Oleh : Dairy Sudarman (Pemerhati Politik Dan Kebangsaan)
Transisi demokrasi seperti Pilpres-Pileg, adalah faktualisasi quality control (QC) updated keberadaan demokrasi. Sedang dalam kondisi mundur, berkembang atau bahkan mati.
Ketika Jokowi jelang transisi demokrasi itu digantikan atas perintah konstitusi sekalipun, demokrasi di Indonesia sedang dalam kondisi sakaratul maut.
Itu disebabkan ironisme otoritarian civiliant yang tak lazim dari Jokowi, malah justru lebih keji dari rezim militeristik, ketika umumnya estated militery lead dalam buku How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Zebaltt menjadi sebagai faktor causa prima didiskripsikan.
Itu pulalah yang menjadi alasan kenapa, dua pasang paslon 01 dan 03 terkonsolidasi koheren melakukan gugatan legal standing PHPU di MK sekarang.
Dikarenakan merasa bersama dicurangi dan diculasi oleh 02 secara TSM.
Semenjak pangkalnya lolosnya Gibran sebagai calon Wapres Prabowo —menunjukkan puncak kegilaan kejahatan nepotisme, kolusi dan korupsi Jokowi
Analogi yang masuk akal sehat bahwa otoriterisme Jokowi itu meluluhlantakkan demokrasi—karena ayahnya Presiden melakukan cawe-cawe politik yang kedua-duanya merupakan pelanggaran besar konstitusi setelah menempuh “jalan sesat” di periode kedua pemerintahannya.
Kedua, jika konsolidasi koheren antarpaslon 01-03 ini berlanjut di Hak Angket DPR yang sudah memenangi jumlah kursi antarfraksi, maka proses jalannya sidang penyelidikan dan penyidikan —berakselerasi dengan jalannya sidang PHPU di MK— bisa menjadi strategi sinergis titik temu imparsial-holistik dan saling melengkapi:
Dari segi law enforcement tersalurkan bukti-bukti faktualnya berkekuatan hukum secara kuantitatif — yang satu dibawakan Timnas Hukum Nasional masing-masing.
Pun yang kedua dari segi political enforcement akselerasi kekuatan politik oleh Timnas Pemenangan masing-masing — dengan pendekatan kualitatif —membuktikan suatu kebenaran memang tak terpungkiri adanya kekuatan pengaruh kekuasaan Jokowi menghegemoni, mengkooptasi dan mengintimidasi itu, adalah suatu keniscayaan yang telah dan harus diakui dan dipercayai oleh publik.
Tetapi ketika mengarah ke sanksi hukum, secara diametrikal antara PHPU dan Hak Angket sudah pasti akan mencapai tujuan dengan jalannya sendiri masing-masing, yaitu: PHPU mendiskualifikasi paslon 02. Atau paling tidak mengeksepsi Gibran harus diganti sebagai paslon dari Prabowo untuk mengadakan Pilpres ulang.
Sementara, Hak Angket setelah berjalannya hasil penyeledikan dan penyidikan memungkinkan terjadinya interpelasi yang bisa meningkat ke hak menyatakan pendapat yang bisa mengarah keterangbenderangan ke isu pemakzulan Jokowi.
Pertanyaannya, hingga memanfaatkan waktu PHPU oleh para paslon 01 dan 03 sampai 22 April 2024 di MK itu bisakah berakselerasi —paling tidak, dimulai berjalannya Hak Angket yang masih tersandera oleh keputusan Puan Maharani— lagi-lagi terdelik oleh modus nepotisme, korupsi dan kolusi dinasti politik keluarga. Lebih menyayangi suaminya daripada bangsanya—padahal PDIP itu “ratu mahkota” kemenangan Hak Angket itu?
Ketiga, inilah fenomena yang paling menarik di tengah dilema persoalan tarik-menarik tersendatnya Hak Angket dan dari sengketa di PHPU.
Yang bisa memotivasi untuk membakar membangkitkan semangat dan harapan upaya pemulihan demokrasi. Sekaligus, memperbaiki citra diri MK sendiri, adalah adanya partisipasi 303 para Guru Besar dari civitas kampus yang menghimpun aspirasi pemikiran dan keilmuan, berupa meng- advisory dalam beleid pernyataan literatis akademis “Amicus Curiae”.
Yang butir-butir keilmuan dan pengetahuan itu akan memberikan masukan strategis bagi para hakim MK untuk menganalisis secara lebih berbobot dalam melatarbelakangi mutu amar keputusannya setelah memperhatikan dan mempertimbangkan benar-benar beleid pernyataan itu.
Ini bisa pula sebagai pionir luar biasa menjadi nilai dan contoh baru bagi cara keberkembangan demokrasi bagi negara-negara di seluruh belahan dunia ke depannya. Dengan sampai turun gunung para Guru Besar pakar keilmuan itu.
Yang ditengarai kondisi demokrasi yang tengah sakit. Sekaligus, upaya preventifikasi seringkali dari pada mencari jalan keluar yang dipaksakan dengan suatu aksi gerakan People Power.
Yang sudah pasti akan menimbulkan resiko banyak memakan korban jiwa karena bentrokan aparat keamanan dengan para demonstran di tengah-tengah situasi chaos dan destruktif yang menyertainya.
Maka, beleid pernyataan “Amicus Curiae” itu yang dihimpun dari sebanyak 303 para profesor ahli politik dan tata negera —yang sesungguhnya independen dan netralitas— menjadi jalan revolusi paling damai sebagai solusi jalan keluar dari kekisruhan hanya akibat seorang Jokowi yang telah membuat demokrasi sesuai prinsip, asas dan falsafah Pancasila dan UUD 1945 tengah dirongrong bahkan cenderung diluluhlantakkan.
Semoga MK yang menjadi satu-satunya lembaga hukum yang paling diharapkan —meski dibayang-bayangi oleh hantu setengah ketidakpercayaan itu tak terbukti dan mampu mengambil amar keputusan terbaik bagi rakyat, bangsa dan negara.
Terlebih, akibat masih lebarnya disparitas kebodohan dan kemiskinan rakyat yang dimanfaatkan oleh para elit politiknya dengan “kebohongan dan pembohongan politik” itu.
Yang penyadaran dan kesadarannya tengah “dimelekkan” oleh kelas komunal menengah kaum intelektualitas itu:
Berbareng bergerak bersama untuk melakukan pilihan melalui revolusi damai yang dipelopori beleid pernyataan “Amicus Curiae” atau revolusi perang fisik melalui People Power itu ketika akhirnya PHPU itu dicurangi dan diculasi lagi? Atau Hak Angket Itu berhasil dimentahkan dan dibendung pula? Wallahua’lam Bishawab. (Mustikasari, 1 April 2024/RAF)