Sering menjadi perbincangan secara keilmuan, bahkan kritik. Itulah persoalan politik dinasti. Bahasan dan atau kritik sering terlontar, terutama jelang perhelatan politik per lima tahunan, saat menentukan kepala daerah atau negara. Mantan Presiden RI, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun pernah menyampaikan catatan kritis itu. Layak kita cermati lebih jauh.
Kritik SBY relatif proporsional. Politik dinasti – dalam konteks Indonesia – benar-benar muncul sejak Era Reformasi. Banyak elitis partai politik (parpol) – atas nama demokrasi – mengambil peluang semaksimal mungkin untuk menggapai kekuasaan. Persoalannya bukan pada kebebasannya secara personal memasuki kontestasi politik menuju kekuasaan, tapi dalam satu keluarga bersama-sama mengambil peluang itu. Hal ini kita saksikan secara mencolok pada mereka yang beridentitas Golkar dan PDIP.
Di antara modusnya adalah regenerasi kepemimpinan di tingkat daerah, yang lebih mengedepankan basis keluarga. Hari ini suami menjabat. Periode berikutnya bisa istri dan atau anaknya. Meski prosesnya melalui pemilihan kepala daerah, namun terjadi proses regenerasi yang menggambarkan celah penyalahgunaan fasilitas, setidaknya pengaruh (birokrasi bahkan amunisi).
Yang menyedihkan adalah, pemikiran regenerasi kepemimpinan itu – jika kita membaca sinyal-sinyal politik di tengah parpol besar – ada indikasi kuat tentang penyiapan jauh sebelum waktunya. Saat ini kita saksikan postur politik anak mahkota yang duduk sebagai walikota. Dan ia dirancang untuk menuju posisi gubernur ibukota negara. Dan – terdapat sinyal juga – untuk merancang ke posisi puncak negeri ini: presiden. Sisi lain, kita juga saksikan panorama penyiapan regenerasi kepemimpinan nasional dari the roling party dengan proses membangun postioning sang kandidat: sebagai ketua lembaga legislatif. Atas dasar biodata ini diharapkan akan menanjak karir politiknya, sehingga lebih mudah untuk menggapai kursi kepresidenen.
Secara teoritik, proses dan dinamika politik yang dibangun tidak membentur prinsip demokrasi. Namun, kita saksikan ada etika politik yang dirusak. Yaitu, terbangun sistem politik yang menghadang para kandidat potensial yang siap berlaga dalam kontestasi politik terbuka. Dampaknya, bukan hanya terjadi krisis figur, tapi negeri ini – dalam kaitan kepentingan daerah atau nasional – kehilangan sosk terbaik yang sejatinya punya diharapkan rakyat karena sejumlah keunggulan komparatifnya.
Harus kita garis-bawahi, hilangnya kesempatan bagi figur potensial dalam bursa kempimpinan daerah ataupun nasional merupakan kerugian imaterial yang – jika dikalkulasi secara ekonomi – tentu sangat besar nilainya. Bahkan, jika dikaitkan dengan anasir sisio-psikologi-politik, hilangnya kesempatan figur terbaik menjadi persoalan serius tersendiri, di antaranya: kemandegan daerah dan atau negara dalam membangun langkah yang lebih besar.
Sebuah renungan mendasar, mengapa politik dinasti cukup subur di negeri ini yang baru menggeliat berdemokrasi ini? Dalam hal ini ada beberapa faktor, di antaranya – pertama – keluarga politisi memiliki pengaruh besar, karena memang sudah memiliki investasi politik jauh sebelumnya, terkait internal birokrasi ataupun eksternal (publik secara luas). Kedua, ia pun – dengan pundi-pundi yang telah dimiliki – terkategori cukup siap untuk menghadapi konsekuensi biaya politik yang terkenal sangat mahal ini. Dan ketiga, dua faktor ini menjadikan prakira tentang keberhasilan kandidat dari unsur keluarga untuk menang dalam kontesti. Hal ini menjadi magnet bagi sejumlah bohir untuk memperkuat kepentingan politik dinasti.
Keterlibatan proaktif para bohir menjadikan peluang kemenangan kandidat dinasti jauh semakin besar. Optimisme ini didasarkan pada perubahan perilaku politik massa yang sangat pragmatis. Money politics saat ini – perlu kita catat – menjadi faktor penting untuk menentukan kemenangan dan gagalnya. Dengan mendasarkan diri pada perilaku politik massa, kandidat dari unsur dinasti terpaksa harus all out untuk “membombardir” dana politiknya.
Di sanalah munculnya sikap melirik kepada para bohir. Sementara bohir pun melihat, inilah saat tepat untuk memasuki kepentingan taktisnya di wilayah kekuasaan. Dan cara pandang itu – harus kita catat lagi – sangat berhasil. Kondisi faktual ini pula yang mendorong perilaku politik, di manapun kontestasi politik saat ini, terkait pilkada ataupun pemilu nasional, selalu melibatkan anasir kaum pemodal, tanpa memikirkan konsekeunsi logis yang bersifat kompensasional.
Bagi pengsuaha taka da yang gratis. Karena itu, saat diminta membantu persoalan keuangan untuk mendanai perhelatan politik, ia atau mereka pasti sudah berhitung untung-ruginya. Karena itu, ia atau mereka selalu berpikir prospek kemenangan kandidat yang diback up itu. Sekedar catatan, awal mula, para bohir banyak bermain di belakang layar. Tapi, perkembangan berikutnya, mereka berpartisipasi langsung sebagai kandidat dalam even pilkada. Dan tak sedikit yang berhasil terpilih. Yang perlu kita proyeksikan, apakah kehadirannya dalam panggung kekausaan untuk tujuan politik pemakmuran, atau bisnis? Sebagai karakter pengusaha, maka pertimbangan bisnis lebih dominan. Inilah titik ancaman serius ketika para pemodal kuat memasuki belantara politik praktis (kekuasaan).
Memang, taka da larangan bagi kaum pemodal memasuki kekuasaan. Yang harus ditekankan adalah moivasi dasar memasuki politik (kekuasaan). Jangan sampai, pertimbangan bisnis menjadi utama, sehingga akan terjadi kegagalan mendasar dalam tujuan berkuasa bagi kepentingan rakyatnya. Inilah dinima politik dalam era eforia demokrasi.
Sekali lagi, dalam wacana demokrasi, politik dinasti sah-sah saja. Itu fakta empirik. Namun demikian, sejumlah noda hitam dalam politik dinasti juga tak bisa dipandang sebelah mata. Yang perlu kita cermati, proses politik yang keliru – secara hukum alam (sunnatullah) – cenderung menghasilkan format politik yang tak akan sejalan dengan idealitas kekuasaan. Kebijakannya akan cenderung tidak responsif sesuai dinamika riilnya. Jika tampak responsif, lebih merupakan pencitraan. Berarti, tidak sampai pada tujuan berpolitik yang sesungguhnya: kesejahteraan untuk rakyatnya, kedamaian untuk seluruh elemen masyarakatnya dan sejumlah tujuan mulia dalam panggung politik praktis.
Itulah yang membuat banyak elemen masyarakat sering mengkritisi panorama politik dinasti. Dan SBY – sebagai tentara yang sangat educated dan tergolong matang dalam mengarungi sistem demokrasi – pun pernah mengkritisi panorama politik dinasti itu. Namun, kini beliau diperhadapkan posisi politik yang tampaknya tergiur pada perjalanan politik dinasti. Meski tidak langsung menuju panggung kekuasaan, namun publik membaca bahwa pemaksaannya menempatkan putera mahkotanya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat (PD) tak bisa dipungkiri bahwa langkah politiknya dalam rangka menggapai kekuasaan di area eksekutif: bisa kepala daerah selevel gubernur bukota negara ataupun kepresidenan.
Kemauan politik itulah yang mengakibatkan sebagian elemen internal PD tidak sejalan. Mereka melakukan kritik tajam. Persoalannya bukan pada keberatan pemposisian Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Ketua Umum PD hasil Kongres V Partai Demokrat tahun lalu, tapi terlihat proses politik pemaksaan untuk menempati posisi puncak PD tanpa mengindahkan prinsip yang sesuai Angaran Dasar dan Rumah Tangga. Seperti kita ketahui, status keanggotaan AHY pada PD barulah sekitar tiga tahun lalu. Dan hal ini menjadi persoalan dasar bagi sang Ketua Umum karena AD/ARTnya memang memberikan ketentuan minimalitas status keanggotaan lima tahun.
Siapapun sebagai kader PD, apalagi tercatat sebagai bagian pendiri, tentu bisa memahami ketika mereka menyampaikan kritik tajamnya. Namun, seperti yang kita saksikan, mereka yang berseberangan justru mendapat sanksi indisipliner dari PD. Bertebaran saksi itu justru menambah konflik internal secara terbuka. Jika kemelut ini tidak diselesaikan dengan bijak dan penuh dewasa, maka keberadaan PD ke depan dipertanyakan. Bukan tak mungkin akan drop.
Karena itu, sebagai elemen politik dari Partai Negeri Daulat Indonsia (PANDAI) yang kebetulan pernah menjadi kader PD, kiranya tidaklah berlebihan untuk mendengarkan suara lantang sejumlah kader yang kini sudah dipecat itu. Dan Kongres Luar Biasa (KLB) merupakan jalan bijak, sekaligus kerangka solusi konstruktif. Forum KLB inilah yang bakal menentukan sosok Ketua Umum PD secara demokratis. Tentu wajar jika ada kompetisi, namun tetap menjunjung tinggi prinsip fairness.
Yang perlu digaris-bawahi, forum KLB haruslah terbuka. Siapapun yang memenuhi syarat sebagai calon ketua umum perlu dihormati hak-haknya untuk ikut maju dalam kontestasi. Ketika internal PD tidak mempersoalkan masa keanggotaan AHY dalam bursa kepemimpinan dari sisi AD/ART, maka siapapun yang berminat dalam pemilihan calon pemimpin PD haruslah juga diperkenankan ketentuan yang sama, sehingga ia berhak memasuki kontestasi itu.
Persoalan terpilih dan tidaknya, itu hak para delegasi Kongres. Yang terpenting adalah komitmen kuat sang kandidat untuk all out membesarkan PD. Dengan demikian, PD – secara internal – tak perlu risau dengan pendatang baru yang siap memimpinnya. Dan tentu, tak perlu risau pula bagi para pihak yang pernah menjadi kader, meski sudah sekian lama absen dalam blantika politik PD.
Keterbukaan mekanisme pemilihan seperti itu, kiranya punya prospek solusi konstruktif bagi PD ke depan. Sebuah renungan, apakah Ketua Majelis Tinggi PD akan menghargai proses dan mekanisme politik internal PD? Jika memang anti politik dinasti, kini saatnya beliau menghargai sikap politik para kadernya yang tak sejalan. Di sana akan kita saksikan kualutas sosok pemimpin yang benar-benar teruji melalui kontestasi secara terbuka dan fair. Inilah kualitas demokrat sejati bagi PD. Sesuai namanya.
Jakarta, 10 Maret 2021