Saudaraku,
Kesenangan dunia dan kesengsaraannya adalah ujian dari Allah Azza wa Jalla. Apakah kita menjadi hamba yang bersyukur saat diberi nikmat dan sabar saat diberi cobaan, ataukah sebaliknya. Karena dunia ini adalah _daarul ibtilaa’_ (negeri tempat ujian dan cobaan). Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Wahai manusia, Kami akan menguji kalian dengan kesempitan dan kenikmatan, untuk menguji iman kalian. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan kembali.”
(QS. Al-Anbiya: 35)
Ikrimah rahimahullah pernah mengatakan,
ليس أحد إلا وهو يفرح ويحزن، ولكن اجعلوا الفرح شكراً والحزن صبر
“Setiap insan pasti pernah merasakan suka dan duka. Oleh karena itu, jadikanlah sukamu adalah syukur dan dukamu adalah sabar.”
Saudaraku,
Senang dan duka adalah _sunatullah_ yang pasti senantiasa mewarnai kehidupan ini. Tidak ada seorang manusia pun yang terus merasa senang, dan tidak pula terus dalam duka kesedihan. Semuanya merasakan senang dan duka datang silih berganti. Jangankan kita, generasi terbaik umat ini, para wali Allah, yakni para sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pun pernah dirundung kesedihan. Allah Azza wa Jalla mengisahkan keadaan mereka saat kekalahan yang mereka alami dalam perang Uhud,
وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِين
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah ingin memberi bukti kebenaran kepada orang beriman (dengan orang-orang kafir) dan menjadikan sebagian di antara kalian sebagai syuhada’. Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.”
(QS. Ali Imran: 140)
Allah Azza wa Jalla yang menciptakan kebahagiaan dan kesedihan agar manusia menyadari nikmatnya kebahagiaan, sehingga ia bersyukur dan berbagi. Dan sempitnya kesedihan diciptakan agar ia tunduk bersimpuh di hadapan Allah yang maha pemberi rahmat dan mengasihi, serta tidak menyombongkan diri. Hinggalah ia mengadu harap di hadapan Allah Azza wa Jalla. Bersimpuh, merendah, merengek di hadapan Allah Azza wa Jalla. Seperti aduannya Nabi Ya’qub saat lama berpisah dengan putra tercinta; Yusuf ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ
“Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan penderitaan dan kesedihanku.”
(QS. Yusuf: 86)
Saudaraku,
Ada saja hikmah dalam ketetapan Allah Azza wa Jalla yang maha _hakim_ (bijaksana) itu,
وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَىٰ
“Dialah Allah yang menjadikan seorang tertawa dan menangis.”
(QS. An-Najm: 43)
Saudaraku,
Tidaklah tercela bila seorang merasa sedih. Itu adalah naluri. Tak ada salahnya bila memang sewajarnya. Terlebih bila sebab-sebab kesedihan itu suatu hal yang terpuji. Seperti yang dirasakan orang beriman saat melakukan dosa, di mana Nabi mengabarkan bahwa itu adalah tanda iman,
مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَاتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَاتُهُ فَهُوَ الْمُؤْمِنُ
“Barangsiapa yang merasa bergembira karena amal kebaikannya dan sedih karena amal keburukannya, maka ia adalah seorang yang beriman.”
(HR. Tirmidzi)
Yang tercela adalah saat seorang larut dalam kesedihannya. Hingga membuat hatinya lemah, tekadnya meredup, rasa optimisnya menghilang, kesedihan yang menghancurkan harapan. Sampai membuatnya tidak mau bergerak, tidak ada ikhtiar untuk mengubah keadaannya untuk menjadi insan yang bahagia…
Yang tercela kesedihan yang membuatnya lemah untuk meraih ridha Allah Azza wa Jalla, bahkan membawanya pada keputusasaan dan membenci takdir Allah Azza wa Jalla. Karena seringkali setan memanfaatkan kesedihan untuk menjerumuskan manusia. Betapa banyak orang-orang yang tergelincir dari jalan Allah Azza wa Jalla karena larut dalam kesedihan. Oleh karenanya, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam senantiasa berlindung dari rasa sedih. Di antara doa yang sering dipanjatkan Nabi adalah,
اللهم إني أعوذ بك من الهم والحزن …
“Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari gundah gulana dan rasa sedih…”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Saudaraku,
Tidak perlu berlama-lama memendam kesedihan dalam hati kita. Banyak yang tak menyadari, ternyata setan senang melihat seorang Mukmin bersedih. Ia amat menginginkan kesedihan itu ada pada orang-orang beriman. Allah Azza wa Jalla mengabarkan dalam firman-Nya,
إِنَّمَا النَّجْوَىٰ مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya pembicaraan bisik-bisik itu hanyalah dorongan dari setan. Supaya menjadikan hati orang-orang beriman sedih. Padahal pembicaraan rahasia untuk menggunjing tidak akan merugikan orang-orang beriman sedikitpun, kecuali dengan kehendak Allah. Hanya kepada Allah-lah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal.”
(QS. Al-Mujadilah: 10)
Dalam konteks larangan, misalnya adalah firman Allah Azza wa Jalla,
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”
(QS. Ali Imran: 139)
وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ
“Dan janganlah kamu berduka cita terhadap mereka.”
(QS. An-Nahl: 127)
Allah Azza wa Jalla juga berfirman,
لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ۖ
“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.”
(QS. At-Taubah: 40)
Saudaraku,
Apa rahasia dari semua ini? Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,
وسر ذلك أن الحزن موقف غير مسير، ولا مصلحة فيه للقلب، وأحب شيء إلى الشيطان :أن يحزن العبد ليقطعه عن سيره ويوقفه عن سلوكه، قال الله تعالى : {إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا }
Rahasianya adalah, karena kesedihan adalah keadaan yang tidak menyenangkan, tidak ada maslahat bagi hati. Suatu hal yang paling disenangi setan adalah, membuat sedih hati seorang hamba. Hingga menghentikannya dari rutinitas amalnya dan menahannya dari kebiasaan baiknya. Allah Azza wa Jalla berfirman,
إِنَّمَا النَّجْوَىٰ مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا
“Sesungguhnya pembicaraan bisik-bisik itu adalah dari setan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita.”
(QS. Al-Mujadalah: 10, Madaarijus Saalikiin hlm. 1285)
Saudaraku,
Sekedar berbisik bila membuat saudaranya sedih saja dilarang. Ini menunjukkan bahwa betapa Islam menjaga perasaan penganutnya dan amat menginginkan kebahagiaan dalam hati setiap insan. Bahkan Allah Azza wa Jalla senang melihat tanda-tanda bahagia, itu tampak dalam diri kita…
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يُرَى أَثَرُ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ
“Sesungguhnya Allah senang melihat bekas nikmat-Nya pada seorang hamba.”
(HR. Tirmidzi dan An Nasai)
Maka betapa indahnya Islam, agama yang begitu mencintai kebahagiaan pada diri kita, dan mengenyahkan kita dari duka cita, di dunia dan di akhirat. Maka usirlah segala kesedihan dari hati kita. Jangan biarkan setan memanfaatkannya. Karena setan selalu mengintai setiap gerak-gerik kita. Sebagaimana Rasulullah kabarkan,
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْضُرُ أَحَدَكُمْ عِنْدَ كُلِّ شَيْءٍ مِنْ شَأْنِهِ، حَتَّى يَحْضُرَهُ عِنْدَ طَعَامِهِ
“Sesungguhnya setan mendatangi kalian dalam setiap keadaan kalian. Sampai setan ikut hadir di makanan kalian.”
(HR. Muslim)
Saudaraku,
Kehidupan seorang Mukmin seluruhnya bernilai kebaikan dan pahala di sisi Allah Azza wa Jalla, baik dalam kondisi yang terlihat membuatnya senang ataupun susah…
Seorang hamba yang sempurna imannya akan selalu bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla ketika senang dan bersabar ketika susah. Maka dalam semua keadaan dia senantiasa ridha kepada ketentuan takdir-Nya…
Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa bersyukur dan bersabar dalam segala keadaan untuk meraih ridha-Nya… Aamiin Ya Rabb.
_Wallahua’lam bishawab_