Banjir di mana-mana. Menggenangi sejumlah wilayah perkotaan besar, menengah dan kota-kota kecil. Tidak pandang daerah elit ataupun kampung orang “alit”. Bahkan, sentra-sentra daerah yang relatif jauh dari deru perkotaan pun menjadi sasaran gelombang “migrasi” air dalam jumlah jutaan kubik. Di beberapa titik daerah, terlihat hamparan air, tak lagi terlihat daratannya. Bagai danau yang baru muncul.
Jika kita cermati jauh ke belakang, banjir bukanlah panorama kekinian. Puluhan tahun lalu pun banjir bandang pernah menerpa negeri ini. Tapi, tak bisa dipungkiri, banjir kini jauh lebih dahsyat. Yang memprihatinkan adalah panorama banjir kini dijadikan komoditas politik: saling mendeskreditkan para pemimpinnya, di level nasional ataupun daerah. Dan masing-masing pendukungnya – secara diameteral – tergerak emosionalitasnya untuk menjadikan banjir sebagai senjata politik: untuk misi politik destruktif. Sungguh tidak sehat untuk pergaulan antarsesama anak bangsa. Di satu sisi, para korban banjir sedang berjuang menghadapi penderitaannya. Di sisi lain, panorama banjir dijadikan cibiran politik.
Karena itu, kita perlu berpikir jernih dan sehat menghadapi panorama banjir itu. Dalam hal ini kita perlu menelusuri pangkal persoalannya. Sekali lagi, banjir merupakan panorama alam yang bersiklus. Kebetulan, tahun ini siklus la nina, yang mengakibatkan curah hujannya jauh lebih ekstrim dibanding siklus lainnya. Namun demikian, kita tak bisa pungkiri cuaca ekstrim akibat la nina sejatinya masih bisa teratasi jika sistem ekologi terpelihara dengan baik, dari hulu sampai ke hilir.
Seperti kita saksikan, kerusakan ekologis – untuk wilayah hulu di berbagai daerah – tak lepas dari perusakan wilayah kehutanan: terjadi penggundulan ekstensif tanpa diimbangi reboisasi secara seimbang. Penggundulannya yang demikian ekstensif kita saksikan di berbagai sentra kehutanan seperti di Kalimantan, Sumatera, Jawa, bahkan Sulawesi, Papua dan Papua Barat. Semuanya berdampak sangat tragis bagi sistem ekologi di wilayah hulu.
Ketidakmampuan kawasan hutan yang berpotensi menyerap debit air dalam jumlah jutaan kubik, ketiadaan akar pepohonan yang membuat molekul-molekul tanah terlepas dari perikatannya, ketiadaan jutaan pohon yang mengakibatkan tiadanya penahan gelombang angin yang menerpanya, semua itu berdampak pada panorama banjir, longsor, angina putting beliung atau torpedo. Dampak ini – sekali lagi – tak lepas dari problem besar kerusakan sistem ekologi yang cukup serius.
Sementara itu, kita saksikan panorama ketidakbersahabatan publik dengan lingkungannya di wilayah hilir. Atas nama kebutuhan lahan untuk kawasan industri, perumahan, pertokoan, perkantoran dan lainnya, semua itu terjadi konversi lahan yang demikian ekstensif juga. Kawasan pertanian disulap menjadi pohon-pohon baru: gedung. Setidaknya, terjadi pengerasan permukaan tanah. Di sisi lain, sistem drainase tidak mendapat perhatian secara maksimal. Juga, aliran sungai-sungai di manapun juga kurang mendapat porsi perhatian sebagai mana idealnya, dari anasir masyarakat, pihak swasta ataupun pengelola (pemerintah).
Kondisi hulu sampai ke hilir yang mengabaikan kepentingan ekologis tergerus menjadi persoalan serius, yang kini menghadirkan banjir yang jauh tidak seimbang dibanding panorama banjir tahun-tahun silam. Kondisi faktual ini – mau tak mau – mendorong siapapun untuk melihat kembali masalah kebijakan sebagai muara penanganan. Bagaimana kualitas dan komitmen kebijakan terhadap sistem ekologis.
Jika jawabannya “bersahabat”, jawaban ini jelas mengandung kedustaan. Ada paradoksalitas antara produk kebijakan versus hukum alam lingkungan. Warna kedustaan itu bisa kita telusuri mulai dari produk legislasi yang memang terus menggerus kelestarian lingkungan. Silakan tengok kembali UU Minerba dan batubara. Juga, perlu kita tengok UU Kehutanan yang kini siap “ditabrak” oleh UU Omnibuslaw. Ketika produk legislasi ini anti system ekologi, maka lembaga legislatif dan eksekutif sudah saatnya mereview diri.
Demi kepentingan anak-bangsa yang tak boleh menjadi korban, maka review kebijakan – dalam tataran produk legislasi ataupun implementasi – semua itu tak bisa lagi dihindari. Meskipun revisi produk legislasi ini menabrak kepentingan para pihak berduit, tapi – atas nama negara dan rakyat – kepentingan perbaikan sistem ekologi harus jauh dikedepankan. Jika tetap berpihak pada kepentingan pemodal atau siapapun yang “berjasa” kepada kekuasaan (di lembaga legislatif ataupun eksekutif), jelaslah keberpihakan itu melanggar amanat konstitusi. Pelanggarannya sangat fundamental Karena itu, posisi hukumnya bisa kita giring ke ranah kejahatan serius, terkait kejahatan kemanusiaan atau lingkungan. Boleh jadi, kejahatan lingkungan, bisa menjadi wacana baru yang layak kita diskursuskan secara produktif.
Review kebijakan – perlu kita ketahui garis-bawahi – bersifat lintas sektoral, mengena wilayah hulu dan hilir. Dalam kaitan hilir, ada satu sisi yang cukup mendasar, yang perlu disikap-tindaki secara serius. Seperti kita ketahui, untuk beberapa daerah, keberadaan sungai sungguh strategis sebagai sarana migrasi air dari hulu ke hilir dan akhirnya bermuara di wilayah laut. Ketika jarak hulu-hilir begitu jauh, atau ada persoalan seperti kedangkalan, maka wilayah di antara hulu sampai hilir menjadi sasaran “persinggahan” gelombang air dengan jumlah volume variatif. Tergantung kecekungan daerahnya. Inilah problem laten yang terus menghiasi daerah-daerah banjir selama ini.
Sejauh ini pendekatan solusinya lebih mengarah pada mengamankan arus air sungai. Seluruh kondisi yang dinilai sebagai kendala besar arus air ditertibkan dengan beragam program: normalisasi, naturalisasi, pengerukan sungai, penyodetan sungai. Dalam kaitan ini kiranya perlu penanganan serius program atau pemikiran yang sudah bergulir: pembuatan waduk atau bendungan baru.
Waduk Buatan Atau Bendungan Baru
Sejauh ini, daerah-daerah terkategori memandang sepi tentang arti strategis waduk buatan atau bendungan. Memang, terdapat waduk alami di berbagai daerah. Fungsinya cukup penting: sebagai penampung debit air manakala terjadi curah hujan yang tinggi. Keberadaannya pun relatif dijaga sebagai sistem irigasi primer. Kebutuhan distribusi air ke arena persawahan menjadikan keberadaan waduk krusial juga.
Lalu, bagaimana dengan wilayah perkotaan? Jika dikaitkan dengan masalah produksi pertanian, tentu wilayah perkotaan tidak terlalu bergantung pada waduk buatan atau bendungan. Namun – dengan kerusakan sistem ekologi yang cukup serius – justru wilayah dan atau masyarakat perkotaan sangat membutuhkan waduk buatan atau bendungan baru, terutama yang jarak hulu ke hilir cukup merentang. Konsep waduk buatan atau bendungan baru harusnya menjadi program mendasar bagi setiap daerah, terutama yang berdataran rendah. Pemikiran ini berangkat dari realitas panorama banjir yang menasional (di setiap daerah) terjadi banjir. Akan semakin krusial bagi daerah-daerah yang menjadi kantong-kantong sumber daya alam yang kini dieksploitase dalam jumlah melampaui batas.
Sebenarnya, pemikiran pembangunan waduk baru atau bendungan sudah mulai muncul. Sebut saja, proyek waduk atau bendungan di Sukamahi dan Ciawi. Kontrak Bendungan Ciawi ditandatangani pada 23 November 2016, digarap oleh SNVT PJSA Ciliwung Cisadane dan Abipraya-Sacna KSO. Nilai kontrak proyeknya mencapai Rp 757,8 miliar dengan luas area genangan 29,22 hektar dan volume tampung 6,45 juta meter kubik. Sementara, kontrak Bendungan Sukamahi yang ditandatangani pada 20 Desember 2016, digarap kontraktor Wijaya-Basuko KSO. Bendungan senilai Rp 436,97 miliar itu memiliki daya tampung tampung 1,68 juta meter kubik dan luas area genangan 5,23 hektar. Kedua bendungan tersebut ditargetkan selesai konstruksinya pada tahun 2019. Tapi, sampai hari ini masih dalam proses penyelesaian.
Sekali lagi, pemikiran pembangunan waduk baru dan atau bendungan sangat bisa diharapkan sebagai solusi banjir. Kedua proyek tersebut – menurut catatan banyak ahli – setudaknya mampu mengurangi sekitar 30% dari problem besar migrasi banjir yang terus menggenangi wilayah Jakarta dan sekitar (Bekasi dan Tangerang). Dengan analisis tersebut, maka proyek pembangunan waduk dan atau bendungan harusnya menjadi opsi utama penyelesaian. Kerangka solusi ini tetu bukan hanya untuk Jakarta dan kitarannya, tapi harus menjadi model pembangunan infrastruktur bagi daerah-daerah lain. Sebagai ilustrasi, jika berhasil membangun waduk atau bendungan 1.000 m (panjang) x 500 m (lebar) x 10 m (kedalaman), maka potensi genangannya mencapai 5 juta m3.
Andai Jakarta merancang pembangunan waduk di empat titik (Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Timur dan Jakarta Selatan), plus perawatan danau Sunter (mewakili Jakarta Utara) – secara konsepsional – akan terjadi reduksi debit air yang santat fantastik. Jika masing-masing merancang luas waduk atau bendungan itu 1.000 x 500 x 10 meter saja, maka genangan air Jakarta akan tertampung di lima titik itu. Jika masing-masing menampung kisaran 5 juta meter kubik, sudah terlihat daya tampungnya: mencapai 25.000.000 m3. Dan jumlah ini akan terkurangi secara signifikan dari dua waduk yang ada di Ciawi dan Sukamahi.
Waduk atau Bandungan Bervisi Ekosiwata
Andai pembangunan waduk dan atau bendungan itu hanya sekedar atasi banjir memang penting, tapi bisa dinilai kurang maksimal kemanfaatannya. Bersifat musiman. Karena itu, konsepnya harus plus ekowisata, bahkan plus lainnya: budidaya perikanan apung.
Dari awal, konsep pembangunannya untuk multifungsi: tampungan air hujan, system irigasi primer, budidaya perikanan apung dan menjadikan area wisata. Di lokasi itu perlu dibangun sarana dan prasarana wisata bahkan olah raga, pusat-pusat kuliner (resto dan warung-warung kecil). Semua itu akan menjadi faktor penumbuhan ekonomi, terutama ekonomi mikro. Jika konsepnya seperti ini, kiranya akan bermunculan pihak yang berminat untuk membagun infrastruktur itu.
Model seperti itu sangat memungkinkan masyarakat Jakarta dan sekitarnya bukan hanya support, tapi ingin terlibat lebih jauh untuk ikut memanfaatkan keberadaan waduk dan atau bendungan yang bervisi ekowisata itu. Ketertarikannya juga akan menjadi faktor reduktif jika dikaitkan dengan persoalan ganti rugi penjualan lahan. Dari awal perlu dibangun kesepakatan bahwa pemilik lahan akan menjadi bagian dari pemilik area waduk atau bendungan yang sarat dengan dimensi bisnis itu.
Dalam kaitan itu, kiranya tidaklah berlebihan bahwa keluarga besar Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) menilai bahwa konsep pembagunan infrastruktur pro lingkungan sekaligus ekowisata layak menjadi model kebijakan nasional, bukan hanya regional DKI Jakarta dan atau sekitarnya. Bahkan, Jakarta dan sekitarnya haruslah lebih terpanggil untuk merancang-bangun konsep waduk atau bendungan yang bervisi ekowisata dan budaya perikanan itu.
Itu semua menjadi jawaban konstruktif bagi kondisi sistem ekologi yang kini kian rusak. Jika tak ada komitmen politik yang kuat pro lingkungan, maka kita semua – bukan hanya Jakarta dan sekitarnya, tapi seluruh wilayah di Bumi Pertiwi ini – akan selalu dibayang-bayangi dampak krisis ekologi. Ancaman ekologi bukanlah fatamorgana. Peringatan ekologis sungguh nyata dan dirasakan. Menerpa semua lapisan masyarakat. Tak pandang kelas sosial-ekonomi, atau jender dan usia. Hayo, kita tinggalkan kepentingan politik sempit. Tak perlu saling tuding atau menyalahkan. Demi rakyat dan negeri ini, sudah saatnya dibangun kerangka solusi banjir dengan pemikiran dan nurani yang cerdas.
Jakarta, 24 Februari 2021
Penulis: Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI).