Oleh : Dairy Sudarman, Pemerhati politik dan kebangsaan
Seorang Anies pasti sudah mempertimbangkan segalanya dengan sangat matang. Dengan suatu kecermatan dan kecerdasan hasil sepenuhnya perhitungan yang berkewarasan rasional dan akal sehat.
Pilihannya, jitu dan ajeg ‘go back’ to Jakarta. Bahkan, melampaui suatu keharusan bertarung lagi di panggung Pilgub Daerah Khusus Jakarta, di Pilkada November 2024 mendatang.
Dikarenakan pembedanya, sekarang agregat politik Anies itu sudah menyandang tokoh berkaliber nasional dan mondial. Suatu kompetensi berkelayakan lebih untuk memimpin Jakarta berstatus kota megapolitan internasional. Yang ironisnya, tengah semakin dilecehkan oleh rezim penguasa Jokowi sebagai IKN dengan kepindahan ke Penajam Utara, Kaltim.
Bahkan, sangat pantas dijuluki dan disimbolisasi sebagai “The Leader Guardian of Democracies” NKRI.
Dikarenakan Anies itu calon Presiden excisting yang membawa misi dan visi kesungguhan perubahan Indonesia yang tugas dan kewajibannya masih harus diemban dan diwujudkan di pundaknya ke depan:
Pengemban penjaga perbaikan dan pemulihan demokrasi di Pilpres 2024 yang baru lalu.
Yang sesungguhnya itu sangat sulit dan dengan sangat susah payah dikalahkan oleh Jokowi yang tengah menjalani kepemimpinan kekuasaan rezim otoritarian. Ditentang dan dilawan keras oleh Anies.
Sehingga, pemenangan Pra-Gib oleh Jokowi itu telah menjadi fakta faktual bagi publik mengetahui: bahwa sesungguhnya siapa dirinya sebagai The King of Influencer “pemain nyata dan niscaya yang bermain dengan tangan kotor berlumuran dosa” kelicikan dan keculasan dengan banyak menyimpangkan dan menyelewengkan UU. Termasuk, UU Pemilu:
Melakukan kecurangan TSM, money politic menabur-naburkan “garam hujan amplop” dari pinggiran kota hingga di seluruh pelosok desa-desa dan penyalahgunaan momen Bansos sebagai “gentong babi” serta menutupinya dengan “karung penyelubungan” pengerahan aparatur negara dalam Pilpres: dari level kepala desa, kepala daerah, KPU, Bawaslu, Mahkamah Konstitusi, hingga ASN, Polri dan TNI.
Yang jelas, segala kemirisan kecurangan itu betapa telah menunjukkan kepada bangsa ini ternyata sebagian mayoritas rakyat masih buta politik, terbelakang, terbodohkan dan dibodohkan oleh permainan politik (the playing victim) telah menjadi bagian sepenggal sejarah kelam Anies dan negeri ini Indonesia.
Yang meyakinkan pertimbangan Anies kembali ke Jakarta semata-mata:
Itu dikarenakan begitu meletup dan meluapnya empati, simpati, partisipasi dan aspirasi warga Jakarta yang mengkhendaki Anies kembali menjadi Gubernur 2024-2029 memimpin Jakarta.
Malah, justru ini pun akan semakin mengurangi kompetensi dari sekadar penghormatan kepada Anies, seandainya sekalipun dibarengi Anies pun ditawari jabatan menteri sebagai anggota dari Kabinet Pra-Gib.
Akan tetapi terasa lebih sebagai suatu kehormatan bagi kepemimpinannya bilamana Anies menjadi Gubernur.
Jabatan Gubernur itu endoorsment pilihan geniune rakyat Jakarta, warganya. Pilihannya lagi-lagi sebagai implementasi keniscayaan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat berkesenantiasaan sebagai landasan utama perjuangan dan kejuangannya.
Bukan endoorsment kelompok para elite politik dari dan partai sokongan Pra-Gib yang notabene produk cawe-cawe Jokowi. Yang kemudian melahirkan persalinan dinasti politik Jokowi.
Makanya, itulah kenapa Anies pun dipastikan akan menolak berpasangan dengan Kaesang.
Dan jangan berharap mengulang keberhasilan “Gibran Sang Anak Haram Konstitusi” sebagai Wapres” dikarenakan diloloskan MK.
Itu tidak akan lagi terjadi di Jakarta bagi Kaesang akan diloloskan MA agar bisa maju di Pilkada DKI sebagai Wagub.
Itu adalah sebagai tindakan “Own Goal”, selayaknya Ahok ketika mengalami kekalahan dikarenakan akibat efek penistaan agama yang dilakukannya.
Jika MA kemudian pun memaksakannya, maka jelas ini merupakan “penistaan hukum”, pelanggaran hukum yang takkan bisa ditolerir oleh warga DKI yang secara mayoritas dilapisi banyak komunitas masyarakat menengah yang berkesadaran sebagai:
Pertama, Civitas akademika, berpendidikan dan intelektualis;
Kedua, komunitas madani, berkemandirian secara ekonomi, sosial dan budaya dicerminkan oleh para pendukung militansi dan fanatisme sukarelawan Anies 2017 yang menjadi kepeloporan dan cikal bakal kesukarelawanan Anies yang nyaris memenangkan Pilpres;
Ketiga, “Amicus Curiae” berkesadaran hukum dan peradilan;
Keempat, “Concentia” berkesadaran semangat etika dan moralitas;
Kelima, komunitas “Imani”, tebalnya tradisi religiusitas Islam masyarakat Betawi populis maupun moderat.
Yang kelimanya merupakan masyarakat pelapis demokrasi inilah yang akan membawa konsekuensi nyata bagi kemenangan mutlak Anies.
Apalagi bagi masyarakat miskin kota yang ketika era Anies sudah tak lagi merasa terpinggirkan dan dipinggirkan dikarenakan telah banyak diberdayakan akan menjadi efek pendulum bagi kemenangan mutlak Anies pula.
Pun pembanding program yang selalu menjadi masalah krusial dan urgensi di Jakarta seperti: masalah macet, banjir dan polusi justru di masa kepemimpinan gubernur Anies terasa dan dirasa lebih berhasil ketimbang penggantinya, akan menjadi pilihan kontribusi suara yang mampu mendorong kemenangan mutlak Anies pula.
Akhirnya, kembali kepada fitrahnya bahwa seorang Anies itu hingga kini masih independen, mandiri dan merdeka dikarenakan tidak terafiliasi dan berafiliasi dengan kepentingan partai tertentu:
Ternyata orang dengan pribadi yang bersih, geniune, dan tanpa turunan warisan struktur dan lingkaran dinasti politik siapapun; non kolusi oligarki dan seorang meritokrat dan demokrat tulen dalam menjalankan kepemimpinan di Jakarta lalu dan calon Presiden Indonesia yang jelas anti KKN kelak, adalah pilihan tepat bagi banyaknya partai-partai yang akan melamar dirinya menjadi kendaraan politik untuk memenangkan Anies secara mutlak itu.
Dan kemenangan Anies dan partai-partai itu di Pilkada DKI kelak akan menjadi semacam “revitalized maping political away” seperti menjadi papan petunjuk dan politik penyangga jembatan kokoh yang akan menyeberangkan, mengarahkan rakyat dan partai pengusung mendapatkan keuntungan berefek ganda yang muaranya semakin memudahkan jalan keniscayaan kesungguhan Anies bakal menjadi Presiden 2029 – 2034 mendatang.
Alih-alih begitu sangat strategisnya, PDIP pun bersama PKB, PKS dan NasDem pun sudah sangat bersuara keras untuk membuka diri melamar Anies. Jangan-jangan juga di koalisi partai sebelah bakal bergabung.
Dan jangan berharap pula warga Jakarta mudah dibodohi dengan segala permainan curang, the playing victim itu. Yang hanya bakal melepuh dan merapuh menjadi abu di hadapan Anies dan Jakarta. No way! (Mustikasari-Bekasi, 21 Juni 2024/RAF)