JAKARTA. Menutup akhir tahun 2022, Pengurus Pusat Majelis Pemuda Islam Indonesia (PP. MPII) menyelenggarakan Talkshow bertema “Menyongsong Tahun Politik yang Damai dan Mencerdaskan” pada Jumat, 30 Desember 2022, di Hotel Leisure Inn Arion, Rawamangun, Jakarta Timur.
“Acara yang didukung oleh Kemenpora RI ini bertujuan pada timbulnya kesadaran generasi milenial bahwa mereka adalah pilar pembangun peradaban Indonesia,” kata Nur Khamim, Wakil Ketua Umum MPII dalam sambutannya.
“Sebagai ormas kepemudaan Islam, MPII mementingkan penguatan kesadaran politik pada generasi muda, karena pemuda selalu menjadi harapan dalam setiap kemajuan di dalam suatu bangsa dengan ide-ide ataupun gagasan yang berilmu, wawasan luas, serta berdasarkan kepada nilai-nilai dan norma yang berlaku di dalam masyarakat. Di sinilah perpolitikan Indonesia membutuhkan sosok yang dapat membuka gerbang kesempatan untuk golongan pemuda untuk berkarya, bersuara, dan berperan dalam perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik,” lanjut Nur Khamim.
Talk show ini dibuka secara resmi oleh Prof. Dr. Noor Ahmad, M.A. (Ketua Baznas RI dan Ketua MUI). Sementara narasumber yaitu KH. Arif Fahrudin, M.A. (Wakil Sekretaris MUI), Hendri Satrio (Direktur Lembaga Survei Kedai Kopi), dan Nyarwi Ahmad, Ph.D (Direktur Eksekutif IPS). Sedangkan panelis di antaranya Dr. Dade Rubai Misbahul Alam (Ketua Umum Pemuda DDII), Ahmad Nawawi (Ketua Umum Gema Mathlaul Anwar, Masri Ikoni (Ketua Umum GPII), Wizdan Fauran Lubis (Ketua Umum Pemuda Al-Washliyah), dan Affandi Ismail (Ketua Umum PB. HMI).
Dalam pembukaanya, Prof. Dr. Noor Ahmad, MA, di samping memberikan motivasi bagi para tokoh ormas pemuda yang hadir sebagai pemimpin di masa yang akan datang, ia juga menyampaikan pandangannya bahwa tahun politik mendatang mesti diwujudkan sebuah kesadaran politik bertema kebangsaan yang mencerdaskan. “Menyongsong tahun politik ini harus mengambil tema politik kebangsaan. Masing-masing orang punya strategi dan taktiknya masing-masing. antara satu dengan yang lain tidak bisa disamakan tetapi tujuannya sama, koridornya adalah koridor kebangsaan,” tutur Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) sekaligus Dewan Pimpinan MUI ini.
Senada dengan sambutan pembuka Prof. Noor Ahmad, dalam sessi talkshow yang dipandu oleh Wakil Sekjend PP. MPII, Chairul Lutfi sebagai moderator, narasumber KH. Arif Fahrudin menyampaikan bahwa, “Agar masyarakat tidak abai terhadap atensi politik. Saat ini merupakan gerbang awal di 2023-2024 sebagai salah satu babak pemanasan untuk proses politik”.
Selain itu, menurut Arif Fahrudin yang sekaligus merupakan Tim Politik Kebangsaan MUI, masyarakat perlu aktif berpartisipasi dalam politik. Bagi umat Islam khususnya, berpolitik perlu memiliki panduan (fikih politik) agar proses politik praktis berjalan dengan niat, mekanisme, dan tujuan yang senantiasa berada pada route yang baik dan bernilai ibadah.
“Allah SWT tidak hanya menyayangi Nabi dan ulama saja, tapi juga menyayangi para pemimpin yang menjalankan kepemimpinan yang amanah”, Sedangkan keterpilihan pemimpin nasional harus melalui prosesi politik praktis,” tutur Arif Fahrudin.
Sementara itu, Hendri Satrio sebagai pengamat dan pakar komunikasi politik di Indonesia memaparkan pandangannya pada beberapa focus issue menyongsong tahun politik 2024. Menurutnya, tahun 2023 sendiri sudah masuk tahun politik. Dalam kesempatan ini juga turut menyoroti masalah politik identitas yang disorot pada kelompok umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia. Bagi Hendri, politik identitas sebetulnya sah-sah saja.
“Salah itu yang melarang politik idensitias, emang salah PPP naruh (baca: menggunakan) Ka’bah dilambang partainya?” ujarnya. Menurut Hendri Satrio, umat Islam selalu jadi tunggangan yang diperebutkan menjadi kendaraan memenangkan kontestasi politik.
“Umat Islam di Indonesia itu mayoritas, kalo pemilu yang diperebutkan suaranya umat muslim. Maka banyak tokoh politik mencitrakan umat Muslim. Politik idensitias pasti ada, cara jualnya seperti itu” sambung Hensat, panggilan akrabnya. Namun, dalam pandangan Hensat, hal yang patut dihindari dalam politik Identitas ialah reward dan punishment.
“Apa yang tidak boleh pada politik identitas ada reward dan punisment dalam politik idensitas, jika tidak memilih A akan masuk surga atau neraka, ini yang berbahaya sehingga mengakibatkan pembelahan di tengah masyarakat,” terang Hensat.
Kemudian Nyarwi Ahmad Ph.D yang memaparkan mengenai tiga domain saat berbicang mengenai politik, yaitu politik gagasan, politik organisasi dan politik keseharian. “Pertama, politik gagasan. Founding fathers kita membahas tentang politik gagasan. Inilah yang disayangkan, kenapa saat ini politik gagasan dihilangkan” tutur Nyarwi.
“Kedua, Politik Organisasi, kalau kita berdiri sendiri maka tidak akan ada kemerdekeaan, disini kita butuh organisasi. Kalau kita berdiri atas Organisasi pasti ada nilai yang diperjuangkan bersama bukan sendiri-sendiri seperti pada jaman pergerakan nasional dahulu ada Sarikat Dagang Islam, ketika orang islam berkumpul maka mentalitas bisnisnya itu ada. itu adalah bagian dari politik organisasi” sambung Nyarwi. “Ketiga, Politik Keseharian, misalnya sepeerti bayi nangis dan teriak itu bagian politik untuk meminta sesuatu kepada ibunya,” pungkas Nyarwi.
Menanggapi paparan narasumber, Ketua Umum Pemuda Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (Pemuda DDII), Dr. Dade Rubai Misbahul sebagai panelis memaparkan mengenai harapan agar tidak terulang pembelahan masyarakat akibat politik identitas dengan mengatasnamakan agama.
“Di 2024 kalau jadi, kita berharap bahwa pada pilpres kedepan tidak terjadi pembelahan, pada kontestasi sebelumnya politik identitas itu dimunculkan akan pembelahan. Kepentingan kelompok akan mudah jika kekuasaan itu direbut. Jika politik identitas terjadi lagi, maka akan terjadi kemunduran,” ungkap Kang Dade.
Sedangkan panelis lainnya yaitu Ketua Umum Pemuda Al-Washliyah, Wizdan Fauran Lubis menyampaikan akan pentingnya membedakan antara politisasi agama dan islamisasi politik agama Islam. “Kalau politisasi dilihat sebgai mengkampanyekan untuk politikus, orang yang mempolitisasi agama adalah identitas, awalnya Islamophobia maka dia akan memainkan peran itu, jadi yang pakai kerudung atau tidak, jadi sering (berkunjung) ke pesantren. Ini berbahaya, karena penipuan identitas,” paparnya.
“Islamisasi agama islam, peran agama yaitu kesadaran dalam konteks masa lalu dan masa depan, seorang politisi yang berwawasan yang berwawasan akherat yang memiliki pandangan yang luas soal bangsa ini,” sambung Wizdan.
Panelis lainnya yaitu Masri Ikoni, Ketua Umum Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Ahmad Nawawi, Ketua Umum Gerakan Pemuda Mathlaul Anwar (Gema MA), dan Affandi Ismail, Ketua Umum PB. HMI juga mengutarakan hal senada tentang pentingnya literaso politik bagi sarana pencerdasan generasi bangsa.
Kegiatan Talk show yang diikuti oleh Ormas Islam tingkat pusat, pondok pesantren, Organisasj Kepemudaan, dan perguruan tinggi ini kemudian diakhiri dengan pembacaan doa kemaslahatan prosesi tahun politik yang dipimpin oleh KH. Lukman Hakim Sadullah Hasbiyallah, pengasuh Pesantren Al-Wathoniyah Pusat Jakarta. Acara ditutup dengan deklarasi pernyataan sikap PP. MPII dalam menyongsong Tahun Politik 2023 – 2024.
Berikut isi lengkap pernyataan sikap MPII Menyongsong Tahun Politik:
Pertama, proses politik sebagai sarana (washilah) dan jalan yang harus ditempuh oleh negara-bangsa Indonesia (thariqatul wushul) dalam mewujudkan tujuan negara dan masyarakat yang maju dan sejahtera. Maka, MPII mengajak seluruh masyarakat, khususnya para pemuda Islam dan pimpinan Ormas Islam agar menyambut tahun politik 2023 – 2024 dengan optimis, pro aktif, partisipatif dalam menjalaninya dengan segenap potensi dan masing-masing.
Kedua, MPII mengajak masyarakat Indonesia untuk menghindari politisasi identitas yang mencederai semangat pluralitas bangsa dalam wadah NKRI.
Ketiga, MPII mengajak masyarakat, khususnya pemuda Islam, agar turut mewujudkan suasana perpolitikan yang kondusif, harmonis, mencerdaskan, dan bermartabat.
Keempat, MPII mengajak pelaku politik untuk mengedepankan etika dalam mewujudkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat dalam proses dan tujuan politik nasional.
Kelima, MPII mendukung lahirnya pemimpin nasional 2024 yang komitmen terhadap politik gagasan dalam pelestarian spirit religiusitas dan profesionalisme penyelenggaraan negara Indonesia serta bersih dari anasir yang mencederai Pancasila, UUD NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI sebagai sebuah komitmen kebangsaan (al-mitsaq al-wathany) yang mengikat perilaku politik seluruh anak bangsa Indonesia. (RUL)