Oleh : HELMI HIDAYAT
Dalam Islam, apa hukum bersenggama sepasang lelaki dan perempuan? Jika dilakukan di luar pernikahan, hubungan badan itu dinamakan zina dan hukumnya haram. Mau dilakukan suka sama suka, di kamar, di hotel, di mana saja, perzinaan tetap haram.
Hubungan intim ini baru menjadi halal jika dilakukan setelah pernikahan. Islam bahkan mengajarkan pernikahan adalah sunnah Rasulullah Muhammad SAW, yang di dalamnya ada sejuta keberkahan. Allah SWT dan utusan-Nya, demikianlah ajaran keimanan dalam Islam, menjadi saksi atas sebuah pernikahan. Karena itu, hubungan badan setelah pernikahan halal, mau di hotel, di rumah, di dapur, di garasi, di pantai, pokoknya di mana saja.
Di mana saja? Bagaimana jika persenggamaan itu dilakukan di pusat keramaian, misalnya di pinggir jalan? Jawabannya tetap halal.
Tidak nantinya gara-gara suami-istri berhubungan badan di pinggir jalan, apa yang mereka lakukan jadi haram, menggugurkan pernikahan, atau pelakunya harus dirajam.
Dalam hukum Islam, pokoknya sekali seorang lelaki dan perempuan terikat pernikahan sah, mereka halal berhubungan badan di mana saja, kecuali di waktu-waktu yang dilarang, misalnya di siang hari bulan Ramadhan, waktu istri menstruasi, atau istri menjalani masa nifas.
Kendati halal, hubungan badan suami-istri di pinggir jalan pasti dimaki-maki banyak orang. Sangat mungkin keduanya digeret ke kantor hansip atau kelurahan. Jika keduanya ngotot apa yang mereka lakukan halal, tokoh ulama setempat pasti akan bilang: ‘’Kalian boleh saja bilang hubungan badan kalian halal sebab kalian sudah menikah, tapi menampakkan aurat haram. Jadi apa yang kalian lakukan ya haram!’’
Tokoh pendidik setempat akan bilang, persenggamaan mereka tidak pantas ditonton anak-anak di bawah umur. Sedangkan tokoh preman di lokasi itu berkata dengan sedikit menggurui: ‘’Gue aja raja jalanan di sini gak berani hubungan badan di pinggir jalan, eh, elo mau nyaingin gue!’’
Intinya, persenggamaan di pinggir jalan yang sejatinya tetap halal dalam hukum Islam itu menjadi objek maki-makian banyak orang. Dalam Islam, ini disebut halal, tapi tidak thayyib alias tidak baik. Indikator tidak thayyib itu adalah munculnya maki-makian banyak orang dari segala penjuru.
Karena tidak thayyib, ujung dari persenggamaan itu adalah tidak berkah. Bagaimana mungkin akan jadi berkah jika tindakan nekat suami-istri itu dimaki-maki orang? Karena disumpahi banyak orang, sangat mungkin persenggamaan mereka melahirkan anak sah tapi akhlaknya bejat.
Itulah sebabnya Islam mengajarkan umatnya agar mencari kenikmatan bukan hanya halal, tapi juga thayyib (QS Al-Baqarah (2): 168). Kata ahli tafsir Ibnu Katsir, thayyib berarti ‘’tidak membahayakan tubuh dan pikiran.” Jika halal dan thayyib sudah didapat, ujungnya adalah berkah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berkah berarti: ‘’Karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia.’’
Sampai di sini jelas, hubungan badan suami istri di pinggir jalan secara konstitusional dalam Islam adalah halal tapi tidak thayyib dan ujungnya tidak berkah. Karena itu jangan coba-coba Anda lakukan.
Setelah dipahami betul makna dan perbedaan halal, thayyib dan berkah, mari terapkan definisi ini pada bansos yang digelontorkan Presiden Jokowi di masa kampanye Pilpres 2024.
Tentu tidak salah jika empat menteri di Kabinet Jokowi yang dihadirkan dalam sidang persengketaan pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) – Muhadjir Effendy, Airlangga Hartarto, Sri Mulyani dan Tri Rismaharini – mengatakan secara konstitusional bansos yang digelontorkan Jokowi tidak melanggar hukum. Itu artinya halal. Jika bansos itu sudah ditetapkan dalam APBN 2023, siapa mau bilang itu melanggar hukum?
Tapi, seperti halalnya terhadap persenggamaan yang dilakukan suami-istri di pinggir jalan, orang tidak merasa cukup hanya dijejali aspek hukum. Ada banyak aspek etika yang disorot dan menjadi basis lahirnya maki-makian terhadap pasangan suami istri nekat itu, mulai dari pelanggaran etika sosial, etika pendidikan, sampai etika agama-agama.
Menggelontorkan bansos kepada rakyat miskin tentu tindakan mulia, pelakunya bisa dianggap Sinterklas oleh rakyat miskin di seluruh Indonesia. Tapi, jika jumlah bansos itu tiba-tiba melambung tinggi di masa kampanye – dari Rp 2.47 triliun pada Januari 2022 naik jadi Rp 3.88 triliun pada 2023 lalu melonjak drastis di musim kampanye 2024 jadi Rp 12.45 triliun alias naik 220 persen – tentu ini menimbulkan pertanyaan, tudingan, kecurigaan, juga maki-makian seperti halnya makian terhadap suami-istri yang bersenggama di pinggir jalan kendati perbuatan mereka halal.
Karena dituding-tuding dan melahirkan banyak kecurigaan, bansos yang dilempar Jokowi di musim kampanye jelas tidak thayyib kendati secara konstitusional tidak ada pelanggaran hukum di dalamnya seperti dinyanyikan keempat menteri yang dihadirkan dalam MK. Karena tidak thayyib, ujungnya tentu tidak berkah.
Jika persenggamaan suami-istri di pinggir jalan yang tidak thayyib lalu menjadi tidak berkah dicontohkan bakal melahirkan anak berakhlak bejat, saya tidak mau menebak-nebak apa yang bakal dihasilkan dari bansos yang disebar secara tidak thayyib lalu jadi tidak berkah itu.
Tapi, sebagai ilustrasi saja, let me tell you bahwa saya ternganga saat menyaksikan sebuah video yang merekam pakar ekonomi Faisal Basri tampil di sidang MK. Ia tampak gusar sekali menilai cara Presiden Jokowi melempar-lempar bansos dari mobil mewahnya kepada rakyat sambil direkam para pengawalnya. Kata Faisal Basri, rakyat Indonesia benar-benar berada di bawah peradaban saat diperlakukan presiden mereka seperti itu.
Bansos yang digelontorkan jor-joran di masa kampanye thayyib dan penuh berkah? Di negara demokrasi seperti Indonesia, Anda bebas menilai. Salam.