JAKARTA (DesentraLNEWS) – Muhammadiyah mengambil sikap tidak akan tergesa-gesa dalam menyikapi tawaran konsesi tambang dari pemerintah Jokowi.
“Tidak akan tergesa-gesa dan mengukur diri agar tidak menimbulkan masalah bagi organisasi, masyarakat, bangsa, dan negara,” kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam keterangan di Jakarta, Ahad (09/06/2024).
Menurut Mu’ti, di internal Muhammadiyah belum ada keputusan akan menolak atau menerima konsesi tambang tersebut.
Ormas kelahiran 1912 itu menegaskan akan mengkaji semuanya dari berbagai aspek dan sudut pandang yang menyeluruh.
“Keputusan sepenuhnya berada di tangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ormas keagamaan mengelola tambang tidak otomatis, tetapi melalui badan usaha disertai persyaratan yang harus dipenuhi,” kata Mu’ti.
Sebelumnya, Menteri Investasi Bahlil Lahadilia menyatakan akan segera menerbitkan izin usaha pertambangan (IUP) pengelolaan batu bara untuk Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) guna mengoptimalkan peran organisasi keagamaan.
Menurut dia, Presiden Joko Widodo telah setuju dan akan memberikan konsesi batu bara yang cadangannya cukup besar kepada PBNU untuk dikelola dalam rangka mengoptimalkan organisasi.
Tolak, Banyak Mudharatnya
Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2015 Din Syamsuddin meminta agar Muhammadiyah menolak tawaran izin tambang yang akan diberikan oleh pemerintah. Menurut Din pemberian konsesi tambang bagi ormas keagamaan itu banyak mudaratnya daripada maslahat.
”Sebagai warga Muhammadiyah saya mengusulkan kepada PP Muhammadiyah untuk menolak tawaran Menteri Bahlil dan Presiden Joko Widodo itu. Pemberian itu lebih banyak mudharat dari pada maslahatnya. Muhammadiyah harus menjadi penyelesai masalah bangsa, bukan bagian dari masalah,” kata Din, Selasa (4/6/2024) dikutip dari laman muhammadiyah.or.id.
Bukan hanya itu, Din juga menilai pemberian izin tambang bagi ormas keagamaan itu juga berpotensi menjadi sumber korupsi.
”Wewenang pemberian IUP (Izin Usaha Pertambangan) sebagai sumber korupsi,” kata Din yang juga menjabat Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pondok Labu Jakarta itu.
Din mengaku dirinya berhusnuzan (berbaik sangka) pemberian konsesi tambang untuk Ormas Keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah dapat dinilai positif sebagai bentuk perhatian pemerintah kepada mereka.
”Namun hal demikian sangat terlambat, dan motifnya terkesan untuk mengambil hati. Maka, suuzan (berburuk sangka) tak terhindarkan,” katanya.
Dia bercerita, sewaktu menjadi Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja sama Antar Agama dan Peradaban yang ditunjuk langsung oleh Presiden Jokowi, dia mempersyaratkan agar Presiden Joko Widodo menanggulangi ketakadilan ekonomi antara kelompok segelintiran yang menguasai aset nasional di atas 60 persen dan umat Islam yang terpuruk dalam bidang ekonomi.
”Presiden menjawab bahwa hal itu tidak mudah. Saya katakan mudah seandainya ada kehendak politik (political will). Yang saya mintakan hanya pemerintah melakukan aksi keberpihakan dengan menciptakan keadilan ekonomi dan tidak hanya memberi konsesi kepada pihak tertentu,” tuturnya.
Juga dia minta agar mau menaikkan derajat satu-dua pengusaha muslim menjadi setara dengan taipan. Menurutnya, itu perlu agar kesenjangan ekonomi yang berhimpit dengan agama dan etnik tidak menimbulkan bom waktu bagi Indonesia.
”Kini tiba-tiba kehendak politik itu ada lewat Menteri Bahlil. Walau tidak ada kata terlambat, namun pemberian konsesi tambang itu tidak dapat tidak mengandung masalah,” ujarnya.
Menurut dia, pemberian konsesi tambang kepada NU dan Muhammadiyah tetap tidak seimbang dengan jasa dan peran kedua Ormas Islam itu. Tetap tidak seimbang dengan pemberian konsesi kepada perusahan-perusahaan yang dimiliki oleh kelompok segelintiran tadi.
Din memberi contoh, satu perusahaan seperti Sinarmas, menguasai lahan walau bukan semuanya batubara seluas sekitar lima juta hektare. Bahkan dunia Minerba Indonesia dikuasai oleh beberapa perusahaan saja. Sumber daya alam Indonesia sungguh dijarah secara serakah oleh segelintir orang yang patut diduga berkolusi dengan pejabat.
”Pemberian tambang batubara dilakukan di tengah protes global terhadap energi fosil sebagai salah penyebab perubahan iklim dan pemanasan global, maka besar kemungkinan yang akan diberikan kepada NU dan Muhammadiyah adalah sisa-sisa dari kekayaan negara,” ujarnya.
Karena itu, dia berpendapat pemberian tambang “secara cuma-cuma” kepada NU dan Muhammadiyah, potensial membawa jebakan.
Din menyebut, menurut pakar, Sistem Tata Kelola Tambang dengan menggunakan sistem Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Kontrak Karya adalah Sistem Zaman Kolonial berdasarkan UU Pertambangan Zaman Belanda (Indische Mijnwet) yang dilanggengkan dengan UU Minerba No.4/2009 dan UU Minerba No.3/2020.
Sistem IUP ini tidak sesuai konstitusi tidak menjamin bahwa perolehan negara harus lebih besar dari keuntungan bersih penambang. Bahkan, sistem IUP selama bertahun-tahun terbukti disalahgunakan oleh oknum pejabat negara yang diberi wewenang mulai dari bupati, gubernur, hingga Dirjen dalam mengeluarkan IUP.