JAKARTA. Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menegaskan, kenaikan angka kemiskinan dua digit selama pandemi Covid-19 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa waktu lalu, bisa menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi negara dan bangsa Indonesia.
“Dua tahun terakhir ini, hampir 3 juta orang yang balik menjadi miskin. Mereka berasal dari kelas menengah yang relatif cukup bagus dalam 20 tahun terakhir, tapi pandemi ini menjelaskan kepada kita bahwa kelas menengah kita rapuh,” kata Anis Matta dalam pengantar diskusi Gelora Talks dengan tema ‘Anomali Pandemi di Indonesia: Yang Kaya Makin Kaya, Yang Miskin Makin Miskin’ di Jakarta, Rabu (25/8/2021) petang.
Diskusi daring ini dihadiri narasumber antara lain ekonom senior Dr Hendri Saparini, Direktur CELIOS Bhima Yudhistira Adhinegara SE, MSc dan Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi Ph.D
Menurut Anis, bertambahnya orang miskin dari kelas menengah bisa menjadi ancaman stabilitas apabila tidak ada bantuan serius untuk dicarikan jalan keluarnya agar mereka tidak terjun ke jurang kemiskinan.
“Sekarang kita menghadapi kesenjangan, yang mengingatkan kita kembali dengan lagu Rhoma Irama yang dibuat di era pembangunan zaman Pak Harto dulu, Yang Kaya Makin Kaya, Yang Miskin Miskin, karena ada pertumbuhan yang tidak disertai pemerataan. Tapi sekarang ini, kita tidak sekadar bicara tidak adanya pemerataan, tapi juga pertumbuhan yang terancam,” ungkap Anis.
Anis Matta menilai selama pandemi di Indonesia saat ini terjadi anomali dimana yang kaya justru semakin meningkat kekayaannya. Namun, terkait hal ini tak perlu dicegah, pemerintah tidak perlu mencegah seseorang menjadi kaya.
“Tapi lebih kepada menghilangkan kesenjangan yang ada di masyarakat. Kerapuhan ini yang mesti kita pikirkan bersama apa yang bisa kita lakukan untuk menguatkan kelas menengah ini, mengurangi angka kemiskinannya,” ujarnya.
Rapuhnya kelas menengah menjadi miskin, kata Anis Matta, akan semakin memperlebar ketimpangan ekonomi dan sosial, sehingga diperlukan satu struktur ekonomi baru yang tidak akan berdampak buruk bagi stabilitas negara dan bangsa.
“Saya ingin menggarisbawahi bahwa usaha kita untuk menyelesaikan persoalan ketimpangan sosial dan ekonomi ini membutuhkan satu narasi ekonomi baru, satu mazhab ekonomi baru,” katanya.
Konsep Geloranomics yang sedang dikembangkan Partai Gelora, menurut Anis Matta, bisa menjadi mazhab ekonomi baru yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, disamping isu lingkungan yang sangat fundamental.
“Saya menemukan satu benang merah disini, satu titik dimana Partai Gelora yang sedang mengembangkan konsep Geloranomics, yang salah satu orientasi dasarnya adalah isu lingkungan, juga orientasi pemberdayaan masyarakat untuk menutup kesenjangan ekonomi. Ini tantangan besar ekonomi, bukan hanya di kita tapi juga di dunia,” katanya.
Ekonom Senior Hendri Saparini mengatakan, setiap kali ada krisis pemerintah selalu memberikan stimulus fiskal dengan memberikan dokumen pembiayaan belanja yang besar untuk menjaga stabilitas ekonomi.
“Namun, upaya tersebut seringkali tidak tepat sasaran seperti kita lihat jumlah dana pihak ketiga yang diatas Rp 2 miliar terus naik tahun 2021, meningkatnya luar biasa 30 persen. Mestinya kita lebih baik membuat kebijakan mendorong terjadi pertumbuhan mendorong ekonomi masyarakat,” kata Hendri Saparini.
Hal senada disampaikan Direktur CELIOS Bhima Yudhistira Adhinegara. Bhima mengatakan banyak kebijakan yang dinilai pro rakyat ternyata banyak mengamankan kepentingan pengusaha dengan dalih bermacam-macam seperti menyerap tenaga kerja.
“Kebijakan yang disebut bangun jalan dan segala macem yang menyerap tenaga kerja lebih optimal, ada yang kemudian bilang ini pro rakyat, tapi ternyata kebijakan-kebijakannya mengamankan kepentingan pengusaha,” kata Bhima Yudistira.
Sementara Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi menambahkan, pemerintah seharusnya menggelontorkan uang ke sektor-sektor yang efisien agar ekonomi bisa bergerak menjadi pertumbuhan.
“Apa yang disampaikan Ibu Sri Mulyani (Menteri Keuangan) dalam menghadapi pandemi, tidak mencerminkan analisa-analisa yang disampaikan, sehingga secara teknis banyak sektor-sektor yang tidak efisien. Kita butuh kerja keras untuk memperbaiki policy tersebut,” kata Fithra Faisal. (RUL)