Oleh : Jannatu Naflah, Praktisi Pendidikan
Polemik naturalisasi dokter asing masih bergulir di tengah publik. Beragam tanggapan muncul merespons hal tersebut. Tidak sedikit pihak yang mendukung, sedangkan yang lain menentang kebijakan ini. Sejatinya, sepenting apa kebijakan ini di tengah liberalisasi kesehatan yang berakibat mahalnya biaya kesehatan dan merugikan rakyat ataupun dokter lokal?
Polemik naturalisasi dokter asing berawal saat Menteri Kesehatan Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, mengumumkan rencana untuk menaturalisasi dokter asing ke Indonesia dalam forum komunikasi tenaga kesehatan di Jakarta pada Selasa, 21 Mei 2024.
Menurut Menkes, seperti yang terjadi pada naturalisasi dalam dunia olahraga yang berdampak positif, kebijakan naturalisasi dokter asing ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Sebab, menurut Menkes terdapat tiga masalah sumber daya manusia yang mempengaruhi tenaga kesehatan di Indonesia.
Pertama, rata-rata rasio jumlah tenaga kesehatan di Indonesia berada pada angka 0,46 per 1.000 penduduk, angka ini tercatat hingga akhir pandemi COVID-19. Indonesia membutuhkan 12 tahun lebih untuk mencapai target rasio tenaga kesehatan 1 per seribu dengan populasi 280 juta jiwa dan produksi dokter 12.000 per tahun.
Kedua, dari sisi distribusi, terutama dokter spesialis yang masih terpusat di Jawa. Ketiga, sebagaimana naturalisasi dalam bidang olahraga, Menkes meyakini dengan menaturalisasi dokter asing dan meningkatkan kompetensi dokter niscaya akan meningkatkan kualitas dokter di Indonesia.
Jika ditelaah kebijakan mendatangkan dokter asing untuk praktik di Indonesia sejatinya merupakan mandat dari adanya pengesahan UU Kesehatan (2023). Diketahui, dalam UU Kesehatan Pasal 248 Ayat (1) termaktub bahwa WNA yang dapat praktik di Indonesia hanyalah tenaga medis spesialis dan subspesialis, serta tenaga kesehatan tingkat kompetensi tertentu yang telah mengikuti evaluasi kompetensi. (scome.cimsa.or.id, 08/07/2024).
Selain itu, Indonesia pun tengah menghadapi masalah kekurangan dokter spesialis. Data WHO mengungkapkan bahwa rasio ketersediaan dokter spesialis di Indonesia hanya 0,47 per 1000 penduduk, sedangkan menurut standar WHO rasio dokter spesialis 1,0 per 1.000 penduduk. Indonesia sendiri berada di urutan ke-147 dunia dalam peringkat ketersediaan dokter spesialis.
Secara rinci, Indonesia masih kekurangan 124.000 dokter umum dan 29.000 dokter spesialis, sedangkan Indonesia saat ini hanya mampu mencetak 2.700 dokter spesialis setiap tahunnya. Data kekurangan dokter inilah yang menjadi legitimasi untuk mendatangkan dokter asing. Namun, rasanya terlalu klise menjadikan kekurangan ketersediaan dokter sebagai dalih menaturalisasi dokter asing.
Tidak dimungkiri bahwa dalam paradigma kapitalisme, sektor kesehatan tidak luput menjadi lahan empuk guna mendulang keuntungan. Hal ini pun dikuatkan dengan keberadaan Indonesia sebagai anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Semua anggota dalam WTO juga merupakan anggota dari General Agreement on Trade in Services (GATS). Tidak heran, sebagaimana tujuan GATS, Indonesia pun dituntut untuk menguatkan arus liberalisasi pada dua belas sektor jasa, salah satunya adalah kesehatan.
Aroma kapitalisasi di sektor kesehatan inilah yang mengakibatkan tata kelola dan pelayanan kesehatan menjadi lahan bisnis bagi pemerintah. Alih-alih murah dan berkualitas, sektor kesehatan menjadi lahan bisnis dan persaingan. Naturalisasi dokter asing pun menjadi cara menaikkan keuntungan. Di sisi lain, naturalisasi dokter asing ini akan mengancam keberadaan dokter lokal, serta menambah mahal biaya kesehatan.
Yang menjadi ironi, sudah dihadapkan dengan persoalan kekurangan dokter, menjadi rahasia umum pula bahwa pendidikan kedokteran merupakan pendidikan dengan proses pendidikan yang sulit, lama, dan mahal. Tidak heran jika hanya masyarakat kalangan atas saja yang mampu mengecapnya.
Kapitalisasi juga kental menyengat dari mahalnya pendidikan kedokteran. Biaya mahal ini menjadi titik jenuh yang menghambat dihasilkannya dokter dalam waktu singkat dan berkualitas. Alhasil, terpenuhinya ketersediaan dokter di tengah rakyat menjadi lambat.
Jika pemerintah justru membuat kebijakan mendatangkan dokter asing untuk memenuhi kebutuhan rakyat, lalu bagaimana nasib dokter lokal dan sistem pendidikan kedokteran dalam negeri?
Sungguh makin ironis. Di satu sisi, arus kapitalisasi pendidikan makin deras. Di sisi lain, keberadaan dokter asing makin melambungkan biaya kesehatan. Apalagi jika standar yang dipakai adalah untung-rugi, jaminan kualitas pelayanan dipertaruhkan, tergantung uang yang dikeluarkan. Jelas menambah beban kalangan ekonomi lemah.
Polemik naturalisasi dokter asing niscaya tidak akan terjadi andai mau mengambil solusi yang ditawarkan oleh Islam. Dalam kacamata Islam, keberadaan dokter asing sejatinya bukanlah masalah. Paradigma perekrutan dokter asing ini tentunya berbeda dengan paradigma kapitalisme.
Perlu dipahami bahwa dalam paradigma Islam, kesehatan merupakan sektor publik yang wajib dikelola oleh negara. Negara wajib menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan pendidikan medis semata-mata demi memenuhi hajat hidup rakyat. Alhasil, sebagai sektor yang menyangkut kepentingan umum, haram bagi negara untuk mengapitalisasi dan meliberalisasi kesehatan.
Menjadi tanggung jawab negaralah untuk menyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat. Oleh karena itu, wajib bagi negara menyediakan dokter, tenaga kesehatan, dan fasilitas kesehatan yang memadai. Negara juga berperan penting menyelenggarakan sistem pendidikan ilmu-ilmu kedokteran guna menjamin ketersediaan dokter dan tenaga kesehatan yang berdedikasi tinggi dan berkualitas di masa depan.
Terkait kebijakan mendatangkan dokter asing maka negara memegang kendali penuh untuk mengaturnya. Boleh mendatangkan dokter asing setelah negara melakukan upaya untuk memberdayakan SDM dokter di dalam negeri. Sehingga perekrutan dokter asing dapat diminimalkan bahkan ditiadakan. Untuk menjaga idealisme dan dedikasi para dokter maka negara wajib menjamin kesejahteraannya sehingga terwujud tanggung jawab negara di sektor kesehatan.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan ini jelas membutuhkan biaya yang tinggi. Namun, negara wajib membiayainya menggunakan baitulmal yang memiliki banyak sumber pendapatan dengan jumlah yang besar. Adapun sumber pendapatan baitulmal antara lain berasal dari pos kepemilikan umum seperti tambang, minyak bumi, gas, hutan, laut, dsb. Sementara dari pos harta kepemilikan negara berupa fai’ dan kharaj, yakni ganimah, khumus, jizyah, dan pajak. Pajak diberlakukan hanya saat kas baitulmal kosong dan dikenakan pada kaum Muslim yang kaya saja.
Inilah solusi yang ditawarkan Islam untuk mengakhiri polemik naturalisasi dokter asing dan mewujudkan penyelenggaraan sektor kesehatan yang berkualitas. Solusi ini tentunya tidak hanya dikecap oleh segelintir rakyat saja, tetapi oleh seluruh rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim, baik miskin maupun kaya. Jelas sangat berbeda dengan penyelenggaraan sektor kesehatan dalam naungan sistem kapitalisme yang membuat dokter dan pasien makin sulit. Wallahu’alam bishshawab.