Oleh : Jannatu Naflah (Praktisi Pendidikan)
Korupsi, lagi-lagi korupsi. Rakyat tiada habisnya disuguhi berita tentang korupsi. Terbaru, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pencegahan ke luar negeri terhadap Direktur Utama nonaktif PT Taspen (Persero), Antonius NS Kosasih dan Ekiawan Heri Primaryanto, Dirut PT Insight Investments Management.
Pencegahan tersebut terkait adanya dugaan kegiatan investasi fiktif yang dilakukan PT Taspen pada tahun anggaran 2019 dengan melibatkan perusahaan lainnya. Kasus korupsi ini diduga merugikan negara hingga ratusan miliar Rupiah. (Cnbcindonesia.com, 13/03/2024).
Dugaan korupsi yang terjadi di PT Taspen makin menambah daftar panjang kasus korupsi di lembaga negara. Menjadi bukti bahwa pemberantasan korupsi di negeri ini masihlah menjadi utopia. Korupsi alih-alih makin surut, justru makin tumbuh subur.
Korupsi seolah menjadi sebuah keniscayaan yang mustahil diberantas dalam sistem kapitalisme-sekuler saat ini. Sebab, salah satu penyebab terjadinya tindak korupsi adalah buruknya integritas sumber daya manusia (SDM) yang ada. Hal ini tentu tidak terlepas dari penerapan sistem pendidikan yang berbasis sekularisme.
Ya, sistem pendidikan sekuler, yang memisahkan agama dari kehidupan, berakibat minimnya pemahaman generasi terkait standar kehidupan yang harus sesuai tuntunan agama. Kekayaan materi pun menjadi tolok ukur dalam meraih kebahagiaan dan keberhasilan. Pemahaman inilah yang menjadi biang maraknya kasus korupsi.
Di sisi lain, sistem politik kapitalisme-demokrasi nyata memiliki celah yang mengantarkan individu berperilaku buruk. Demi kursi kekuasaan, modal besar pun digelontorkan untuk membeli suara rakyat. Besarnya modal inilah yang menjadikan para pejabat ingin meraup untung sebesar-besarnya. Akhirnya, kekuasaannya pun kerap disalahgunakan untuk melakukan tindak korupsi. Inilah mengapa pemberantasan korupsi tak kunjung tuntas.
Kondisi ini jelas sangat kontras andai sistem Islam diterapkan secara komprehensif. Sebab, Islam memiliki mekanisme yang mumpuni untuk meminimalisir terjadinya tindak korupsi. Dalam paradigma Islam, korupsi merupakan perbuatan khianat yang haram dilakukan. Dikatakan perbuatan khianat karena korupsi adalah perbuatan penggelapan uang yang diamanatkan kepada seseorang. (Nizham al-Uqubat, Abdurrahman al-Maliki). Agar perbuatan haram ini tidak terjadi, Islam memiliki mekanis untuk mencegah terjadinya korupsi ataupun kecurangan dalam pengelolaan harta, baik harta milik negara maupun milik umum.
Islam memiliki sistem politik yang kuat yang akan menjaga individu tetap dalam kejujuran saat menjalankan amanahnya. Sebab, politik dalam paradigma Islam merupakan aktivitas mulia, yakni mengurus urusan umat yang memiliki konsekuensi berat, baik di dunia maupun di akhirat, karena akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Pemahaman inilah yang membuat para pejabat dituntut untuk amanah dan jujur dalam mengurus rakyat.
Sistem politik ini pun didukung oleh sistem pendidikan Islam yang dirancang untuk mencetak SDM yang beriman, bertakwa, dan terampil. Kurikulum pendidikan diarahkan untuk melahirkan generasi yang berkepribadian islami, yakni generasi yang memiliki pola pikir dan pola sikap sesuai syariat. Sehingga saat syariat menghukumi bahwa korupsi itu haram, maka seseorang akan berpikir haram dan bersikap menghindarinya.
Selain itu, sistem pendidikan Islam membuat generasi memiliki keterampilan agar mereka siap mengarungi dan menjalani kehidupan. Oleh karena itu, generasi pun disiapkan untuk memiliki keterampilan sebagai pemimpin. Sehingga saat mereka diberi amanah sebagai pejabat, mereka telah siap, profesional, amanah, dan jujur.
Islam juga memiliki mekanisme untuk menjamin kesejahteraan hidup para pejabat dan keluarganya, sebagaimana negara menjamin kesejahteraan rakyatnya. Negara akan menjamin kebutuhan pokok rakyat secara tidak langsung, yakni dengan memudahkan kaum laki-laki untuk memperoleh pekerjaan, serta menjamin harga kebutuhan pokok terjangkau oleh rakyat. Sehingga rakyat dapat memenuhi kebutuhan pokoknya.
Adapun kebutuhan dasar publik seperti pendidikan dan kesehatan, negara akan memberikannya secara langsung. Sebab, Islam mewajibkan negara menjamin kebutuhan tersebut secara mudah, murah, dan berkualitas, bahkan gratis. Kebutuhan ini wajib diberikan pada seluruh rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim, kaya maupun miskin, tua maupun muda.
Jaminan negara tersebut niscaya mencegah para pejabat negara melakukan tindak korupsi. Akan tetapi jika masih ditemui adanya pejabat yang melakukan korupsi, maka sistem hukum dalam Islam akan memberlakukan sanksi yang tegas dan menjerakan bagi pelakunya. Sanksi ini pun bersifat zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus) sehingga tindak korupsi tidak akan terulang kembali. Wallahu’alam bishshawab. (RUL)