Oleh : Agus Wahid (Analis Politik)
Disebut juga bulan maghfirah (ampunan). Itulah sebagian nama bulan suci Ramadhan. Lalu, apakah setiap diri – sebagai masyarakat muslim awam, kalangan tertentu seperti penyelenggara negara dan kaum elit lainnya – mau memanfaatkan peluang ampunan Allah itu? Jika memanfaatkannya, maka permohonan ampunnya – insya Allah – akan mengubah kondisi yang sangat fundamental dalam warna kebahagiaan. Pertaubatannya – dalam perspektif Islam – akan menjadikannya bersih dari gelimang dosa. Ia bagai “kain putih”. Dijanjikan masuk surga-Nya. Kini, bagaimana merefleksikan janji-Nya dalam tararan kehidupan bernegara, yang berarti ada di alam ini (dunia)?
Kesurgaan itu – dalam konteks kehidupan bernegara – adalah suasana nyaman-damai yang menampak dalam kehidupan bermasyarakat. Suasana itu terjadi karena kohesi masyarakat yang harmonis. Jauh dari panorama konflik vertikal-horisontal. Kondusifitas ini menjadi modal untuk tumbuh-kembangkan persatuan dan kemajuan. Itulah reward dari kemauannya memohon ampunannya. Bertaubat sungguh-sungguh (nashuha). Menyadari dosa dan kesalahannya kepada jutaan orang sebagai rakyat yang telah dirugikan hak-hak politiknya. Sebagai bentuk pertaubatan nashuha, berarti dirinya tidak mau mengulangi lagi perbuatan jahatnya kepada orang lain, apalagi berjumlah jutaan orang.
Sebuah refleksi penting dari pertaubatan nashuha di bulan Ramadlan kali ini adalah para penyelenggara negara dan pemilu (pilpres) mau menghentikan proses penghitungan suara secara riil yang penuh tricky dan manipulatif. Aparat keamanan dan ketertiban pun akan kembali menjalankan peran dan fungsinya sesuai Sapta Marga dan Bhayangkara. Menjadi alat negara, bukan alat kekausaan. Mahkamah Konstitusi (MK) pun akan mempersiapkan sikap dan pendirian hukum dalam kerangka penegakan hukum yang benar dan keadilan.
Karenanya, sebagai penyelenggara negara, mulai dari presiden dan jajaran ke bawahnya dan penyelenggara pemilu/pilpres akan lebih tergerak hatinya untuk menyetop proses penghitungan suara yang penuh manipulatif itu. Jika hal ini dilakukan, maka tak perlu menelan waktu lama untuk menghadirkan angka riil yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, politik dan moral. Juga, akan mengurangi energi karena tak perlu mencari cara untuk memvalidasi keculasannya. Sementara, para saksi dari komponen pasangan calon (paslon) 01 dan 03, bahkan masyarakat ahli teknologi informasi terus mengawasi gerakan tricky KPU, termasuk BAWASLU yang “main mata” untuk kepentingan istana. Masyarakat sipil juga demikian intens mengawasi gelagat penyelenggara pemilu/pilpres yang cenderung tidak “waras” itu.
Yang menarik untuk kita catat lebih jauh, hasil koreksi secara introspektif (muhasabah) – dalam waktu singkat – akan meredakan ketegangan politik akibat ketidakpercayaan atas perhitungan riil yang kini masih berlangsung. Keredaan itu tidak hanya di arena KPU-BAWASLU, tapi wilayah parlemen pun akan kembali pada suasana kondusif. Bayang-bayang impeachment pun akan sirna dengan sendirinya. Maka, akan terjadi soft landing bagi Jokowi. Itulah “surga” dunia di Tanah Air ini yang dapat digapai dengan cepat karena kemauannya bertaubat.
Sebuah reungan, akankah para “pendosa” politik nasional tergerak untuk mau mengimplementasikan spirit Ramadlan dalam tataran duniawi itu? Sangat diragukan. Di satu sisi, para penyelenggara negara dan pemilu atau pilpres sudah terjangkiti pemahaman sekuleristik. Karenanya, mereka menilai “tak ada kaitannya antara Ramadlan dengan pemilu dan atau pilpres”. Karena pandangan sesat ini pula membuat perilakunya tak peduli saat mengambil hak orang lain (korupsi). Tak peduli dengan penghalalan segala cara dalam berpolitik (memanipulasi hasil) dan masa bodoh dengan sikap perselingkuhan dan persekongkolan politik yang jahat itu, padahal dirinya muslim. Karena pandangan dan perilaku sekuleristik itu pula, sebagian ahli hukum dan politisi senior yang notabene muslim tak lagi peduli atas pelecehan moral dan etika.
Pandangan dan perilaku sekuleristik itu sangat disayangkan. Karena, aktualisasi atau pengamalan ajaran beramadlan tidak hanya memenuhi dimensi vertikal-ukhrawiyah. Tapi, Ramadlan justru sarat dengan spiritualitas kebermanusiaan dan kebernegaraan di jagad raya duniawi ini. Sesungguhnya, spiritualitas Ramadhan bisa menjadi the driven factor untuk kemaslahatan dalam arti luas bagi kepentingan bangsa dan negara. Inilah dimensi rahmatan lil`alamin dari Ramadlan. Karunia Ramadlan bukan hanya untuk muslim-mukmin yang menjalankan ibadah Ramadlan. Yang tidak berpuasa atau kalangan nonmuslim pun terkucur nikmatnya.
Sekali lagi, ketika dirinya memohon ampunan kepada Allah, dimensinya bukan hanya bersifat transendental. Justru, bergunung dosa yang dilakukan akan diampui Allah jika dirinya memohon ampun kepada sesama manusia sebagai pihak yang dirugikan. Ini prasyarat mendasar. Permohonan ini – dalam bahasa lain – adalah permohonan maaf. Apakah mereka yang dirugikan hak-haknya mau memaafkan atas tindakan jutaan manipulasinya? Tidak semudah itu. Itulah sebabnya, kita saksikan gerakan massif di luar gedung parlemen. Juga, di dalam gedung parlemen sebagai representasi rakyat. Setidaknya, rakyat pengunjuk rasa yang berjumlah jutaan orang, meski sebagian mereka tak hadir secara on the spot di tengah arena KPU-BAWASLU. Kekecewaannya pun ditransformasikan secara formal dengan mendorong dilakukannya penggunaan hak angket.
Akhir kata, kita bisa mencatat substansi, jika penyelenggara negara dan pemilu/pilpres terpanggil untuk mengartikulasikan spiritualitas Ramadlan, akan segera selesai persoalan politik yang kini sedang meradang. Inilah Ramadlan yang perlu dijadikan momentum pertaubatan nasional. Harus diawali dari pengendali utama negara (presiden). Jika ia muslim sejati dan takut kepada Allah yang Maha Digdaya, ia akan menjadikan Ramadlan sebagai pijakan menyelesaikan krisis kenegaraan ini. Sebuah momentum.
Akankah dimanfaatkan momentum itu? Jika memang tetap a priori karena ambisiusitasnya, berarti Allah memang tidak memberikan hidayah. Sangat boleh jadi, Dia tetap membiarkan arogansi itu sebagai istijradnya. Tapi, Allah tak pernah rela menyaksikan kedzaliman di muka bumi ini. Boleh jadi, kaum lemah di Tanah Air ini, dalam era modern ini, akan menyaksikan nasib seperti Fir`aun yang karam di tengah Laut Merah saat mengejar Nabi Musa dan para pengikutnya. Atau, seperti Raja Namrud yang bertahun-tahun menjedorkan kepalanya karena sakitnya yang tak tertahan akibat lalat yang masuk ke rongga kepalanya.
Atau – dalam era modern – kita saksikan derita Kemal Atatruk yang melepuh seluruh anggota badannya. Selama sekitar tujuh tahun dibiarkan telentang di bawah terik matahari karena bumi tak mau menerimanya saat mau dikuburnya. Atau, bahkan Ariel Sharon yang begitu pedih balasannya. Selama tujuh tahun dalam kondisi koma dan bagian kepalanya “disantap” ribuan belatung. Dalam komanya, sekitarnya menyaksikan sang pembantai ribuan warga Palestina terlihat tenang. Tapi, sesungguhnya dalam sakaratul maut yang pasti sangat pedih siksaan-Nya. Let`s see. Na`udzubillah min dzalik. (Bekasi, 12 Maret 2024/RUL)