Bandung – Kontribusi sawit terhadap perekonomian nasional akan meningkat berkali-kali lipat lewat hilirisasi. Dengan penggunaan teknologi terbaru, replanting hingga diatur oleh satu badan, bisnis sawit pada tahun 2028 bisa mencapai USD107,02 miliar atau sekitar Rp15 ribu triliun.
Hal tersebut mengemuka dalam Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit bertemakan “Perkembangan dan Kontribusi Industri Hilir Sawit Bagi Perekonomian Indonesia” diselenggarakan oleh Majalah Sawit Indonesia pada 31 Januari – 2 Februari 2024 di Bandung, Jawa Barat.
Kegiatan ini didukung Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dengan jumlah peserta 30 jurnalis dari media cetak dan online. Dukungan juga datang dari Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN), Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).
Adapun pembicara yang hadir antara lain Achmad Maulizal (Kepala Divisi Perusahaan BPDPKS), Dr. Setia Diarta (Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian), Sahat Sinaga (Plt. Ketua Umum DMSI), Rapolo Hutabarat (Sekjen Apolin), Fenny Sofyan (Ketua Kompartemen Media Relation GAPKI), dan Prof. Dr. Ir. Lienda Aliwarga, Guru Besar ITB.
Dalam sambutannya, Ketua Pelaksana Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit, Qayuum Amri mengatakan bahwa hilirisasi sawit bukan hanya minyak goreng dan mentega saja. Tetapi juga bisa menghasilkan kosmetik, skincare, lipstick, hingga bio energi.
“Dengan diskusi ini, teman-teman media bisa nanti mengetahui industri hilir sawit sudah sejauh mana dalam 2-3 tahun terakhir ini. Berdasarkan data GAPKI, hampir 80 persen ekspor sawit Indonesia saat ini sudah produk hilir. Hanya sekitar 10-20 persen yang berupa CPO,” jelas Qayuum.
Dalam diskusi sesi pertama, Sahat Sinaga mengungkapkan kesalahpahaman soal sawit yang diperuntukkan untuk minyak goreng. Padahal, ujar dia, saat sawit dijadikan minyak goreng otomatis kandungan vitaminnya akan hilang karena suhu panas.
Padahal, sawit mengandung kadar β-carotene serta tokoferol dan tocotrienol yang relatif tinggi. β-carotene merupakan sumber vitamin A dan antioksidan sedangkan tokoferol dan tocotrienol yang merupakan salah satu golongan vitamin E yang berasal dari tumbuhan yang juga dapat berperan sebagai antioksidan.
“Sawit menghasilkan vitamin A yang 15 kali dari wortel dan vitamin E yang 20 kali dari minyak olive. Minyak zaitun hanya mengandung vitamin E sebesar 51 ppm, sementara kandungan vitamin E minyak sawit jauh lebih tinggi yakni 1172 ppm. Padahal, harga olive oil jauh lebih mahal dibanding sawit,” jelas Sahat.
Sahat juga menambahkan, yang tidak banyak diketahui soal sawit bahwa yakni komoditi ini merupakan satu satunya jenis vegetable oil yang mirip dengan kandungan air susu ibu. Dengan C18, Octadecenoic Acids yang mencapai 36,3 persen.
“Barang begitu bagus kok dibuat minyak goreng. Gimana itu peneliti peneliti kita PPKS itu,” ucapnya.
Sahat menyampaikan, hilirisasi sawit dengan teknologi yang ada saat ini nilai usahanya di tahun 2023 sudah mencapai USD62,9 miliar. Angka tersebut berasal dari hasil ekspor sebesar USD 38,4 miliar, domestik USD21,4 miliar dan biomassa USD3,1 miliar.
“Hilirisasi Industri Sawit dengan jumlah jenis produk sebanyak 54 jenis di tahun 2007 meningkat ke 179 jenis di tahun 2023, dan kesempatan masih terbuka luas untuk dikembangkan agar meningkatkan revenue sawit kita,” ujar Sahat.
Meski cukup mengalami peningkatan, dia menyebut hilirisasi industri sawit Indonesia masih kalah dengan Malaysia. Sebab negara tetangga sudah mempunyai sekitar 260 produk turunan sawit. Padahal, Malayasia hanya mempunyai 5 juta hektar lahan, jauh di bawah Indonesia yang mencapai sekitar 16,8 juta hektare.
“Mereka bisa menghasilkan tokotrienol dari sawit. Tokotreanol 1 kg 800 dolar loh. Kenapa banyak? Karena pengusaha aman disana. Engga tiba-tiba pengusaha didatangi kesatuan pemuda setempat, regulasi berubah-ubah. Di Indonesia besar potensinya tapi pelaku usaha takut,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Sahat menekankan perlunya satu badan khusus agar laju industri sawit bisa berjalan optimal. Agar tumpang tindih regulasi yang menghambat industri di sektor sawit, bisa diselesaikan.
“Agar kondusif jangan Kementerian-kementerian banyak cawe-cawe ke sawit. Kementerian lain hanya supporting. Ada satu badan jadinya,” ungkap Sahat.
Dia mengungkapkan jika inovasi proses pengolahan produk sawit diperbaharui, maka total bisnis sawit di tahun 2028 bisa mencapai USD 107,02 Milyar USD atau pertumbuhan usaha di bidang Industri Sawit bisa tumbuh sebanyak 70,1 persen.
“Kuncinya adalah mereplanting 485.000 ha per tahun. Petani itu harus dibina, jangan dibinasakan. Maka perlu dibantu. Lalu manfaatkan biomass. Per satu ton sawit, bisa 8-9 ton biomass. Rapeseed 1 ton biomass. Kita punya banyak tapi tidak termanfaatkan,” pungkas Sahat. (RUL)