Oleh : Dairy Sudarman (Pemerhati Politik Dan Kebangsaan)
Kang Eep Saefullah Fatah di acara salah satu podcast-nya Keep Talking, menyatakan Jokowi memang benar dan telah benar-benar melanggar konstitusi dan Undang-Undang.
Itu an sich secara hukum. Artinya, dengan bukti fakta faktual yang berkekuatan hukum (evidence of law) Jokowi tak terpungkiri melakukan penyalahgunaan kewenangan kekuasaannya (abused of power):
Telah nyata-nyata dan terang benderang melakukan pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif yang nyaris dari semuanya lima kejahatan pidana konstitusi UUD 1945 yang seharusnya otomatis dimakzulkan sebagaimana melalui mekanisme pasal 7A, 7B dan 24C: melakukan pengkhianatan terhadap negara; korupsi; menyuap; melakukan tindak pidana berat lainnya; dan melakukan perbuatan tercela.
Dan semua itu terjadi secara bersamaan serempak dan berkelindan dalam satu rangkaian peristiwa besar dan terpenting bagi publik, Republik dan negara dalam transisi demokrasi pergantian dirinya: sebelum, saat dan sesudah Pemilu dan Pilpres 2024 itu berlangsung.
Jelas, Jokowi melakukan pengkhianatan negara, dalam hal telah melakukan tindakan makar terhadap upaya penegakan demokrasi melecehkan kedaulatan rakyat dengan men—setting Pilpres 2024 melalui lembaga KPU dan Bawaslu yang sudah terbuktikan sangat lemah dan sangat rendah tingkat kepercayaannya. Malah, justru diragukan integritas dan kredibilitasnya.
Melalui setingan dalam sistem algoritma perhitungan rekapitulasi suara, Sirekap. Berusaha mengelabui secara curang dan culas melakukan tindakan sama persis dengan merampok, mencuri, merampas dan menggelapkan C1 hasil pemungutan suara itu untuk tujuan jahat kemenangan paslon tertentu.
Itu pun disertai dengan melakukan tindakan tercela lainnya berupa pembohongan publik terhadap hasil Quick Count untuk mendeklarasikan kemenangan paslon yang didukungnya.
Kemudian, relevansi peraturan hukum perundang-undangannya yang dilanggar adalah dimulai terhadap putusan MK No. 90 uup-xxi tahun 2023, adalah suatu bentuk intervensi Presiden kepada MK yang notabene telah bermetamorfosis menjadi lembaga hukum politik dinasti.
Diketuai oleh Anwar Usman sebagai adik iparnya sendiri, semata-mata hanya untuk memuluskan jalan kepentingan anaknya menjadi cawapres.
Sementara, melalui program bantuan sosial (bansos) Jokowi telah jelas-jelas melakukan tindak pidana extra ordinary crime, berupa korupsi dan penyuapan.
Korupsinya atas penyalahgunaan kekuasaan kewenangannya telah melanggar UU APBN tahun 2024 dan UU Keuangan Negara perihal ketiadaan program Bansos dengan alokasi penambahan bantuan kepada hingga 50 juta jiwa dengan anggaran nyaris 500 triliun. Tanpa melakukan persetujuan dengan DPR dan tanpa melakukan UU Perubahan terlebih dahulu.
Guna terhimpunnya 500 triliun itu pun dengan perintahnya yang sengaja merelokasi 5% anggaran kementerian BUMN melalui para BUMNnya.
Juga tanpa koordinasi dan konsolidasi dengan kementerian sosial terkait jumlah penambahan yang 24 jutanya yang mana data alokasi bansos di kementerian sosial berada hanya di angka 26 juta jiwa atau setara dengan 2,6 juta KK.
Jika dihitung-hitung menggunakan template kalkulasi yang sangat sederhana saja dari 2,6 KK maka dari 500 trilyun itu setiap KK seharusnya mendapatkan alokasi bantuan sosial sebesar Rp77 juta. Rp26 juta jiwa setara 19 juta. Atau 50 juta jiwa setara mendapat Rp9-10 juta rupiah.
Bayangkan! Bandingkan berapa jumlahnya yang telah dialokasikan dengan non tunai itu berupa hanya 10 kg beras dan bahan sembako lainnya hanya dalam satu karung goody bag? Lari kemana dana raksasa bansos itu perginya?
Lantas, siapa orang yang paling bertanggung jawab atas kewajiban secara UU Administrasi Negara melalui pelaporan dengan audit penggunaan keuangan negara itu secara transparansi dan akuntabilitas-nya dengan tanpa adanya penugasan kepada kementerian sosial selain Presiden sendiri?
Ironis dan anehnya program Bansos itu secara sengaja dialokasi jadwal perpanjangan pengadaannya hingga Juni 2024 bertepatan dengan melintasi waktu Pilpres 2024 yang sudah pasti disalahgunakan penggunaannya untuk meng-endorse dan menjadi influencer mempengaruhi dan mengarahkan bagi kemenangan paslon tertentu.
Sedangkan, melakukan tindakan pidana berat lainnya, adalah menggunakan perangkat aparatur negara, dari tingkat kementerian hingga kepala desa, termasuk keterlibatan TNI dan Polri melakukan upaya intimidasi di pelbagai wilayah nyaris merata di seluruh pelosok tanah air untuk mengarahkan kemenangan kepada paslon tertentu yang didukungnya.
Terlebih, di luar modus kasus di luar Pemilu dan Pilpres 2024 dari lima tindak pidana tersebut diambil satu saja yang paling mudah diinterpretasikan an sich secara hukum, yaitu Presiden seringkali melakukan tindakan perbuatan tercela dengan puluhan bahkan ratusan melakukan kebohongan dan pembohongan kepada publik di Republik ini, diantaranya yang jadi berdampak sangat merugikan dengan semakin membebani tingkat sulit dan susahnya kehidupan rakyat, di antaranya:
UU Cipta Kerja yang dibilangnya atas inisiatif pemerintah, sehingga tak perlu mengeluarkan Perppu. Tetapi, faktanya Persiden mengeluarkan Perppu yang berdampak sangat buruk bagi para buruh, usaha kecil UMKM maupun usaha sektor informal.
Terhadap megaproyek strategis nasional KCBJ dan IKN yang diutarakannya tidak akan menggunakan APBN, malah jadi membebani APBN.
Hal tersebut jadi mengganggu terhadap kebijakan subsidi BBM, gas dan listrik untuk rakyat bealokasi sebesar 502 triliun hanya dilaksanakan realisasinya 88 triliun.
Bahkan, pelarangan impor beras yang “diwajibkan” perintahnya sendiri, malah justru melakukan perintahnya sendiri pula impor beras berkali-kali.
Dan dengan semakin berkepanjangannya kasus ijazah palsu Jokowi —yang sesungguhnya sangat sederhana tinggal hanya menunjukkan bukti otentik ijazah aslinya—semakin melegitimasikan bahwa diindikasikan izajah Jokowi itu memang palsu.
Maka, sudah selayaknyalah Jokowi itu dimakzulkan. Disebutkan artikulasi otomatis di atas dimaksudkan pemakzulan Jokowi itu harus dan wajib dilakukan dengan seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Artinya, meski sesuai mekanisme dasar landasan konstitusi pasal 7A, 7B dan 24C UUD 45 amandemen 2022, ketika Hak Angket mulai disidangkan DPR tinggal diputuskan dalam waktu sesingkat-singkatnya merekomendasikan pemakzulan Jokowi ke MK. Kemudian MK dengan seksama merekomendasikan ke MPR untuk melakukan Sidang Istimewa memakzulkan Jokowi itu dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Kecuali, bolehlah Hak Angket di DPR yang akan mulai bersidang diproyeksikan memakan waktu sekurangnya 90 hari untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan terhadap kecurangan paslon 02 di Pilpres dan Pemilu 2024. Juga ditambah 30 hari lagi untuk MK mengambil putusan mendiskualifikasi paslon 02. Wallahua’lam Bishawab. (Mustikasari-Bekasi, 12 Maret 2024/RUL)