JAKARTA – President University secara resmi mengangkat Prof. Dr. dr. Satyanegara, Sp.BS (K) sebagai Chairman of the Board of Trustees atau Ketua Wali Amanat Fakultas Kedokteran. Prosesi pengangkatan dilakukan di Fabrication Laboratorium (Fablab), President University Convention Center (PUCC), Jl. H. Usmar Ismail, Kota Jababeka, Cikarang, Bekasi. Prosesi itu ditandai dengan penandatanganan dokumen pengangkatan yang dilakukan oleh DR SD Darmono, selaku Ketua Dewan Pembina Yayasan Pendidikan Universitas Presiden, dan Prof. Satyanegara.
Hadir dalam kesempatan tersebut sejumlah tokoh bisnis terkemuka di Tanah Air. Mereka, di antaranya, lima dari 21 pendiri Jababeka. Mereka adalah Eka Tjandranegara (Grup Mulia), Surjanto Sosrodjojo (Grup Sinar Sosro), Iwan Brasali (Grup Brasali), Setiawan Mardjuki dan SD Darmono. Hadir pula generasi kedua dari pendiri Jababeka, seperti Aan Kartawijaya, Hein Thomas, Handi Kurniawan dan Suhadi Rahardja.
Beberapa tokoh lain yang juga menghadiri pengangkatan Prof. Satyanegara adalah pakar marketing Hermawan Kartajaya, Presdir Ina Re (Grup Salim) Harianto Solichin, pendiri Grup Marsar dari Pekanbaru, Riau, yang juga menjadi mitra President University, Sarkawi Lim dan istrinya, Mariyana. Tamu-tamu lainnya adalah para dokter yang merupakan kolega Prof. Satyanegara, termasuk para pebisnis farmasi terkemuka di Indonesia, serta mitra-mitra bisnis Jababeka dan President University.
Pengangkatan Prof. Satyanegara sebagai Chairman of the Board of Trustees tentu akan semakin memperkuat posisi Fakultas Kedokteran, President University, yang usianya baru beberapa bulan. President University secara resmi baru membuka Fakultas Kedokteran pada Agustus 2023.
Dalam dunia kedokteran Indonesia, Prof. Satyanegara dikenal sebagai maestro dalam bidang bedah syaraf. Julukan ini ia peroleh karena keberhasilannya dalam melakukan bedah syaraf dengan tingkat kesulitan yang sangat tinggi. Misalnya, bedah berbagai penyakit pada pembuluh darah otak.
Dalam hal bedah syaraf, keahlian Prof. Satyanegara juga diakui oleh kalangan kedokteran di negara-negara maju. Di Jepang, berkat keahliannya tersebut, pada 2005 Prof. Satyanegara mendapatkan penghargaan The Order of Rising Sun Gold Ray with Neck Ribbon yang diberikan oleh Kekaisaran, Jepang.
Empat Periode Kedokteran Dunia.
Pada kesempatan pengangkatannya tersebut, Prof. Satyanegara juga sekaligus menyampaikan kuliah tamunya yang bertopik Pentingnya Bioteknologi bagi Teaching Hospital & Research Hospital Masa Depan. Kuliah tamu ini dipandu oleh Dekan Fakultas Kedokteran, President University, Prof. Dr. dr. Budi Setiabudiawan, Sp.A(K), M.Kes.
Dalam kuliah tamunya, Prof. Satyanegara membagi periode kedokteran dunia dalam empat tahap. Pertama, dari periode awal sampai dengan tahun 1799 yang disebutnya sebagai masa Primitive Medicine. “Ini ditandai dengan pengobatan yang bersumber dari bahan-bahan alam,” kata Prof. Satyanegara. Merujuk pada beberapa catatan masa lalu, ungkap dia, ketika itu ilmu kedokteran dipandang sebagai tradisi yang turun temurun. Katanya, “Salah satu tokoh yang berperan pada masa itu adalah Paracelcus, seorang ahli kimia. Beberapa teknik pengobatan yang dipakai kala itu adalah penggunaan herbakimia, tatto akupunctur, terapi lintah, dan beberapa teknik lainnya.
Periode kedua terjadi pada 1880-1950 yang dikenal dengan sebutan Development Medicine. Ini ditandai dengan adanya inovasi dan evolusi dalam bidang medis, yang diawali dengan ditemukannya listrik, vaksinasi, metode anastesi, jarum suntik, benang jahit dan berbagai alat kedokteran sederhana lainnya. “Beberapa tokoh pada era ini adalah Edward Jenner yang menemukan vaksin cacar, Josep Lister, seorang pionir antiseptic bedah, dan Louis Pasteur, penemu bakteri,” papar Prof. Satyanegara.
Beberapa alat kedokteran yang menandai era tersebut adalah penemuan jarum injeksi, mesin X-Ray, mikroskop, dan tensimeter. Pada era itu juga ditandai penggunaan ether sebagai metode untuk melakukan anastesi, sterilisasi instrumen bedah, dan munculnya kembali operasi cadaver pada 1954 di University of Padua, Italia, serta beberapa lainnya.
Periode ketiga, 1950 hingga 2019, disebut sebagai periode Modern Medicine. “Pada masa ini terjadi lompatan besar dalam bidang kedokteran. Bukan hanya cakupannya yang kian meluas, tetapi juga semakin mendalam ke bidang genetika, imunologi dan farmakologi,” papar Prof. Satyanegara. Era tersebut, lanjut dia, juga ditandai dengan pengobatan yang tidak hanya berbasis anamnesis, tapi juga didukung oleh alat-alat pemeriksaan yang lebih objektif.
Beberapa temuan penting pada era ini, papar Prof. Satyanegara, adalah penicilin sebagai antibiotik, identifikasi DNA dan genetik, CT-Scan, MRI, PET-Scan, bahkan termasuk transplantasi organ, stem-cell dan genomik. “Salah satu yang sangat fenomenal adalah human genom project. Proyek ini melibatkan ilmuwan dari 20 institusi dan enam negara, yakni Jepang, China, Prancis, Inggris dan AS,” urai Prof. Satyanegara.
Pada periode keempat, yang dimulai sejak tahun 2020, dunia kedokteran memasuk era Preventive Medicine, yang kerap juga disebut Future Medicine. “Ciri khas era ini adalah lebih mengutamakan pencegahan. Hal tersebut ditandai dengan upaya untuk menemukan gejala yang lebih spesifik, memperbaikinya dan bahkan menghentikan gejala sesuai dengan penyakitnya,” papar Prof. Satyanegara.
Era tersebut, lanjut Prof. Satyanegara, juga ditandai dengan metode pengobatan yang lebih personal dan presisi. Urainya lebih lanjut, “Ini dimungkinkan berkat adanya upaya pemetaan genom dari setiap orang, penggunaan big data dan artificial intelligence, nanomedicine, biologi molekuler dan bioteknologi.”
Peran Bioteknologi
Untuk bioteknologi, menurut Prof. Satyanegara, penerapannya sebetulnya sudah dilakukan sejak zaman dahulu. Ini terbukti dari adanya upaya manusia untuk melakukan fermentasi, rotasi tanaman, atau penggunaan insektisida alami untuk meningkatkan produksi pertanian dan pangan.
Dalam kuliah tamu tersebut Prof. Satyanegara menjelaskan tentang empat prinsip dasar bioteknologi, yakni penggunaan agen biologi, diterapkannya metode tertentu, mampu menghasilkan produk turunan, dan melibatkan berbagai disiplin ilmu atau multidisiplin.
Banyak manfaat yang diperoleh bidang kedokteran melalui pengembangan bioteknologi. Di antaranya, manusia bisa melakukan rekayasa genetika, membuat hormon insulin, kloning, antibiotik, vaksin, sel punca dan masih banyak lagi lainnya. Menurut Prof. Satyanegara, semua itu pada akhirnya berdampak positif karena bioteknologi membuat manusia semakin mampu mencegah terjadinya penularan penyakit. Katanya, dengan mengutip data Malacard: The Human Disease Database, sampai dengan tahun 2017 sudah ada 22.811 penyakit di dunia ini.
Adanya bioteknologi juga memicu penemuan berbagai obat untuk penyakit yang berbahaya, dan masyarakat pun menjadi lebih mudah mengakses layanan kesehatan. “Semua itu terjadi karena biokteknologi membuat ilmu kesehatan menjadi semakin berkembang,” kata Prof. Satyanegara. Jadi, tegas dia saat menutup kuliah tamunya, sangat penting untuk menguasai bioteknologi dalam bidang kesehatan. (RUL)