Oleh : Farhat Abbas Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Diperhadapkan tantangan dilematis. Tapi, diperlukan solusi tepat: tetap menjalankan peran stabilisator, tapi tak keluar dari identitasnya sebagai “anak kandung” rakyat. Itulah keberadaan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di tengah era demokrasi Indonesia saat ini, di samping tuntutan dunia global yang bersifat transnasionalistik. Sebuah renungan mendasar, bagaimana TNI harus bersikap jelas dan tegas dalam pusaran kepentingan nasional dan global? Keliru mengambil kebijakan, TNI akan kehilangan jatidirinya sebagai institusi – yang secara historis – menjadi garda terdepan untuk menjaga kedaulatan negara yang kemerdekaannya diraih penuh pengorbanan jiwa dan raga, bukan hadiah.
Seperti kita ketahui, dalam era demokrasi ini dinamika dalam negeri penuh warna. Dalam kaitan ideologi, para pendiri negara telah merumuskan Pancasila sebagai dasar negara. Bersifat final. Namun, sudah sekian lama (sejak masa-masa awal kemerdekaan), Pancasila dirongrong. Terdapat banyak komponen bangsa seperti dari barisan DI/TII dan PKI berusaha mengganti ideologi yang telah dirumuskan dan dibacakan di hadapan konstituante pada 18 Agustus 1945 itu berusaha diubah secara makar. Dan belum lama ini pun – melalui RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) dan – karena ada resistensi kuat dari masyarakat luas berubah menjadi PIP (pedoman Ideologi Pancasila) – Pancasila diutak-atik: menjadi trisila dan akhirnya kea rah ekasila.
Dinamika tersebut menjadi tantangan yang tidak ringan. Sebab, di antara aktor penggeraknya merupakan komponen yang berkuasa, baik di lembaga parlemen ataupun lembaga eksekutif, secara langsung atau tidak langsung. Sementara, TNI merupakan bagian dari sistem pemerintahan yang – secara fungsional – harus menjaga keberlangsungan pemerintahan yang sah, meski TNI bukan alat kekuasaan. Hal ini – tak bisa dipungkiri – TNI diperhadapkan dilema. Di satu sisi, sebagai Sapta Margais sejati, Pancasila harga mati dan tak bisa lagi digantikan dengan nafas manapun. Dan siapapun yang berusaha mengganti dasar negara Pancasila berarti harus berhadapan dengan TNI. Di sisi lain, di samping harus menjaga keberlangsungan pemerintahan yang sah, TNI juga tetap harus mewujudkan stabilitas dengan tidak melukai nurani rakyat.
Menghadapi dilema itu, TNI tak boleh bergeser dari doktrinnya sebagai penjaga dan pemelihara kedaulatan negara. Sementara, keberlangsungan Pancasila bagian dari keputusan politik-idelogis yang terkait langsung dengan kelangsungan entitas negeri ini, sekaligus arah perjalanan negara saat ini dan ke depan. Karena itu, mempertahankan dan memastikan Pancasila di negeri ini menjadi komitmen atau tekad yang tak bisa ditawar-tawar.
Artinya, jika sebuah pemerintahan – karena dukungan organ partai politik atau lainnya yang cenderung berpihak pada pengubahan apalagi penggantian Pancasila – maka, apa boleh buat: demi jatidiri yang harus ditegakkan, TNI harus berseberangan. Bukan mbalelo kepada sebuah rezim, tapi justru kesetiannya kepada negara. Sesuai amanat konstitusi. Bahkan, sejalan dengan panggilan sajarah. Catatan hostoris ini telah dibuktikan dengan penuh dedikatif semasa Orde Lama yang penuh gejolak politik-ideologis itu. Catatan historis ini pun harusnya dijadikan banch mark untuk diikuti, meski beda era, yakni demokrasi dan karenanya beda pendekatan untuk menghadapinya.
Ketika landasannya konstitusional, maka gerak TNI akan selalu mendapat dukungan rakyat secara meluas. Tidaklah berlebihan jika sikap ideologis TNI seperti itu, dinilai sejalan dengan politik rakyat. Kebersatuan TNI – Rakyat menjadikan institusi TNI akan selamanya kuat (powerful), disegani dalam dan luar negeri, penuh wibawa dan dielu-elukan seluruh elemen bangsa, di manapun dirinya berada.
Sementara, di tengah era demokratisasi yang kini kian menguat, TNI juga diperhadapkan dinamika politik, yang kadang cukup menajam. Dinamika politik akibat pemilihan presiden-wakil presiden atau kepala daerah misalnya, semua itu sering mengakibatkan suhu politik memuncak. Tak bisa dipungkiri, dinamika itu – jika tak dikendalikan – berpotensi mengakibatkan masalah serius bagi stabilitas nasional.
Dalam kaitan itu – menurut UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia – TNI haruslah netral atas hajat bangsa. Namun demikian, TNI berkepentingan untuk menjaga stabilitas negara. Ketika sebagian komponen beraksi secara demonstratif, hal itu harus dilihat oleh TNI sebagai konsekuensi demokrasi yang dinamis. Cara pandang dan sikap demokratis akan mengerem diri bagi TNI untuk tidak mencampuri urusan politik praktis rakyat yang jelas-jelas punya hak dan dijamin UUD NRI 1945, Pasal 28.
Di lapangan, cara pandang dan sikap demokratis itu sering berbeda. Tak sedikit, elemen TNI “tergoda” dalam berpihak. Di antara mereka keliru menterjemahkan dan mengaplikasikan fungsi dan peran TNI sebagai alat negara dibanding alat kekuasaan. Ketika keliru menterjemahkan dana tau mengaplikasikannya cenderung menjadi alat kekuasaan, rakyat terdorong “menggugat”. Arahnya nyinyir, karena seolah TNI lupa jatidirinya: dari, oleh dan untuk rakyat. Ketika penerjemahannya kian jauh, maka sejatinya TNI kehilangan mitra strategis sebagai kesatuan kekuatan. Berkaca pada sejarah, rakyat menjadi penopang mitra kekuatan strategis TNI, terutama dalam medan tempur. Inilah realitas keterikatan emosional TNI-Rakyat yang tak boleh dipisahkan.
Itulah tantangan dalam menghadapi realitas dinamika anak bangsa. Hal ini mendorong petinggi TNI di berbagai level untuk tetap pegang teguh Sapta Marga dan peran doktrinal bahwa stabilitas negara merupakan kondisi yang harus dipertahankan. Justru, dengan netralitas yang diperlihatkan, TNI akan menjadi pendulum bagi rakyat untuk mengurangi agresivitasnya dalam melancarkan aksi kekecewaan.
Panorama netral itu sering diperlihatkan ketika rakyat harus berhadapan dengan elemen kepolisian yang – di mata rakyat – sering gagal dalam menunjukkan netralitas. Ketika TNI mencegah “brutalisme” kepolisian, di sana kita saksikan bagaimana rakyat bukan hanya berterima kasih, tapi benar-benar menghormati peran politik TNI di tengah suhu politik yang memanas itu. Karena itu, politik TNI yang harus diperkuat adalah memperkuat tekad dan komitmen netralitasnya di tengah pusaran kepentingan politik bangsa. Hal ini mendorong elemen TNI untuk menempa diri bagaimana membangun pengendalian diri. Kematangan mental seperti ini haruslah ditopang dengan beragam kebijakan pendidikan dan pelatihan, sehingga akan bertindak efektif saat di lapangan.
Kini, bagaimana TNI harus menghadapi kepentingan global? Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan kaya dengan sumber daya alam(SDA), tentu tak sedikit negara-negara asing mempunyai sejumlah kepentingan terhadap negeri kita tercinta ini, dari sisi ekonomi, geopolitik bahkan niatan agresi, secara militeristik ataupun penghancuran moral.
Para globalis-kapitalis tak pernah henti untuk mengincar sejumlah potensi SDA Indonesia. Jika pendekatannya kerjasama investasi langsung (direct foreign investement), tentu kerjasama itu konstruktif bagi kepentingan Indonesia. Meski demikian, ketika ragam kerjasama investasinya tidak fair bahkan terkategori nakal secara sepihak, maka TNI diperhadapkan realitas reaksi. Di satu sisi, TNI harus menjalankan peran pengamanan instalasi-instalasi strategis. Semetara, pusat-pusat industri itu cenderung melukai kepentingan anak bangsa. Tuntutan keadilan ini menimbulkan dilema: di mana dan harus bagaimana TNI bersikap sesuai amanat konstitusi?
Tak bisa dipungkiri, gerakan ekonomi investasi dari kekuatan globalis sering merepotkan posisi pertahanan TNI. Di satu sisi, TNI – menurut konstitusi dan UU TNI – wajib menjaga stabilitas nasional, di manapun wilayahnya. Dan gelombang massa ketidakpuasan berpotensi menciptakan instabilitas. Di sisi lain, UU TNI itu sendiri dijelaskan bahwa peran keamanan dilimpahkan ke aparat kepolisian dan TNI dilibatkan ketika dibutuhkan. Dengan pijakan UU TNI ini – secara langsung atau tidak – TNI tidak bisa menjalankan peran maksimalnya ketika kehadiran investasi asing menimbulkan gejolak massif, meski kulmimasinya cukup mengancam keamanan negara, setidaknya dari unsur persatuan dan kesatuan.
Tak dapat disangkal, saat ini, peran dan fungsi TNI tak bisa diharapkan banyak, terutama dalam menghadapi kekuatan globalis-kapitalis yang sanrat dengan nuansa ekonomi. Meski demikian, rakyat atau negara tetap mendambakan peran siaga TNI, apalagi ketika menatap wilayah perairan dan dirgantara.
Sekali lagi, dengan peta perairan Indoensia yang demikian luas, maka patroli pengamanan wilayah perairan tidak cukup mengandalkan kekuatan polisi perairan. Angkatan Laut dan Korp Marinir sungguh diperlukan peran agresifnya, dari menghalau dan menindak kekuatan globalis yang sering mencuri potensi perikanan laut, yang – menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan – terdapat angka kisaran Rp 40-an trilyun per tahun nilai perikanan dari perairan Indonesia terjarah dari armada-armada asing.
Sesuai dengan doktrin TNI bahwa NKRI harga mati, maka – secara iimplemantatif – TNI diperhadapkan tatangan global yang sungguh berat. Sebab, secara langsung atau tidak, TNI juga seperti diamanahkan untuk menjaga wilayah terluar, terutama pulau-pulau yang menjadi bagian dari NKRI. Apakah cukup dengan patroli? No.
Persebaran penduduk di pulau-pulau terluar adalah bagian dari strategi pengamanan dari klaim negara lain. Pencapolak Sepadan dan Ligitan oleh Malaysia merupakan contoh konkret hilangnya kedua pulau dan itu karena tiadanya persebaran penduduk Indonesia yang merata. Dengan demikian, TNI seperti mempunyai kewajiban moral untuk mendorong persebaran populasi ke pulau-pulau di Indonesia yang jumlahnya mencapai kisaran 7.500-an pulau. Tugas TNI? Tidaklah fair jika dibebankan kepada TNI yang jumlah personel aktifnya tak lebih dari 500 ribuan orang. Meski demikian, TNI tertantang bagaimana harus menjaga kedaulatan NKRI yang tak boleh terlepas sejengkal pun dari Bumi Pertiwi ini.
Mencermati peta kekuatan TNI – dalam pandangan keluarga besar Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) – menjadi urgen bagaimana menguatkan kembali TNI dengan rakyat. Tak boleh ada kata pisah dan harus tak rela jika dipisahkan. Politik pertahanan untuk NKRI haruslah membangun sikap bahu-membahu antara TNI dan rakyat. Inilai spiritualitas politik TNI, juga politik rakyat. Dengan begitu, kekuatan pertahanan TNI relatif tak terhitung jumlahnya. Inilah di antara padangan politik pertahanan PANDAI. Karenanya tidak berlebihan jika muncul sikap “PANDAI akan selalu bersama TNI. Untuk kedaulatan negeri yang harus terjaga selamanya”.
Yang perlu kita garis-bawahi, sinergisitas TNI-rakyat akan memperkuat barisan pertahanan, dalam menghadapi agresi asing terkait human tracking, senjata narkoba, bahkan geopolitik dan geoekonomi yang sering dimainkan sejumlah negara asing. Itulah sinergisitas yang bisa diharapkan untuk menjawab tantangan besar TNI di tengah pusaran kepentingan nasional dan global. (RUL)