Sehat dan menyehatkan, bahkan menyenangkan. Itulah lingkungan yang bersih. Sebaliknya, kotoran yang berserakan sering mengakibatkan risiko tragis. Banjir yang melanda karena penyumbatan barang di berbagai celah jelaslah sering membuat umat manusia menderita, secara fisik atau psikis. Sangat mengganggu. Karena itu, kebersihan lingkungan menjadi kebutuhan asasi. Sikap dan tindakan konkretnya? Lihat sampah, langsung ambil. Agar selalu bersih (pinasa sampah ala). Dan dalam kaitan sistem keamanan lingkungan, maka cermati dan ambil tindakan jika terlihat gejala yang membahayakan. Itulah yang perlu kita refleksi lebih jauh. Sebagai sikap paradigmatik futuristik.
Perlu kita garis-bawahi, pembudayaan pinasa sampah ala merupakan sikap tegas untuk mengakhiri penderitaan umat manusia, yang – selama ini – sering terdera oleh tragedi tahunan yang bernama banjir itu. Meski banyak faktor terjadinya banjir yang menggenangi wilayah perkotaan, namun masalah ketidakbersihan lingkungan ikut berandil terhadap dampak yang memprihatinkan umat manusia. Itulah problem lingkungan fisik yang tak tak terpelihara. Tiadanya komitmen publik terhadap kebersihan.
Kini, kita perlu merefleksikan lebih jauh, bagaimana dengan “sampah” yang ada di lingkungan lain seperti lembaga birokrasi (pemerintahan) atau parlemen, bahkan institusi resmi lainnya? Perlu kita pertegas, sampah di tengah birokrasi atau di sejumlah institusi negara juga cukup dahsyat. Menjadi problem destruktif yang mengakibatkan negara diperhadapkan kemandegan pembangunan. Rakyat didera kemiskinan dan tak berdaya. Dan ketidakberdayaan itu seperti dibangun secara konspiratif.
Sampah-sampah yang berserakan itu sering kita saksikan pada praktik penyalahgunaan wewenang, atas nama pribadi atau berjamaah, secara mandiri atau konspiratif dalam ragam kebijakan, dari level tertinggi hingga terbawah. Bersifat srukturalistik. Sampah-sampah itu – seperti yang kita saksikan bersama – tampak dalam wajah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Ketiga jenis sampah ini – dalam perjalanan tata-kelola kenegaraan sepanjang negeri ini merdeka – belum pernah berhasil dibersihkan secara tuntas.
Gelayut KKN itu – dalam catatan sejarah – telah menjadi faktor salah satu orde terlengser. Dan Orde pelanjutnya – meski sudah terlebel reformasi – pun masih eksis “makhluk” KKN itu. Dampak destruktifnya jelas: potret kemiskinan masih bertengger “gagah”, meski pernah terjadi pengurangan sebelum pandemi covid-19. Sebuah gambaran yang mencerminkan kondisi ketidakadilan. Tidak manusiawi. Jauh dari cita-cita pendiri negara sekitar 75 tahun silam.
Memang, masih ada komitmen besar di tengah penyelenggara negara untuk membebaskan diri dari makhluk KKN itu. Tapi, komitmen besar ini masih terseok-seok. Yang menarik untuk kita garis-bawahi, keterseokan itu justru kini sering dilakukan oleh pejabat tinggi negara, di samping sejumlah pejabat negara dan atau pejabat publik lainnya. Inilah yang kita saksikan pada panorama “pesantren” di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Suka Miskin – Bandung, yang santrinya khusus para koruptor. Dan LP Suka Miskin ini tampak kian “diminati” sejumlah calon “santri” baru akibat proses hukum yang tengah menjerat sejumlah tersangka dan atau terdakwa korupsi, kolusi.
Santri-santri baru LP Suka Miskin itu – setidaknya – telah menjadi sorotan publik sejalan dengan kasus korupsi atau penyalahgunaan wewenang oleh dua mantan menteri: dari Kementerian Sosial, yang kemudian – diduga – merembes ke sejumlah elitis (petinggi negara sekakigus partai politik atau daerah), di samping menerpa mantan orang nomor satu di Kementerin Kelautan dan Perikanan (KKP).
Masyarakat tak habis pikir, terlebih terhadap mantan Menteri Sosial. Di tengah pandemi covid-19, kok tega: bantuan sosial yang sangat ditunggu masyarakat disunat. Nilai per paketnya fantastik. KPK mengindentifikasi, terdapat penyunan dana kisaran 30% per paket bantuan sosial (bansos). Sebuah renungan, berapa besar dana sunatan itu ketika dikalikan jutaan penerima bansos? Secara teoritik, nilai kalukaltifnya mencapai triyunan rupiah, meski kini baeeu terkuak sebagian kecilnya.
Memang, besar-kecilnya nilai dana bansos relatif. Untuk sementara, tersiar kabar sekitar Rp 17 milyar dana yang tersunat secara sadar dan melawan hukum. Nilai ini tentu tak ada artinya jika dibandingkan kasus BLBI, Bank Century, Asuransi Jiwasraya dan lainnya. Namun, penyunatan dana bansos di saat pandemi jelas jauh lebih sadis, tidak berprikemanusiaan. Sungguh tega menyaksikan saudara setanah airnya menjerit kelaparan. Terengah-tengah berjuang antara hidup-mati. Bagi keluarga miskin, nilai Rp 100.000 tetap punya arti besar. Setidaknya, untuk mempertahankan hidup satu atau dua hari. Sementara itu, dalam masa bersamaan, para pengemplang dana bansos itu berfoya-ria di atas penderitaan rakyat.
Itulah panorama yang membuat Presiden Jokowi pun tampak geram kepada pembantunya saat menyaksikan aksi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap mantan menteri KKP. Juga tak kalah geramnya saat menyaksikan sahabat separtainya menyerahkan diri ke KPK karena dugaan korupsinya. Dapat dipahami kegeramannya. Di satu sisi, karena peringatannya seperti diabaikan, bahkan dilecehkan. Secara langsung atau tidak, menteri korup itu benar-benar menampar wajah Presiden. Menginjak-injnak harga diri orang nomor 1 negara, sekaligus menodai partai yang dikendarai.
Seperti kita ketahui, Presiden sudah wanti-wanti agar jangan dekat-dekat dengan masalah korupsi. Sisi lain, Presiden memang harus geram karena komitmen bersih di lingkungan kabinetnya seperti dihambat oleh orang terdekatnya selaku menteri, padahal tugas utama sang menteri adalah menterjamahkan dan memperjuangkan implementasi kebijakan/program pembangunan. Menteri tak layak menghambat kinerjanya.
Karenanya, saat mendengar pembantunya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) atau sang pelaku langsung menyerahkan diri ke KPK, Jokowi merespon tegas dan jelas. “Saya tak akan melindungi. Saya menghormati proses hukum yang kini dilakukan KPK”. Sikap ini – dalam perspektif lingkungan birokrasi – menunjukkan komitmen anti korupsi. Kabinet harus bersih dari praktik penyalahgunaan wewenang. Sebagai pemegang otoritas tertinggi pemerintahan, Presiden berkewajiban untuk membersihkan kotoran di lingkungan birokrasinya, yang – secara hirarkis – perlu dilakukan secara bersama di level bawahnya: provinsi, kabupaten/kota.
Keamanan Lingkungan
Bagaimana dengan masalah keamanan lingkungan? Lingkungan yang aman juga menjadi kebutuhan yang cukup mendasar bagi setiap warga negara. Atas nama konstitusi (UUD 1945, Pasal 28D), setiap warga negara berhak mendapat jaminan hidup yang aman. Karena itu negara berkewajiban menciptakan sistem keamanan sampai ke wilayah dan gugus terkecil. Sistem ini haruslah dirancang-bangun secara sistimatis, termasuk di antaranya menciptakan partisipasi aktif masyarakat dalam mewujudkan kebutuhan asasi (keamanan) itu.
Tingkat partisipasi yang mengakar itu diperlukan sejalan dengan ragam kepentingan bangsa ini demikian komplek. Ketidakpuasan penerapan kebijakan yang terjadi berpotensi menimbulkan riak-riak distruktif, terkait ekonomi, politik, bahkan sendi keagamaan. Riak-riak ini sering kita saksikan pada panorama radikalisme ekstrim seperti gerakan separatis yang bersifat politik-idelogis. Juga, kita saksikan pada radikalisme akibat ketidakadilan perlakuan, seperti sering kita saksikan parnorama terorisme dan anarkhisme. Apapun faktornya, negara haruslah terpanggil untuk mengatasi riak-riak destruktif itu, meski haruslah dengan mengedepankan pendekatan tindakan humanistik. Pendekatan kemanusiaan diperlukan agar kerangka solusinya tidak menimbulkan masalah baru. Mencegah dendam berkelanjutan. Namun, jika pendekatan humanis tak efektif, maka tak ada salahnya dan bersifat terpaksa diperlukan tindakan yang lebih tegas.
Dalam kerangka maksimalisasi pembangunan sistem keamanan itu pula, diperlukan model sistem keamanan melekat. Artinya, untuk wilayah terkecil seperti Rukun Tetangga (RT) atau lebih luas sedikit (Rukun Warga) perlu dibangun sistem yang mendorong seluruh elemen masyarakat peduli untuk menjaga keamanan di lingkungannya masing-masing. Dalam kerangka inilah kiranya tidak berlebihan jika kita saksikan kebijakan yang memberikan insentif bulanan bagi pengurus RT/RW. Perhatian mereka karena mereka itulah yang tahu persis kondisi lingkungan terkecilnya, sehingga mudah mendeteksi ketika terlihat gejalan yang mencurigakan.
Akhirnya, kita perlu mencatat bahwa komitmen lingkungan birokrasi bersih dan kepedulian besar terhadap keamanan lingkungannya sejatinya merupakan refleksi dari wujud nasionalisme. Secara ideologis, siapapun anak bangsa di negeri ini, termasuk elemen pengelola negara, dari posisi tertinggi sampai terbawah, berkewajiban untuk mencintai negaranya. Salah satu indikatornya harus sama-sama terpanggil untuk memajukan negara. Dan salah satu dimensi penting dalam upaya memajukan negara adalah membuang jauh “sampah-sampah” yang berserakan di tengah lingkungan birokrasi. Karena, dinilai mengganjal proses pembangunan. Juga, haruslah terpanggil untuk menciptakan sistem keamanan mulai dari tingkat paling bawah.
Perlu ditegaskan, penjauhan sampah-sampah (anti korupsi) itu harus ditunjukkan pada komitmen kuat penegakan hukum bagi siapapun yang menebarkan sampah di lingkungan birokrasi. Sebab, sedikit memberikan toleransi (tidak segera pungut sampah), akan berimbas pada sikap dan perilaku yang akan mentolelir kian merebaknya sampah. Inilah komitmen nasionalisme sejati sebagai alat uji. Karenanya, seluruh elemen – termasuk partai politik mana pun – harus sejiwa: budayakan pinasa (lihat sampah ambil), yang – dalam perspektif lingkungan birokrasi – diterjemahkan dengan tindakan tegas: segera bersihkan korupsi di institusi manapun. Di sisi lain, sudah saatnya bagi seluruh elemen masyarakat juga harus terpangggil untuk sama-sama menciptakan sistem keamanan yang membuat seluruh elemen merasakan nyaman. Perlu bahu-membahu untuk misi keamanan lingkungan.
Inilah komitmen kuat yang juga menjadi garis politik Partai Daulat Negeri (PANDAI). Hayo kita bahu-membahu untuk negeri ini. Agar jauh lebih berdaulat dan mandiri. Ujian bagi kita, apakah betul cinta negeri ini? Jika ya jawabannya, maka tak ada kata lain kecuali “hayo…”. Sebaliknya, jika ia tutup mata terhadap sampah yang berserakan itu (korupsi masih meralela) dan problem keamanan, maka sesungguhnya ia sosok a nasionalis. Cukup jelas alat ujinya.
Jakarta, 5 Januari 2021
Penulis: Ketua Umum Partai Daulat Negeri (PANDAI)