Oleh : Annisa Nur Istiqomah, Aktivis Dakwah Kampus & Pegiat Literasi Pena Langit
Isu TAPERA (Tabungan Perumahan Rakyat) menjadi topik perbincangan yang kian memanas di tengah publik. Pasalnya, pasca peluncuran program tersebut oleh pemerintah, mengundang berbagai respon dari para pengusaha, pekerja, hingga masyarakat umum.
Sebagian besar respon masyarakat menyatakan ketidaksetujuannya atas pemberlakukan kebijakan TAPERA yang dianggap tidak adil dan terkesan terlalu memaksa.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2024 memutuskan bahwa masyarakat wajib mengeluarkan iuran TAPERA sebesar 3%, dengan rincian 0,5% ditanggung oleh pemberi kerja dan 2,5% ditanggung para pekerja.
Peraturan tersebut bertujuan untuk membantu pemerintah dalam penyediaan perumahan bagi masyarakat yang belum memiliki perumahan. Pembebanan iuran TAPERA tidak hanya berlaku bagi para pegawai ASN, tetapi kini juga berlaku kepada pegawai swasta.
Hal ini yang akhirnya mengundang kemarahan publik, terutama para aktivis buruh. Sebab iuran tersebut juga berlaku bagi para pekerja yang telah memiliki rumah. Masyarakat amat menyayangkan sikap pemerintah yang seringkali mengeluarkan kebijakan tanpa menimbang aspirasi rakyat terlebih dahulu.
Masyarakat sangat mengeluhkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang seringkali hanya menambah beban penderitaan rakyat. Pendapatan yang tidak seberapa harus dipaksa melalui berbagai pemotongan iuran mulai dari BPJS, Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), ditambah lagi harga barang pokok yang kian hari kian melangit yang ditunjukkan oleh kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET), dan kini iuran TAPERA yang sifatnya wajib.
Bahkan, pemerintah telah menyiapkan sanksi bagi para pekerja dan pengusaha yang tidak membayar iuran ini. Mulai dari sanksi administrasi, denda, sampai pencabutan izin usaha bagi para pengusaha.
Polemik TAPERA yang terjadi menggambarkan lepas tangannya pemerintah dari peran yang seharusnya dalam membantu rakyat untuk memiliki hunian, karena rumah merupakan kebutuhan primer masyarakat yang wajib dipenuhi negara.
Namun, melalui TAPERA justru rakyat dipaksa harus saling menanggung beban dengan negara. Layaknya iuran BPJS, dimana rakyat juga dipaksa ikut menanggung biaya kesehatan yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah dalam menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakatnya.
Dalam sistem kapitalisme, wajar adanya apabila pemangku kebijakan seringkali mengeluarkan program-program yang berimbas menyulitkan rakyat. Meskipun, dalam peluncurannya atas nama kepentingan rakyat.
Namun, pada faktanya tidak demikian. Pemerintah bertindak sebagai regulator yang menjamin penerapan kebijakan yang telah dimandatkan Undang-Undang melalui serangkaian pertimbangan yang tidak masuk akal dan tentu hal ini berjalan atas campur tangan pihak-pihak yang memiliki kepentingan.
Sementara dalam pandangan Islam, peran negara memiliki posisi penting dalam mewujudkan kesejahteraan di tengah masyarakat. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan melalui proses pertimbangan hukum syariat dan berusaha mengeluarkan rakyat dari berbagai bentuk penderitaan.
Negara senantiasa hadir dalam menciptakan iklim ekonomi yang sehat demi membantu masyarakat dalam memperoleh penghasilan yang cukup untuk memiliki rumah hunian, baik pribadi maupun sewa.
Selain itu, negara juga mencegah praktik ribawi dalam transaksi jual-beli kredit perumahan yang mengandung dosa besar. Pengoptimalan kelola sumber daya alam perlu dilakukan pemerintah untuk memenuhi hak masyarakat dan menghindari tindakan monopoli dan eksploitasi sumber daya oleh pihak tertentu.
Negara juga akan memberikan berbagai kemudahan bagi masyarakat untuk memiliki tempat tinggal, bahkan pemberian lahan untuk dikelola masyarakat. Hal ini bertujuan agar masyarakat dapat hidup sejahtera dan demi mewujudkan kemaslahatan umum.