Oleh : M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Awalnya Prabowo ingin membuat “Presidential Club” sebagai wadah untuk mantan Presiden yang diduga kuat diketuai oleh Jokowi.
Tiba-tiba muncul wacana mengubah Wantimpres menjadi DPA dengan mendudukkan DPA sebagai Lembaga Tinggi Negara yang sejajar dengan Presiden. Hal ini menjadi upaya pencarian tempat untuk Jokowi dalam rangka “memperpanjang masa jabatan” sebagaimana impiannya.
UU No 19 tahun 2006 tentang Wantimpres hendak direvisi kilat dengan mengubah nomenklatur menjadi DPA. DPR ingin menjadikan DPA sejajar Presiden. Baleg DPR cukup sehari memutuskan agenda penetapan revisi di Paripurna menjadi Inisiatif DPR.
Konon sudah ada kesepakatan seluruh fraksi. Sungguh keterlaluan DPR bekerja seperti “kejar setoran” di ujung masa jabatan dengan membuat “proyek” terakhir pengabdian atau penghambaan DPR kepada Jokowi.
DPR ini menjadi lembaga bodoh atau membodohi dirinya sendiri dengan rencana revisi UU yang berdasar pada kesepakatan dengan Pemerintah itu, karena:
Pertama, DPA adalah lembaga yang ada dalam UUD 1945 lama yang oleh MPR telah dihapuskan melalui Amandemen UUD. Kehendak untuk mengadakan kembali DPA harus melalui mekanisme Amandemen MPR lagi. Artinya hal ini bukan kewenangan DPR.
Kedua, revisi UU Wantimpres harus berorientasi pada peningkatan fungsi “nasihat” atau “pertimbangan” kepada Presiden. Jangan seperti saat ini di mana Wantimpres hanya sebagai wadah atau lembaga “museum” bagi para sesepuh bangsa. Makan gaji buta.
Ketiga, menguras otak dengan mengotak-atik aturan demi penempatan Jokowi setelah tidak menjadi Presiden adalah salah besar. Apalagi jika hal ini menjadi bentuk “balas jasa” Prabowo untuk Jokowi. DPR menjadi alat kepentingan politik pragmatik. Akal-akalan Pemerintah.
Jika ingin menghidupkan kembali DPA sebagai Lembaga Tinggi Negara, maka jalannya adalah Amandemen UUD 1945 lagi atau kembali ke UUD 1945 yang asli. Itu kerja MPR. Jika revisi UU No 19 tahun 2006 dipaksakan untuk kemudian mendudukkan DPA sejajar dengan Presiden, maka dengan cepat setelah hasil revisi diundangkan, akan banjir guliran Judicial Review untuk pembatalan UU yang dinilai bertentangan dengan Konstitusi tersebut.
Jadi “ngebut” menipu rakyat melalui revisi akan dibalas oleh “ngebut” rakyat untuk melakukan uji materiil. Kegaduhan baru dibuat oleh DPR dan Pemerintah. Akhirnya pengabdian atau penghambaan DPR kepada Jokowi untuk duduk di singgasana Ketua DPA diprediksi akan gagal total.
Memang DPR ini seperti kurang kerjaan dan mengada-ada. Rugi besar rakyat harus menggaji anggota DPR dengan kualitas kerja seperti ini. Rakyat berhak untuk marah. (Bandung, 11 Juli 2024/RAF)