SELAMAT BEKERJA DEWAS DAN DIREKSI BARU BPJS
Oleh: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc /Ketua DJSN 2011-2015
Penantian siapa yang jadi Direksi BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan berakhir sudah. Presiden Jokowi sudah menetapkan pilhannya di _emergency time_19 Februari 2021.
Sesuai dengan Keppres 38/P Tahun 2021, yang diterbitkan tanggal 19 Februari 2021, telah ditetapkan 7 orang Dewas dan 7 orang Direksi BPJS Ketenagakerjaan. Dari Dewas yang nyangkut wajah lama ada satu orang yaitu Muhammad Aditya Warman dari Unsur Pemberi Kerja.
Dari jajaran Direksi, semua Direksi lama tidak ada lagi yang terpilih. Terimakasi telah mengemban tugas dengan baik, walaupun dimasa akhir jabatan ada persoalan kebijakan investasi yang masih menjadi objek peenyidikan Kejaksaan Agung.
Dalam jajaran Direksi baru, estafet kpemimpinan terlihat ada keberlanjutan. Sesuatu yang sudah sering saya sampaikan pada artikel sebelumnya. Dari 7 Direksi, ada sebanyak 3 orang adalah “orang dalam” yang menjabat sebagai Deputi Direktur, lolos seleksi dan diangkat oleh Presiden Jokowi yaitu Abdul Rachman Irsyadi, Pramudya Iriawan Buntoro, dan Zainudin.
Saya kenal mereka ini. Pekerja keras, profesional, dan sangat mendalam memahami _Social Security_ bagi pekerja. Zainudin menangani Paritrana Award, di bawah kaderisasi Pak Ilyas ( Direktur Kepesertaan) periode lalu. Award tersebut mendorong kompetensi Pemda, dan Perusahan besar, menengah dan kecil untuk meningkatkan kepesertaan BP Jamsostek, dan juga disektor informal yaitu para UMKM.
Pram, seorang aktuaria yang memahami segala hitungan proyeksi, estimasi dan potensi resiko dalam mengembangkan Dana jaminan Sosial supaya lebih sustein.
Irsyadi adalah tokoh serikat pekerja BP Jamsostek, dan berhasil memberikan suasana kondusif dan saling pengertian antara pekerja dan pemberi kerja BP Jamsostek.
Tiga Direksi lainnya dari luar BP Jamsostek, plus Direktur Utamanya Pak Anggoro Eko Cahyo, yang pernah mnejadi Wakil Direktur Utama Bank BNI.
Dengan komposisi seperti itu, maka akan dibangun sinergitas antara mereka yang berpengalaman dalam Jaminan Sosial Pekerja, dengan mereka dari luar yang berlatar belakang pengalaman variatif.
Dirut Pak Anggoro, sebagai bankers, tentu dapat lebih mengoptimalkan penempatan DJS, dalam berbagai bentuk pengembangan yang sudah diatur dalam PP 99/2013 dan PP 55/2015, sebagai rambu-rambu atau alarm yang tidak boleh ditabrak. Kata kuncirnya kehati-hatian, likuiditas, solvabilitas, keamanan dana, dan hasil yang memadai.
Hasil yang memadai itu bukan yang utama di Jaminan Sosial yang berkarakter nirlaba, yang utama adalah kehati-hatian. Beda dengan perbankan, yang mengedepankan margin keuntungan.
Mudah-mudahan kombinasi formula 3:4 ini, merupakan formulasi yang terbaik, menuju ke kepemimpinan yang kuat dan kompak. Pengalaman Pak Anggoro sebagi TOP CEO bank yang besar milik pemeritah, menjadi modal utama untuk kuatnya _Leadership_, terutama dalam mengambil keputusan penting yang mengedepankan kolektifitas dan kolegial.
Dengan mengelola uang peserta sebesar mendekati Rp 500 triliun, dan infonya keuntungan dana investasi DJS tahun ini mencapai Rp. 32 triliun, menjadi modal dasar bergerak, menuju inovasi program Jaminan Sosial yang bermanfaat bagi peserta.
*Bagaimana dengan BPJS Kesehatan?*.
Kita memberi apresiasi pada Prof. Dr.dr. Fachmi Idris, yang telah mengemban tugas sebagai Direktur Utama BPJS Kesehatan selama 8 tahun 35 hari. Beliau yang terlibat langsung dalam proses transformasi PT.Askes, sebagai Dirut PT.Askes dan berlanjut sebagai Dirut BPJS Kesehatan.
Jam terbang sudah tinggi. Pernah anggota DJSN, Komisaris PT. Askes, disamping masih status sebaga Dosen di FKM Unsri.
Di awal BPJS Kesehatan tahun 2014, dengan iuran PBI “cekak” setiap tahun dihadapkan kerugian atau defisit, yaitu selisih minus antara pengeluaran untuil bayar klaim faskes dengan iuran yang masuk. Bertahun-tahun, mulai 3 triliun, 5 triliun, 7 triliun dan 8 triliun pertahun. BPJS Kesehatan kenyang di _bully_ masyarakat, dengan stigma negatif terhadap para direksi dan pejabat terasnya.
Pelan tapi pasti, akhirnya dengan tangan dingin Prof. FI, akhir tahun 2020, BPJS Kesehatan dapat menghimpun surplus (arus kas) sebesar Rp. 18,7 triliun, yang semula diproyeksikan 2,5 triliun. Suatu hasil luar biasa. Mungkin Presiden Jokowi dapat memanfaatkan SDM potensial Prof.FI yang relatif masih muda untuk membantu pemerintah dalam bidang lain sesuai keahlian.
Oleh karena itu, wajarlah jika dalam jajaran Direksi yang baru, ada seorang Direksi yang ikut seleksi dan lolos dari tangan Pansel, dan sampai ke Presiden diangkat kembali sebagai Direksi yakni Mundiharno (Direktur Perencanaan).
Di BPJS Kesehatan, jumlah Direksinya 8 orang, dan dua diantaranya dari “orang dalam” yaitu Afdal dan Arief yang sebelumnya menjabat Deputi Direktur BPJS Kesehatan, plus Mundiharno yang juga sudah menjadi Direksi sebelumnya.
Hal terebut, sesuai dengan Keppres 37/P Tahun 2021. Secara keseluruhan komposisinya adalah 2 orang dari dalam, dan 1 orang Direksi lama, serta 1 orang dokter Mahlil Ruby yang sangat memahami Jaminan Sosial, sebagai konsultan bertahun-tahun, pernah dokter Puskesmas, dan meraih Doktor kesehatan masyarakat dari FKM UI.
Direktur Utama pengganti Prof.FI, bukanlah orang asing di _Social Security_. Prof.Dr.dr. Ali Ghufro Mukti (AGM), pernah menjadi Dekan FK UGM, Wamenkes semasa Menkes Ibu Nafsiah Mboi. Pada masa-masa itulah proses transfromasi PT.Askes menjadi BPJS Kesehatan. Beliau sangat aktif membantu Bu Menkes waktu itu untuk berkolaborasi dengan DJSN. Setelah itu Prof AGM, menjadi salah satu Dirjen di Kemenristekdikti.
Prof.AGM, juga seorang yang ikut membangun pelaksanaan Jamkesda, sebelum adanya JKN, dan sering berdiskusi di DJSN untuk menyamakan persepsi Jamkesda dengan JKN, dan mewujudkan Road map JKN 2012-2019.
Kita optimis, ditangan Prof. AGM dan jajaran Direksi lainnya, dengan berbagai latar belakang pengalaman, dengan kekuatan kepemimpinan Prof.AGM yang soft, jaringan yang luas, dan keluwesannya, dapat membawa gerbung para Direksi; Afdal, Arief, David, Edwin, Lily, Mahlil dan Mundiharno, yang solid, kompak, dan saling mendukung, kolektif dan kolegial.
Catatan penting bagi Direksi baru BPJS Kesehatan, dengan modal surplus Rp. 18,7 triliun, bukan membuat santai dan lengah. Angka itu tidak seberapa, jika keadaan peserta JKN kembali normal paska covid-19, dan jika terjadi _rebound_ peserta, dalam waktu 3 bulan saja uang itu akan habis untuk bayar faskes.
Harus juga diantisipasi, dalam situasi ekonomi yang masih sulit, penerimaan pajak untuk APBN juga masih seret, sehingga _cash flow_ PBI yang menjadi kewajiban pemerintah tertunda, maka surplus menjadi penyanggah untuk membayar faskes.
Untuk mempertahankan _cash flow_ terjaga, maka potensi tunggakan iuran apakah itu PPU swasta dan BUMN, PBPU/peserta mandiri, harus dikendalikan dengan berbagai pendekatan yang manusiawi , simpatik, dan tidak perlulah dengan ancaman. Strategi pendekatan _participatory_ harus dikedepankan.
_Last but not least_ , untuk kedua BPJS (Ketenagakerjaan dan Kesehatan), kedua Organ yaitu Dewas dan Direksi, plus Organ DJSN sebagai tiga pilar pokok SJSN sesuai amanat UU SJSN, perlu terus diperkokoh. Kompak, bangun sinergitas saling asah, asih dan asuh. Ibarat Organ tubuh, jika kaki dipijak, maka Organ lainnya akan ikut terganggu. Wajah meringis, teriak, dan berusaha melawan. Jika kaki kiri melangkah, baru diikuti kaki kanan, jka tidak bisa terjatuh.
Selamat bekerja!. Yakinkan diri kita, jika berusaha yakinlah pasti akan sampai menggapai Indonesia Sejahtera dan Sehat. (RUL)