Oleh : M. Shodiq Ramadhan (Redaktur Pelaksana Suara Islam Online)
Ibnu Umar yang saya maksud adalah Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khathab. Siapa yang diandaikan diadukan ke Mahkamah Konstitusi (MK)? Ya ayahnya sendiri, yakni Umar yang sekaligus kepala negara atau Amirul Mukminin saat itu. ‘Presiden’ dalam istilah sekarang.
Apakah tepat pengandaian Ibnu Umar mengadukan Amirul Mukminin ke MK? Tentu saja tidak tepat. Sebab, dalam sistem pemerintahan Islam, jika rakyat ingin mengadukan kepala negara atau aparat negara lainnya terkait kebijakan, lembaga yang lebih tepat untuk menangani masalah itu adalah Mahkamah Mazalim. Demikian seperti ditulis Abdul Qadim Zallum dalam “Nizamul Hukmi fil Islam.”
Tapi, saya sengaja menyebut MK, yang saat ini putusannya masih hangat. MK yang memutuskan Airlangga Hartarto dan Zulkifli Hasan tidak melanggar kampanye Pilpres, padahal kedua menteri itu “cetho welo-welo” menyebut bansos negara yang dibagikan kepada rakyat sebagai “bansos Jokowi”.
MK pula yang telah melemahkan dalil penggugat bahwa Erick Thohir melanggar aturan pemilu dengan tidak cuti atau mengundurkan diri dari jabatan saat berkampanye untuk pasangan Prabowo-Gibran. Padahal rakyat tahu, dengan jabatan Menteri BUMN yang masih melekat lalu berkampanye untuk pasangan calon tertentu itu artinya ada penyelahgunaan fasilitas negara.
MK pula yang telah memutuskan tidak adanya cawe-cawe Presiden dalam Pilpres 2024. Padahal Presiden Jokowi sendiri yang terang-terangan mengatakan dirinya akan cawe-cawe.
Menurut MK, tidak ada bukti kuat bahwa pernyataan Presiden itu merupakan kehendak untuk ikut campur dalam penyelenggaraan Pilpres 2024 dengan menggunakan cara-cara di luar hukum dan di luar konstitusi.
Menurut MK juga, tidak ada korelasi antara bentuk cawe-cawe dengan potensi perolehan suara salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2024.
Putusan-putusan MK ini, jika dikaitkan dengan kebijakan Amirul Mukminin Umar bin Khathab, semuanya bertentangan. Lho kok bisa?
Adalah Umar bin Khathab, salah satu pemimpin dalam sejarah peradaban Islam yang meninggiutamakan adab atau etika dalam pemerintahan. Ia tidak hanya berpaku pada hukum: boleh atau tidak boleh, halal atau haram saja dalam pengambilan keputusan. Tetapi lebih dari itu.
Coba perhatikan bagaimana pernyataan Umar kepada keluarganya. “Aku telah melarang rakyat untuk melakukan ini dan itu. Rakyat akan melihat tindak tanduk kalian sebagaimana seekor burung melihat sepotong daging. Bila kalian melanggar, maka mereka akan melanggar. Dan, bila kalian takut melakukannya, maka mereka juga akan takut melakukannya. Demi Allah, bila salah seorang di antara kalian diserahkan kepada saya karena ia melanggar apa yang sudah saya larang, maka saya akan melipatgandakan hukuman kepadanya, karena ia kerabat saya. Siapa di antara kalian yang ingin melanggar, silakan! Dan, siapa yang ingin mematuhinya, juga silakan.”
Umar melarang anggota keluarganya memanfaatkan fasilitas-fasilitas umum yang dikhususkan negara bagi sekelompok rakyat. Sebab Umar khawatir bila anggota keluarganya mengkhususkan fasilitas tersebut untuk mereka.
Umar juga tidak membiarkan putra-putrinya mendapatkan keistimewaan (privilege), memperoleh dan mengumpulkan harta dengan memanfaatkan kedudukan mereka sebagai putra seorang penguasa.
Perhatikan kisah Abdullah bin Umar, salah satu putra Umar bin Khathab di bawah ini:
Abdullah bin Umar bercerita, “Aku pernah membeli beberapa ekor unta dan kugiring ke tempat pengembalaan. Setelah unta-unta itu besar dan gemuk aku mengambilnya.”
Abdullah selanjutnya bercerita, “Tatkala Umar pergi ke pasar ia melihat beberapa ekor unta yang berbadan gemuk, “Siapa pemilik unta-unta ini?” tanya Umar Dikatakan kepada Umar, “Unta-unta itu adalah milik Abdullah bin Umar”. Kemudian, Umar mengatakan kepada saya, “Wahai Abdullah bin Umar Anda hebat!..Hebat..!! Anda adalah seorang putra Amirul Mukminin! Ada apa dengan unta-unta ini?” Kujawab, “Dulu, unta-unta ini kubeli dan kukirim ke tempat pengembalaan sebagaimana dilakukkan kaum muslimin.“
Umar berkata, “Mereka pasti mengatakan, “Gembalakanlah unta-unta milik putra Amirul Mukmin! Berilah minum unta-unta milik putra Amirul Mukminin! Hai Abdullah, ambillah modalmu dan masukkanlah sisanya (keuntungannya) ke Baitul Mal kaum muslimin!.”
Dalam kesempatan yang lain, Umar menyampaikan muhasabah kepada putranya, Abdullah bin Umar, atas barang yang pernah dibelinya di Jalula.
Abdullah bin Umar bercerita, “Dulu, saya ikut dalam perang Jalula, perang melawan Persia. Saat itu, saya membeli sebuah barang dari hasil rampasan perang seharga 40.000 dirham. Setelah saya bertemu dengan Umar, ia bertanya, “Bagaimana pendapatmu sekiranya kamu dilemparkan ke neraka, lalu ditanyakan kepada kamu, “Tebuslah barang ini! Apakah kamu akan menebusnya dengan barang itu?” Kujawab, “Demi Allah, tidak ada sesuatu yang menyusahkan Anda melainkan saya akan menebus untuk Anda dari hal tersebut.”
Umar berkata, “Aku ini seolah-olah menyaksikan rakyat pada saat mereka menjalankan transaksi jual beli. Mereka mengatakan, “Ini adalah Abdullah, sahabat Rasulullah, putra Amirul Mukminin dan orang yang paling dicintainya. Aku akan bagi dan aku akan dimintai pertanggungjawaban. Aku akan memberimu lebih banyak dari keuntungan yang diperoleh pedagang Quraisy. Kamu berhak mendapat untung satu dirham dari setiap satu dirham dari modalmu.”
Abdullah selanjutnya bercerita, “Kemudian Umar memanggil para pedagang. Mereka membeli barang itu seharga 400.000 dirham. Umar menyerahkan kepada saya sebesar 80.000 dirham, dan sisanya ia kirimkan kepada Sa’ad bin Abi Waqqash untuk dibagikan kepada masyarakat.”
Andai Ibnu Umar mengadukan kebijakan ayahnya, Amirul Mukminin, yang dia rasa telah merugikan dirinya ke MK pada hari ini kira-kira apa putusannya? Apakah putusan MK akan sama dengan kebijakan Umar bin Khathab yang sedemikian tinggi dalam mengutamakan etika dan menjaga putranya dari harta bertatus syubhat? Atau MK justru memenangkan Ibnu Umar?
Saya kok menduga putusannya akan sama dengan putusan MK soal gugatan Pilpres 2024, pada sidang Senin (22/04) kemarin. MK akan memenangkan Ibnu Umar dan mengalahkan ayahnya, Al Faruq.
Akan disebutkan bahwa Ibnu Umar tidak melanggar aturan. Ibnu Umar tidak memanfaatkan status dirinya sebagai putra seorang Amirul Mukminin. Tidak ada bukti kuat bahwa status Ibnu Umar sebagai putra penguasa menyebabkan unta-utanya menjadi lebih gemuk. Juga tidak ada bukti kuat atau korelasi antara status Ibnu Umar sebagai putra Khalifah dengan aktivitas jual beli barang-barang hasil rampasan perang, yang menyebabkan dia mendapatkan harga murah lalu dijual kembali dengan harga mahal.
Kira-kira, dugaan saya, akan seperti itu.
Pertanyaannya, lalu mengapa Umar bersikap seperti di atas? Mengapa Umar tidak sekadar berpikir soal boleh dan tidak boleh, melanggar dan tidak melanggar aturan, sebagaimana putusan MK?
Nampaknya, jawaban atas pertanyaan saya ini telah ditulis oleh seorang sejarahwan Muslim dan penulis produktif, Profesor Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam bukunya “Syakhsiyatu Umar wa Aruhu.”
“Kunci kepribadian Umar adalah keimanannya kepada Allah SWT dan persiapannya menghadapi Hari Akhir,” kata Ash-Shalabi.
Menurut Ash-Shalabi, iman itulah yang menyebabkan adanya keseimbangan dan daya tarik dalam kepribadian Umar. Sehingga kekuatannya tidak membuatnya menyimpang dari keadilannya, kekuasaaannya tidak membuatnya menyimpang dari kasih sayangnya, dan kekayaannya tidak membuatnya menyimpang dari sikap rendah hatinya.
Umar, kata beliau, benar-benar takut kepada Allah SWT, sehingga ia selalu melakukan muhasabah terhadap dirinya sendiri. Umar juga telah sampai kepada puncak hakikat yang telah terpatri dalam hatinya yang mendorong dia untuk berlaku zuhud di dunia.
Umar pernah mengatakan, “Perbanyaklah mengingat neraka. Sebab apinya sangat panas, dasarnya sangat dalam, dan tempat pijakannya adalah besi.”
Sedemikian takutnya Umar akan terpeleset pada api neraka, padahal ia adalah satu dari sepuluh sahabat Nabi Saw yang dijamin surga. Sementara kita; saya, Anda dan para hakim MK itu? Wallahu a’lam.