Akan terjadi problem besar, tidak hanya lokal tertentu, tapi berpotensi menyeluruh di negeri ini. Itulah jika pilkada serentak pada 2024 dipaksakan, meski tidak berbarengan persis waktu penyelenggaraannya antara pilkada dengan pemilu nasional. Bagaimanapun Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelengara pemilu harus mempersiapkan sejumlah perangkat teknis dan lainnya, termasuk sumber daya manusia (SDM). Juga, harus mampu menyelesaikan seluruh tugas pilkada yang sangat berdekatan waktunya dengan pemilu nassional (pilpres dan pileg).
Kita dapat membayangkan, berapa besar volume pekerjaan yang bakal dihadapi KPU nasional dan daerah, termasuk jajaran di bawahnya: KPPS di tingkat kecamatan, kelurahan dan atau desa, bahkan di tingkat TPS. Di depan mata, dapat diestimasi tingkat volume yang demikian besar yang harus dihandle para petugas KPU itu, mulai dari tahab perencanaan, pelaksanaan, monitoring kampanye, distribusi properti suara sampai pelaksanaan teknis pada hari “H”. Lalu, bagaimana kesiapan SDM KPU yang bersifat organik (struktural) dan nonstruktural itu?
Mengenang pemilu 17 April 2019 lalu yang membersamakan pilpres dan pileg telah menelan banyak korban: tak kurang dari angka 900 orang petugas. Meski banyak spekulasi tentang faktor kematiannya, namun satu hal yang sulit dibantah adalah catatan medik bahwa mereka yang meninggal karena volume kerja yang sangat melelahkan, terutama pada hari “H”.
Sebuah renungan, apakah peristiwa pahit harus dibiarkan terulang lagi? Tentu tidak. Karena itu, negara dan khususnya DPR RI berkepentingan besar untuk mencegah peristiwa pahit seperti yang terjadi pada pemilu nasional 2019 itu. Pertimbangan kemanusiaan ini harusnya menjadi alasan utama untuk menolak revisi UU Pemilu 2017. Dengan mengacu Pancasila dan UUD 1945, setiap warga negara – termasuk para penyelenggara pemilu nasional dan pilkada serentak – harus dilindungi keselamatan jiwa-raganya dalam kondisi apapun.
Sisi lain, persoalan keamanan yang tetap harus dijaga, pada saat perhelatan itu, sebelum dan sesudahnya. Tak bisa dpungkiri, problem keamanan sering terjadi akibat sengkerta pilkada serentak, bahkan pemilu nasional. Dan hal ini praktis melibatkan aparat keamanan dan ketertiban, yang – secara kuantitatif – terbatas jumlahnya. Maka, keserentakan pilkada dan pemilu nasional cukup membahayakan bagi stabilitas keamanan nasional. Problem keamanan itu merupakan akibat dari kompetisi vulgar dari masing-masing kandidat yang memaksakan kehendaknya dengan segala cara. Fokus ke pilkada serentak ini akan berdampak negatif bagi proses politik pemilu nasional. Setidaknya, akan menimbulkan problem kualitas, sehingga tujuan utama pemilu nasional tidak tidak tercapai dengan baik.
Dan di sisi lain lagi, dengan pelaksanaan pilakda serentak pada 2024, maka akan banyak pelaksana tugas (Plt) dan terlalu lama menjabat. Dalam hal ini, tugas gubernur yang berakhir pada tahun 2022 meliputi Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat dan Papua Barat. Sedangkan tahun 2023 ada 17 provinsi yang gubernurnya akan berakhir masa jabatannya, antara lain Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Maluku, serta Papua. Lebih dari itu, kepala daerah hasil pemilihan 2020 kemarin praktis hanya akan menjabat sampai tahun 2024. Satu hal yang perlu digaris-bawahi, masalah kewenangan Plt. yang tidak boleh mengambil kebijakan strategis. Inilah persoalan serius tersendiri pada roda pemerintahan daerah.
Sementara itu, gagasan pilkada serentak 2024 juga berbenturan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 55/PUU-XVII/2019 yang mengubah pendiriannya soal konstitusionalitas pemilu serentak terkait lima kotak sebagai satu-satunya pilihan yang konstitusional (Putusan MK No.14/PUU-XI/2013 (23 Januari 2014). Putusan ini sesungguhnya merupakan refleksi atas kompleksitas persoalan Pemilu 2019 lalu.
Dalam kaitan itu revisi UU Pemilu dan munculnya gagasan pilkada serentak pada 2024, muncul pertanyaan, ke mana arah politikya revisi UU Pemilu yang menekanan pilkada serentak 2024 itu? Apakah pertimbangan kalkulasi biaya yang relatif bisa ditekan (hemat)? Atau, ada sejumlah hiden agenda, sehingga layak kita analisis lebih jauh?
Jika analisis dari sisi ekonomi mikro, data KPU menunjukkan, biaya pemilu nasional (pilpres dan pileg) pada 17 April 2019 menelan biaya Rp 25,38 trilyun. Lalu, dengan membuka data pilkada serentak pada 15 Februari 2017 untuk 100 daerah mencapai Rp 4,15 trilyun dan pilkada serentak pada 2015 yang mencapai Rp 7,1 trilyun, maka pemilu serentak 2024 (pilkada, pilpres dan pileg), setidaknya perlu dialokasikan Rp 32,47 trilyun (acuan biaya plus pilkada serentak tahun 2015). Atau, senilai Rp 29,53 trilyun (tambahan biaya pilkada 2017). Karena itu, penambahan anggaran pilkada serentak bersama pemilu nasional (pilpres dan pileg) tetap bernilai tidak murah. Karena itu, landasan kalkulasi ekonomi sebagai pertimbangan biaya lebih murah untuk pilkada serentak pada 2024 itu tidak logis.
Ketidaklogisan ini mengundang tanya sisi lain. Jadi, motif apakah yang disembunyikan itu? Perlu kita catat, masyarakat kita kian cerdas. Era teknologi informasi yang kian canggih sangat mudah untuk mendeteksi hiden agenda itu. Dalam hal ini sebagian publik sudah mulai meraba bahwa keserentakan pilkada pada 2024 dengan pilpres dan pileg sarat dengan kontestasi kepemimpinan nasional yang kian kompetitif. Jika arahnya ke kontestasi itu, tentu akan jauh lebih elegan jika masing-masing partai politik mempersiapkan diri kader-kader terbaiknya. Ciptakan budaya sehat dalam irama kontestasi kepemimpinan nasional. Jika memang partainya tidak memiliki kandidat terbaiknya yang sangat kompetitif, maka diperlukan langkah politik yang elegan pula. Yaitu, membangun komunike produktif dan berdaya-guna. Bukan untuk kepentingan sempit (partainya), tapi lebih merupakan artikulasi kepentingan nasional.
Harus kita catat, tabiat politik sangat cair. Ketika dulu berseberangan afiliasi politiknya, sangatlah sah dan wajar jika pada 2024 nanti justru berkoalisi. Yang jauh lebih penting, koalisinya untuk negara dan bangsa yang haruslah lebih baik. Inilah kelincahan berpolitik. Hal ini bukan terkategori pragmatis. Tapi, lebih merupakan sikap analitik yang cerdas dalam membaca peta politik riil.
Sikap politik cerdas tersebut harusnya menjadi model kebijakan partai. Di satu sisi, perhelatan pemilu dan atau pilkada hanya mekanisme politik demokratik. Dan partai politik menjadi aktor dalam mengarungi mekanisme itu. Sementara, the main goal (tujuan utama) dari pemilu itu adalah mencari sang pemimpin terbaik, dalam panggung nasional ataupun daerah. Untuk menterjemahkan visi dan misi besar kepentingan bangsa dan negara, bukan keentingan lainnya.
Idealitas itu tidak mudah dicerna dan diterima oleh elitis tertentu. Parpol yang sudah mengendepankan kepentingan pribadi akan menggiring optimal bagaimana kandidat dari partainya bisa tampil sebagai pemenang dalam panggung kontestasi nasional dan daerah. Dengan pemikiran seperti inilah, para penggagas pilkada serentak 2024 tampaknya berusaha mengamputasi para rivalis unggul. Yang menjadi sorotan utama memang sang kandidat pemimpin nasional. Tapi, untuk meloyokan kekuatan kandidat potensial ini, maka pilkada serentak 2024 menjadi strategi melemahkannya.
Sah-sah saja partai politik membangun skenario canggihnya. Namun, kita harus menimbang dengan penuh prinsip kemanusiaan. Yaitu, pilkada serentak 2024 berkonsekuensi pada volume kerja yang demikian besar. Dan hal ini langsung terbayang malapetaka kemanusiaan. Sulit dihindari. Sangat mungkin, jumlah korbannya akan jauh besar dibanding pemilu nasional 2019. Yang harus dicatat lagi, keluarga yang ditinggalkan harus menderita akibat kewafatan sang petugas pemilu dan atau pilkada serentak itu. Ada problem besar (penderitaan batini dan jasadi) dalam perjalanan waktu ke depannya. Penderitaan itu pun sangat mungkin melebar ke ranah lain: problem kelanjutan studinya kerena tiadanya penyangga ekonomi dari sosok yang diandalkannya. Dan boleh jadi, penderitaan hidupnya karena tak ada lagi pemberi nafkah rutinnya.
Sebagai keluarga besar Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDA) kiranya tak berlebihan untuk mengajak berfikir jernih. Mari, kita – selaku anak bangsa, terutama yang kini mendapat amanah sebagai anggota dan atau pimpinan DPR RI dan DPD RI – untuk menjunjung tingga kemanusiaan: kedepankan keselamatan dan kedamaian negeri ini daripada harus mengartikulasikan politik distruktif. Inilah spirit Pancasila yang harus dibumikan, sekaligus amanat konstitusi. Karena itu, upaya revisi UU Pemilu yang menekankan pilkada serentak 2024 bukan hanya perlu ditinjau kembali, tapi memang harus dicegah. Karena resiko nyawa dan konfliktualitasnya cukup besar. Inilah konsekuensi logis jika pilkada serentak 2024 dipaksakan.
Jayapura, 6 Februari 2021
Penulis: Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)