Oleh : M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Rakornas Muhammadiyah 27-28 Juli 2024 strategis untuk pengambilan keputusan tetang terima atau tidak tawaran pengelolaan izin tambang. Muhammadiyah semoga tidak menempatkan diri dalam “makan buah simalakama” atau berada di persimpangan jalan.
Persoalan pengelolaan tambang adalah “masalah kecil” bagi Muhammadiyah tetapi jika salah langkah dapat menjadi guncangan besar atau sekurang-kurangnya memancing fitnah bagi Ormas Keagamaan sebesar Muhammadiyah. Pro-kontra internal warga persyarikatan akan semakin tajam. Kecaman publik menguat.
Banyak kalangan umat Islam khawatir Muhammadiyah akan menerima tawaran Pemerintah untuk mengelola tambang khususnya pada lahan eks PKP2B. Sangat menyayangkan jika Muhammadiyah menjadi terpaksa menerima, menyerah pada penyanderaan atau tergiur pada keuntungan dunia.
Akan rontok kebanggaan atas sikap istiqomah Muhammadiyah yang selama ini berhasil ditunjukkan. Muhammadiyah biasa menjadi guru bagi kemampuan mengatasi cobaan dan tekanan rezim apapun. Menjadi pelayan kesehatan yang menyembuhkan sakit bangsa akibat virus pragmatisme dan hedonisme. Muhammadiyah yang selalu berusaha untuk memahami perasaan dan kemauan masyarakat.
Pengelolaan tambang tawaran Pemerintah minim manfaat bagi umat dan masyarakat. Lebih pada manfaat pengelola sendiri. Masalahnya adalah tambang ini dapat menguntungkan atau mencelakakan. Muhammadiyah semestinya mengambil keputusan dalam ruang yang tidak meragukan.
“da’ maa yariibuka ilaa maa laa yariibuka” Tinggalkan apa yang meragukan kepada apa-apa yang tidak meragukan. (HR Tirmidzi dan Nasa’i).
Mengelola tambang bagi swasta tentu menantang meski Konstitusi mengingatkan asas penguasaan negara dan manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Perlu idealisme dan kemampuan teknis yang memadai untuk menjalankannya.
Ormas keagamaan jangan ditempatkan sebagai medium politis untuk keuntungan sebesar-besar kemakmuran kapitalis. Semata formalitas sebagai pemilik izin apalagi ditambah dengan melanggar ketentuan perundang-undangan. Bukankah Izin Usaha Pertambangan diberikan semestinya bukan berdasar penunjukan langsung?
Fitnah adalah keputusan kontroversial yang menyebabkan terjadinya kegaduhan, kecaman bahkan serangan dari berbagai pihak. Fitnah merusak citra organisasi yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Benar bahwa keputusan selalu berisiko pro dan kontra, akan tetapi jika fitnah sudah terprediksi maka keputusan haruslah bijak.
Muhammadiyah mesti menghindari fitnah atas tawaran pengelolaan tambang. Artinya menolak adalah jalan terbaik. Di samping banyak faktor mudharat dari usaha pertambangan yang dikelola oleh Ormas Keagamaan termasuk Muhammadiyah, maka potensi friksi internal dan berbagai fitnah menjadi terbuka.
Sebagai organisasi dakwah Muhammadiyah harus menyingkirkan berbagai hal yang dapat mengganggu konsentrasi dari dakwahnya. Pengusahaan tambang yang rawan perusakan lingkungan dan konflik sosial bukan tempat yang tepat untuk menunaikan missi dakwah itu. Apalagi kebijakan ini diambil di penghujung masa Pemerintahan Jokowi yang terindikasi kental bernuansa politik.
Mencoba menyelami cara pandang tokoh Muhammadiyah sekelas Ki Bagus Hadikusumo, Kiai Mas Mansur, Prof Kahar Mudzakir, Buya Hamka dan lainnya maka demi menjaga marwah Muhammadiyah yang berjiwa juang Kiai Ahmad Dahlan maka tawaran pengelolaan tambang model Bahlil harus ditolak.
Mata hati Ilahiah akan didahulukan ketimbang ketakutan atau keuntungan duniawiah.
Lambang Muhammadiyah adalah matahari yang bersinar, bukan tambang yang mengikat apalagi menjerat. Muhammadiyah adalah harapan dan cahaya umat. Perjuangannya tidak berorientasi pada keuntungan pendek, keserakahan atau tekanan dan keterpaksaan.
Selamat melaksanakan Rakornas Muhammadiyah di Yogyakarta. Semoga keputusannya bermanfaat bagi persyarikatan, masyarakat, bangsa dan negara.