Oleh : Dairy Sudarman, Pemerhati politik dan kebangsaan
Aura politik Indonesia 2024 diwarnai dengan semakin mengental dan menebalnya siklus lingkaran dan strukturalisasi politik dinasti.
Hingga 2029 nanti, tak mengherankan jika pemerintahan dan ketatanegaraan Indonesia dijalankan praktis dengan mesin pragmatisme politik “sangat penuh kekuasaan politik dinasti”.
Betapa tidak! Jokowi sang The King of Influencer di Pilpres 2024, adalah legacy baru bagi terbentuknya politik dinasti yang memproduksi anak kandungnya Gibran, sebagai Wapres.
Dan terbentuknya dinasti politik legacy Jokowi-Gibran yang membidani asalnya, tak lepas dari tangan kekuasaan Megawati Soekarnoputri, adalah yang melahirkan proses persalinan Presiden Jokowi. Yang sebelumnya sebagai petugas elite partai di dan dari PDIP.
Justru, harus diakui dan disadari pula oleh Megawati Ketum PDIP, malah dirinya, adalah sebagai legacy dari satu-satunya dinasti politik terkuat dan terpanjang dalam sejarah dari trah Soekarno semenjak republik ini berdiri.
Demikian pula Prabowo Subianto, eksistensi dirinya tak terpungkiri terkait dalam jejak sejarah trah legacy mantan menantu dinasti politik keluarga Cendana, mantan kediktatoran Presiden Soeharto.
Dan dalam koalisi obesitas yang kelak dibentuk oleh kabinet Pragib dengan mengatasnamakan propagandaisme ke publik sebagai “politik rekonsiliasi besar setelah melakukan rekonsiliasi kecil bersama Jokowi lima tahun terakhir ”—praktis akan semakin mengeliminasi dan mengeliminir habis oposisi tersisa, tanpa jejak setapak kaki pun.
Di dalamnya pun ternyata bercokol ada legacy trah dinasti politik SBY-AHY yang rencananya akan bergabung dalam Watimpres, The President Club . Sementara, AHY, sudah pasti akan berlanjut menjabat jabatan menteri di kabinet Pragib nanti.
Pun yang semula dua partai lawan di Pilpres 2024 kemudian bergabung kembali yang dikenal sebagai partai bunglon atau pun disebut sebagai “the jumping fleas party “, seperti partai Nasdem dan PKB, adalah simbol dua serpihan dari bentukan dinasti politik partai:
Nasdem pecahan dari Golkar sang partai utama pendukung kediktatoran era Orde Baru mantan Presiden Soeharto. Sedangkan, PKB, jejak sejarahnya masih sedarah berbau satu turunan dengan legacy dinasti politik Gus Dur, bukan?
Maka, sekali lagi! Betapa berkesuaian melewati sepanjang sejarah tiap-tiap periode masa kepemimpinan pemerintahan dan ketatanegaraan semenjak Presiden Megawati, SBY, Jokowi hingga kabinet Presiden Pragib itu, keniscayaan sesungguhnya, adalah pragmatisismenya digerakkan oleh politik praktis mesin kekuasaan “The Fully Political Dinasty”.
Ini sungguh sangat mengerikan! Dan dalam dialektika dan diskursus perihal kajian analisis politik akademis maupun praktis pemerintahan-ketatanegaraan di manapun di pelbagai belahan dunia, tak ada satu pun negara yang menganut paham dan menggunakan mesin kekuasaan politik dinasti itu dapat mengantarkan negara itu ke berkembangan dan berkemajuan dalam politik demokrasi maupun tujuan menuju welfare bagi rakyat, negara dan bangsanya.
Justru, malah dalam siklus lingkaran dan strukturalisasi politik dinasti yang sedemikian penuh tanpa celah di sepanjang sejarah kepemimpinan pemerintahan —yang pada akhirnya seluruhnya bergabung di koalisi pemerintahan Pragib (bisa bertahankah Megawati Soekarnoputri yang masih tersisa tetap menolak bergabung?) — itu hanya menimbulkan dampak semakin buruk bagi kepastian terjadinya kemunduran dan “mati surinya” demokrasi; sementara di lini perikehidupan bidang ekonomi dan hukum dikuasai penuh oleh para mafia dan oligarki.
Bahkan, seperti yang terjadi pada kekuasaan Jokowi —akan nyaris sama keberlanjutannya dengan Pragib—sangat dikuatirkan telah dan bakal menjadi rezim simbol kediktatoran, alias otoritarianisme-otoriter baru.
Terlebih, kini bergabungnya dua pribadi antara murni militeristik-otoriter dan warisan civiliant otoritarian Jokowi sang ayah.
Namun, di Pilpres 2024 yang boleh disebut pula, sebagai masa transisi demokrasi, pertolongan Tuhan Yang Maha Kuasa bagi negeri ini masih ada dan nyata, adalah kemunculan The Rising Star Anies Rasyid Baswedan (ARB), yang digadang-gadang akan menjadi presiden baru Indonesia setelah menandai begitu luar biasa dalam keberhasilannya memimpin Jakarta:
Ternyata orang dengan pribadi yang bersih, genuine, dan tanpa turunan warisan struktur dan lingkaran dinasti politik siapa pun, non kolusi oligarki dan seorang meritokrat dan demokrat tulen dalam menjalankan kepemimpinannya pemerintahan di Jakarta dan Indonesia anti KKN kelak.
Tetapi, semenjak awal pencalonannya ARB ini memang sengaja dijegal dan tidak dikehendaki oleh rezim penguasa dengan pelbagai cara keji dan licik dengan di-bully, dan difitnah.
Ketika tiba di event pencalonan Presiden di Pilpres 2024 hingga dibentuk ada suatu gugus tugas dan kewajiban ARB harus dikalahkan.
Itupun dilakukan dengan segenap daya upaya mereka dengan tindakan penuh kecurangan, keculasan dan kelicikan secara TSM di penyelenggaraan Pilpres 2024 lalu itu.
Dan itu dibiayai dengan “money politic” yang sangat sangat mahal, beratus-ratusan trilyun, dengan dua sumbernya secara tidak langsung berasal dari anggaran negara APBN, seperti nyaris 500 trilyun penyaluran Bansos dan BLT yang paralel penyelenggaraan waktunya dengan Pilpres . Juga biaya logistik Pilpres mereka yang tentu saja berasal dari para oligarki jahat penyokongnya penuh kelicinan, kelicikan dan keculasan, dengan jaminan “sekadar makan siang pun tak ada yang gratis”!
Pun kekalahan ARB itu terjadi dikarenakan keroyokan adanya “turut campur yang seharusnya terlarang” oleh UU dari struktur perangkat aparatur negara dari kepala desa, kepala daerah, hingga keterlibatan MK, KPU, Bawaslu, termasuk ASN, TNI dan Polri sendiri.
Tetapi, lihatlah Anies melalui hasil elektoral Pilpres 2024 berhasil — meskipun hanya mampu menghimpun 40 juta pendukungnya, adalah nyaris seluruhnya komunitas masyarakat istimewa kelas menengah yang sesungguhnya akan memberi misi “kemenangan sesungguhnya yang tertunda” kelak, terdiri dari:
Masyarakat “intelektual” berpendidikan; masyarakat “madani” yang mampu berkemandirian secara ekonomi, sosial dan budaya; masyarakat “concentia” komunitas masyarakat berkesadaran etika dan moralitas; masyarakat “amicus curiae” sahabat pengadilan berkesadaran hukum dan peradilan; dan masyarakat Imani, masyarakat religiusitas dengan mayoritas umat Islam populis dan moderat taat serta umat taat agama lainnya.
Kelima kategori komunitas masyarakat menengah tersebut, adalah masyarakat cikal bakal dan kepeloporan serta berperan dan berfungsi dalam pemulihan penegakan, penonggakan dan penjagaan kembali demokrasi berkedaulatan rakyat.
Itu terbuktikan dengan ditandai oleh begitu luas publik pendukungnya yang berasal dari dan di seluruh pelosok Indonesia didasari empati, simpati dan partisipasi rakyat secara suka rela dan berkemandirian dengan tujuan yang sama menuju kesungguhan perubahan Indonesia ke depan:
Menghapus politik dinasti dengan kroni dan koloninya, membasmi kekuatan bisnis oligarki beserta seluruh struktur para mafia-mafiosonya dan memupus jaringan jalannya pemerintahan politik secara otoritarian yang hanya menyemai kesuburan KKN saja.
Maka, rentang waktu 2024-2029 adalah masa periode dilematika pembuktian kepemimpinan pemerintahan Prabowo-Gibran:
Jika tetap mempertahankan sepenuhnya pembangunan berkelanjutan ala Jokowi dengan prioritas infrastruktur yang hanya mementingkan segelintir kelompok oligarki dengan mengabaikan kepentingan kedaulatan rakyat untuk sejahtera, maka NKRI akan terhempas di ambang kehancuran.
Yang oleh Prabowo pernah diramalkan dan diproyeksikan sendiri ketika 2030 Indonesia akan mengalami perpecahan. Lantas, terciptalah Indonesia sebagai negara gagal dan menuju klimaksnya kehancuran.
Itu berarti 2029 Anieslah yang akan semakin diharapkan menjadi calon Presiden Indonesia 2029. Di pucuk dan di pundak kepemimpinannya akan terwujudkan perubahan menuju kebaruan dan pembaharuan politik di Indonesia.
Transisi demokrasinya akan semakin membuka jalan kepastian akan harapan dan keniscayaan bahwa Indonesia emas 2045 itu, adalah kesunyataan apa yang disebut sebagai terwujudnya cita-cita welfare suatu era berkesejahteraan yang adil dan makmur rakyat, negara dan bangsa seluruhnya.
Sehingga, ketika dilontarkan pertanyaan masih sepantasnyakah Anies harus masih mencari panggung untuk sekadar jabatan Gubernur dan atau Menteri? Semoga tidak!Wallahu a’lam Bishawab. (Mustikasari-Bekasi, 10 Juni 2024/TAL)