnya manakala sang wakil tak amanah. Di sisi lain, chemistry hubungan itu akan selalu mendorong sang wakil terus peduli aspirasi daerahnya. Sungguh merupakan simbiosis-mutualisme yang saling memberikan yang terbaik. Kondisi simbiosis-mutualisme ini terjadi karena kedua pihak sang wakil dan rakyat yang diwakilnya terkategori cukup saling mengenal. Tak ada cerita wakil dropping dan kenal hanya pada saat kontestasi.

Ikatan emosional itu membuat sang wakil distrik akan berjuang total untuk kepentingan daerah. Tak akan ada cerita kepura-puraan dalam pengabdian politiknya. Totalitas pengabdian ini tercipta sejak di parlemen daerah hingga pusat. Jika kita telaah secara komparatif, kita saksikan sejumlah keunggulan sistem distrik untuk urusan pembangunan pemerintahan dan atau kenegaraan. Kinerja dari sistem distrik ini menjadikan rakyat merasa terakomodasi kepentingannya. Dan inilah yang perlu kita respons secara konstruktif. Sebagai garis kebijakan nasional yang boleh jadi merupakan haluan baru dalam rancang-bangun sistem ketatanegaraan. Selagi konstruktif, mengapa harus alergi terhadap corak haluan baru itu.

Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Sentralisme parpol sarat dengan panorama ketidakadilan distribusi hak berpolitik. Sebuah renungan, haruskah dipertahan perilaku parpol yang mencerminkan panorama ketidakadilan bahkan pembodohan itu? Tidak. Praktik parpol nakal seperti itu sudah seharusnya mengubah haluan dan praktik politiknya. Tentu, tidak mudah bagi parpol besar, apalagi sudah establis. Namun demikian, Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) cukup menyadari erosi budaya politik yang tidak sehat itu. Karena itu, PANDAI menawarkan sistem baru perpartaian.

DPP PANDAI akan memberikan otoritas DPW dan atau DPD agar jauh lebih berdaulat dan mandiri. DPP sangat meyakini, pemberian otoritas seperti itu akan tercipta loyalitas para fungsionaris DPW dan atau DPD. Masing-masing jenjang akan saling menghargai dan akan memberikan kontribusi terbaiknya. Perlu kita catat, kinerja DPP akan sangat terbantu oleh kinerja DPW dan DPD. DPD pun akan terbantu oleh kerja keras fungsionaris kecamatan dan di bawahnya: pengurus ranting, sampai ke ringkat RW dan RT. Dengan pemikiran simbiosis mutualisme, maka tidaklah berlebihan jika PANDAI memang partai berhaluan baru dan menjadi harapan baru. Untuk bangsa dan negeri tercinta yang berdaulat: Indonesia. Hayo, kita saling merapatkan barisan. Untuk kedigdayaan bangsa-negara yang berkeadilan. Sebuah artikulasi hak dasar yang sangat fitrah.

Medan, 27 November 2020
Orasi Politik: Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)

advertisements

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *