Oleh : Dairy Sudarman, Pemerhati politik dan kebangsaan
Anies ditinggal sendiri. Ketika kalah di Pilpres, kendaraan partai-partai pendukungnya itu berlarian takut dijemput sakaratul maut “kematian”.
Yang satu bak puntung sampah rokok yang sudah habis jadi abu yang diterpa angin tiupan mulut pun menghilang, gone with the wind.
Atau yang lain kaki-kaki rodanya buntung tak bisa bergerak, ”the dead paralyzed party”.
Maka, partai-partai itu sungguh betapa sangat memalukan dan memilukan. Bubar begitu saja, tanpa kelaikan dan keadaban penghormatan apalagi kehormatan kepada publik.
Tak ada pilihan lain partai-partai itu tak lebih baik kemudian hanya menjadi bunglon, berubah berbalik arah bergabung dengan habitat koloni partai pemenang pendukung Pragib yang “gila” dan “ambisi” serta rakus dan serakah akan kekuasaan.
Kemenangan yang diraihnya sesungguhnya didapatkannya secara “haram”, dipenuhi kecurangan, keculasan dan kelicikan. Alias, tak diridoi oleh Tuhan Maha Pemilik Kuasa. Bukan pula kuasa suara hati Vox Populi Vox Dei
Jadilah mereka disebut partai anomali propagandais—alias corong penyiar kebohongan dan pembohongan politik publik, niscaya akan jadi partai buangan karenanya kelak akan menjadi partai terbuang atau pantas juga disebut partai “pengkhianat rakyat”?
Tak apa! Bersyukurlah sendirian ditinggal oleh partai-partai anomali itu—itulah wujud pertolongan Tuhan. Tetapi, sekarang lihatlah Anies ditemani oleh 40 juta lebih pendukungnya yang memegang komitmen dan konsisten melanjutkan perjuangan dan kejuangan untuk mewujudkan kesungguhan perubahan Indonesia ke depan.
Dan Anies bersama 40 juta pendukungnya lahir dari rahim empati dan partisipasi hasil elektoral bersahaja pengikutnya itu, adalah sungguh incridibel, sangat luar biasa. Di luar nalar, kecuali hanya kehendak dan kuasa Tuhan itu yang menjadikannya.
Merekalah berhimpun dengan membawa panji-panji kebaruan dan pembaharuan merah putih kelak: apa yang disebut masyarakat kelas menengah tulen dan murni berkejujuran dan berkebenaran untuk membangun visi dan misi perubahan itu , yang terdiri:
Komunitas masyarakat intelektualis, masyarakat berpendidikan; komunitas masyarakat madani yang mandiri secara ekonomi, sosial dan budaya; komunitas masyarakat concentia, masyarakat berkesadaran etika dan moralitas; komunitas masyarakat amicus curiae, masyarakat yang berkesadaran pada penegakan hukum dan peradilan; dan komunitas masyarakat Imani, masyarakat bereligiusitas dari mayoritas umat Islam yang taat baik populis maupun moderat beserta umat taat agama lainnya.
Dan dalam dialektika dan diskursus akademis keilmuan maupun dalam praktis pemerintahan dan ketatanegaraan, fungsi dan peran kelas menangah itu, adalah sebagai penopang, penegak dan penjaga demokrasi di mana pun di negara-negara di belahan dunia yang kelak ingin berkembang dan berkemajuan dalam jejak sejarahnya.
Maka, Anies secara informal diimpersonalkan oleh mereka sebagai pemimpin dari The Guardian of Democracy. Anies itu Abah atau Tetua penjaga demokrasi.
Demokrasi sebagaimana ditancapkan oleh cita-cita luhur para The Founding Father NKRI. Yang esensi dan substansinya kekuasaan demokrasi itu bersandar pada prinsip dan pondasi dasar berkedaulatan rakyat sebagaimana landasan ideologi konstitusional Pancasila dan UUD 1945 yang takkan terpunahkan sepanjang sejarah Republik ini berdiri.
Maka, mustahil jika Anies akan kembali menjadi gubernur di Jakarta dan atau apalagi menteri di kabinet Pragib. Sebagai penjaga demokrasi Indonesia dan dunia, sudah pasti Anies akan tetap merdeka, mandiri dan independen berada dan berkedudukan di luar pemerintahan.
Implementasi pergerakannya akan melawan dan menentang segala bentuk supremasi kekuasaan kediktatoran, oligarki dan politik dinasti —ntahlah kemunculan the rising star sebagai pemimpin itu nanti dari partai baru, NGO atau secara personal sekalipun.
Kemudian akan menggiring dan menggarang kekuatan rakyat “people power” manakala kekuasaan itu hanya diperuntukkan kepentingan kelompok dan segelintir golongan hanya untuk meraih semata kekayaan material dengan cara membiarkan merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme. Tanpa mempedulikan rakyat yang terus-menerus mengalami pemiskinan yang dikarenakan termiskinkan dan dimiskinkan.
Apalagi melakukan intimidasi, menindas, dan menginjak-injak kedaulatan rakyat yang sesungguhnya pemilik dan pemangku kekuasaan itu. Maka, takkan tiada ampun untuk merontokkan dan menjatuhkan kekuasaan zalim itu, siapa pun rezim penguasa NKRI itu. Wallahu a’lam Bishawab. (Mustikasari Bekasi, 1 Juni 2024/RAF)