JAKARTA (DesentraLNEWS) – Delapan tokoh dari Petisi 100 dan Front Penegak Daulat Rakyat (F-PDR) mengajukan surat untuk menjadi Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (18/4/2024)
Kedelapan tokoh tersebut adalah Jenderal (Purn) TNI Tyasno Sudarto (mantan Kepala Staf TNI-AD), Mayjen (Purn) TNI Soenarko (mantan Danjen Kopassus), Letjen (Purn) TNI Soeharto (mantan komandan Marinir), Dr. Marwan Batubara (direktur Indonesia Resources Studie/Iress), HM Mursalin (presiden Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam/KISDI), Dindin Maolani SH (praktisi hukum), Rizal Fadillah SH (pemerhati Politik dan kebangsaan) dan Syafril Sjofyan (aktivis).
Upaya mereka menjadi Amicus Curiae itu sebagai bentuk dukungan kepada MK agar berani memutus perkara perselisihan Pilpres 2024 yang dimohonkan Paslon 01 Anies-Muhaimin dan 03 Ganjar-Mahfud dengan adil, berdasarkan hati nurani dan lebih mengedepankan kepentingan bangsa dan negara dibanding kepentingan perorangan atau kelompok tertentu.
“Kami mengambil langkah ini karena cinta kepada NKRI, dan ingin negara kita ini terjaga eksistensinya, termasuk sistem yang berlaku di dalamnya, yakni sistem demokrasi, demi menuju Indonesia Emas tahun 2045,” kata Marwan Batubara, koordinator pengajuan Amicus Curiae, seperti dikutip dari siaran persnya.
Ia menambahkan, Petisi 100 dan F-PDR melihat dalam hampir 10 tahun ini demokrasi yang direngkuh dengan menggulingkan Orde Baru dan menggulirkan Orde Reformasi, dikorupsi dengan kebijakan-kebijakan yang mengarah untuk kembali kepada sistem otoriterianisme yang berlaku pada era Orde Baru.
Puncak pengkhianatan terhadap Reformasi itu adalah didesainnya penyelenggaraan Pilpres 2024 demi melanggengkan kekuasaan dengan disertai pembangunan dinasti politik yang para personelnya akan didudukkan pada posisi-posisi strategis di pemerintahan pusat maupun daerah.
Jika politik dinasti itu selesai dibangun dengan sempurna, maka Indonesia bisa saja menjadi “negara monarki” dengan penerapan sistem pemerintahan otoriterianisme sebagaimana halnya di era Orde Baru.
“Mahkamah Konstitusi kini pada posisi yang sangat strategis karena desain Pilpres 2024 yang melahirkan kecurangam secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) untuk memenangkan Paslon 02, karena Cawapres 02 adalah anak sulung sang pembangun dinasti politik (Presiden Jokowi). Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juga Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK juncto Pasal 29 ayat (1) huruf d UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. harus menangani perkara sengketa Pilpres 2024 yang dimohonkan Paslon 01 dan 03 yang merasa dirugikan atas kecurangan itu,” sambung Marwan.
Namun, tegas Marwan, sebagaimana diketahui, terbitnya putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi landasan bagi putra sulung Presiden Joko Widodo, yakni Gibran Rakabuming Raka, untuk menjadi Cawapres, mengindikasikan bahwa MK dalam posisi yang tidak steril, bahkan terindikasi telah dikooptasi atau diintervensi demi pelanggengan kekuasaan yang berpotensi membuat Indonesia berubah menjadi negara dengan sistem monarki atau otoriterianisme, atau kombinasi keduanya.
“Sebagai putra-putra bangsa yang cinta Tanah Air, kami menolak Indonesia dibawa jauh mundur ke belakang setelah Orde Baru ditumbangkan pada tahun 1998. Karena itu, kami mengajukan diri menjadi Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) demi menjaga Marwah MK sebagai the Guardians of Constitution, dan demi memberikan dukungan moril, semangat dan keberanian untuk melawan intervensi dan kooptasi kekuasaan, sehingga MK dapat membuat putusan yang adil, sesuai hati nurani dan mengedepankan kepentingan seluruh anak bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan segelintir atau sekelompok orang,” tegas Marwan lagi.
Ia memastikan, Petisi 100 dan F-PDR bersama para akademisi, tokoh nasional, mahasiswa, dan ulama yang juga mengajukan diri menjadi Amicus Curiae, akan mengawal MK, mendukung independensi MK, memberikan masukan-masukan, dan hal-hal penting lainnya.
“Kecurangan Pilpres yang hanya melahirkan pemimpin yang tidak amanah, maka harus dihentikan. NKRI harus diselamatkan. Kami berdiri bersama MK, berjuang bersama MK, demi Indonesia yang lebih baik ke depannya,” pungkas Marwan.
Seperti diketahui, pengajuan Amicus Curiae ke MK sedang menjadi trend dan bahkan fenomena, karena pada Pilpres 2019 dan 2014 juga diduga terjadi kecurangan, tetapi tidak ada yang mengajukan Amicus Curiae.
Namun, sebelumnya putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 memang telah menyentak publik karena lembaga sekelas MK ternyata dapat membuat putusan yang melampaui tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi) sebagai lembaga yang tidak berwenang membuat dan merevisi undang-undang, sementara putusan Nomor 90 itu mengubah norma pasal 169 huruf q UU Pemilu yang mengatur tentang syarat usia Capres/Cawapres.
Sebagaimana digambarkan dalam film Dirty Vote, putusan itu diyakini menjadi bagian dari kecurangan Pilpres 2024 demi melanggengkan kekuasaan Presiden Jokowi melalui anaknya setelah gagal mewacanakan perpanjangan masa jabatan presiden dan penambahan masa jabatan presiden menjadi 3 periode.
Putusan itu sekaligus memberikan gambaran kepada publik bahwa MK dapat digunakan.penguasa untuk kepentingannya.
Tak heran kalau orang pun berbondong-bondong mengajukan diri menjadi Amicus Curiae, karena mereka tak ingin menolerir kecurangan yang telah terbukti hanya menghasilkan presiden yang tidak amanah dan menyusahkan rakyat.