JAKARTA (DesentraLNEWS) – Ketua Umum DPP Permata Ummat Euis F. Fatayaty mengkritik aturan yang mengatur tentang penyediaan atau pemberian alat kontrasepsi kepada para siswa sekolah dan remaja. Bagi Euis ini adalah pintu menuju pembolehan seks bebas dikalangan remaja dimana seks tanpa ikatan pernikahan bisa dianggap wajar.
“Seks bebas bukan harus diberi solusi dengan pemakaian alat kotrasepsi, tetapi seks bebas harus dihentikan dan harus ada hukum yang mengatur sebagai efek jera agar perilaku seks bebas tidak semakin merajalela,” ujar Euis dalam keterangannya, Rabu (7/8/2024).
Menurut Euis, persoalan banyak yang terlanjur melakukan seks bebas dan terkena penyakit, itu solusinya ada pada institusi kesehatan yang bisa mengobati. Tetapi bagi siswa sekolah dan remaja yang sudah terkena penyakit ini hendaknya pemerintah bersama masyarakat melakukan langkah-langkah yang dapat menghentikan aktivitas ini dan jadikan sebagai warning bagi mereka bahwa dampak seks bebas itu sangat berbahaya dan dapat merusak masa depan mereka, bukannya malah anjuran memberikan alat kontrasepsi kepada mereka.
Ia menjelaskan, pendidikan agama dan mengajarkan bagaimana agama memberi batasan pada pergaulan dan memberi mereka pemahaman hukum itu lebih dibutuhkan oleh siswa sekolah dan remaja karena pertanggung jawaban mereka terhadap perilaku seks yang menyimpang dari sisi agama hukumannya panjang sampai ke akhirat.
“Sudahlah mereka rawan terkena penyakit kelamin, virus yang berujung pada kematian, ditambah lagi sanksi hukum dari agama alhasil siswa sekolah dan remaja menanam keburukan dan kejahatan pada dirinya sendiri. Kondom itu bukan untuk siswa sekolah dan anak remaja, kondom itu untuk orang yang sudah menikah,” jelas Euis.
Oleh karena itu, pihaknya berharap pemerintah mencabut peraturan tersebut karena kegagalan-kegagalan akan mengikuti model pendidikan dan pengawasan siswa sekolah dan remaja. Para orang tua sudah begitu baik memberikan pendidikan dan pengawasan kepada anak-anak mereka, sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan juga sudah berupaya menjalankan amanah yang diberikan orang tua para siswa, kenapa pemerintah membuat peraturan yang mendobrak ketahanan sosial yang sudah dibangun, sungguh ini menjadi tidak aman bagi kita semua.
“Sebagai pemerintah pembuat kebijakan harus memastikan bahwa kebijakannya diimbangi dengan menimbang dari sisi norma agama dan nilai-nilai di masyarakat karena peraturan yang melanggar kedua fondasi ini akan menimbulkan kekacauan,” tuturnya.
Sementara itu, Sekjen DPP Permata Ummat Fitriah Abdul Azis memandang, sosialisasi alat kontrasepsi di kalangan siswa sekolah dan remaja mengarah pada kapitalisme atau industri.
Menurutnya, saat ini memang sedang dicari payungnya, bagaimana mengelaborasi dunia pendidikan walaupun bisa terbaca berulang kali beberapa pengamat ingin menegaskan RUU di Indonesia masih harus diuji sebagai negara yang toleran dengan berulang kali merekonstruksi penetapan aturan yang melanggar norma agama dan nilai sosial di masyarakat. Maka dengan itu dapat menyoroti pergeseran usulan dalam UU apakah merambah ke konservatisme agama atau tetap pada sekulerisme pada konstitusinya.
Terkait penolakan PP No.28 Tahun 2024 Pasal 103 Ayat 4, Fitriah mengatakan itu menghidupkan kembali perdebatan tentang membatasi kebebasan berekspresi, dan ini mendorong perilaku seks bebas dilindungi dengan payung hukum.
Dalam pandangan ilmu Hubungan Internasional dapat di telusuri kemana generasi muda akan dibentuk yaitu diawali dengan membentuk stigma kewajaran dan melegitimasi seks bebas, perilaku seks menyimpang, menjadi pekerja seks, eksploitasi wanita dan mendekriminalisasi perdagangan atas diri mereka.
“Ini adalah sebuah pembelian dan pengendalian tenaga kerja yang diwujudkan pada tenaga kerja emosional bagaimana menjual keintiman dalam industri (prostitusi). Beberapa negara di Asia Tenggara telah menjalani industri ini dimana industri intim yang menargetkan pekerja seks perempuan dapat menghasilkan uang untuk meningkatkan penjualan alkohol, alat kontrasepsi, tumbuhnya klub host, peningkatan penjualan rokok, sebagai produk wujud yang ada di lingkungan itu dan menurut laporan Scelles Foundation Tahun 2011 prostitusi menghasilkan pendapatan tahunan $ 100 miliar di seluruh dunia. Sektor industri seks di Asia Tenggara diperkirakan menyumbang 2 hingga 14 persen dari PDB dan pendapatan yang dihasilkan,” ungkap Fitriah.
Parahnya hal ini juga didorong oleh beberapa Aktivis LSM, MNC, organisasi internasional dibanyak negara yang bersatu suara untuk melegalkan tujuan itu. Oleh karenanya setiap negara yang menolak tujuan mereka hendaknya pemerintah dapat memegang kendali pada kebijakan lembaga-lembaga tersebut dan perusahaan yang merupakan suport finansial bagi organisasi itu. Karena jika pemerintah tidak memegang kendali atas sebuah kebijakan akan berdampak langsung pada kedaulatan negara.
Fitriah mengungkapkan, pada kebanyakan kasus LSM, MNC dan organisasi internasional tidak terlibat langsung dalam situasi politik. Propaganda dan suport sistemnya atas suatu misi tertentu memainkan pengaruh konstruksi sebagai kekuatan lunak yang bisa menantang otoritas negara dimana tuntutan kebijakannya berpeluang melangar norma agama dan nilai sosial.
“Kebijakan pemberian alat kontrasepsi bagi siswa sekolah dan remaja memiliki implikasi yang serius dan berkaitan dengan moralitas publik, kesejahteraan sosial, penularan penyakit HIV/AIDS, kriminalitas, eksploitasi perempuan, perdagangan anak yang menjadi pekerja seks, perbudakan yang beresiko menimbulkan kerusakan sosial, kehancuran ketahanan keluarga,” jelasnya.
Di beberapa negara industri ini telah membebani pendapatan keluarga dan berkontribusi pada peningkatan jumlah remaja sebagai pekerja seks yang terlihat di jalan-jalan kota di seluruh dunia.
“Jadi sebaiknya pemerintah Indonesia tidak perlu mengikuti cara Barat dalam Comprehensive Sex Education-nya karena itu tidak sesuai dengan norma agama, nilai sosial masyarakat dan bertentangan dengan konstitusi serta berdampak serius pada masa depan generasi bangsa Indonesia,” tandas Fitriah.