Oleh
Dampak ikutan “perang” di internal KIM Plus itu pun akan terjadi dan dapat dilihat secara lebih gamblang dan terang-benderang setelah Prabowo Subianto dilantik sebagai Presiden secara resmi Oktober 2024 nanti.
Dan sebelum peperangan sebenarnya bukan fisik —semacam perang “dialektika dan diskursus politik“ tetapi berada di meja-meja dan ruang-ruang parlemen DPR— itu berlangsung.
Rupanya Prabowo sudah membangun “Kuda Troya” raksasa: yaitu untuk mengangkut bareng partai Nasdem, PKB, PKS, dan Perindo.
Sekaligus, untuk menjawab pertanyaan yang sudah sangat viral di media sosial dan aras publik dipenuhi makian, cercaan dan hinaan.
Bagi ketiganya: Nasdem, PKB dan PKS, seolah sudah menjadi partai yang kembali terjungkal di habitat pragmatisme tanpa ide dan ideologi kejuangan dan perjuangan sebagai hazard morality memanggul hanya gentong babi penuh cuan, tak lebih dari partai politik dagang sapi:
Kenapa koalisi ketiga partai dengan membawa idiologi perubahan itu yang melawannya di Pilpres 2024 harus hijrah ke KIM Plus?
Padahal, tujuannya —menuju metafor dan bukan instan —ada baik dan benarnya demi kepentingan di dalam Parlemen DPR merekonstruksi kerangka untuk menghadapi keseimbangan perolehan suara Gerindra (13,22%), Nasdem (9,65 %), PKB (10,61%), PKS (8,42%) dan Perindo (1, 28%) dengan total 43% membuat mereka tetap leading di jumlah kursinya.
Sehingga, ketika ada back up yang sangat kuat dan legitimasi di Parlemen DPR, Prabowo sebagai seorang Presiden mampu memberikan dan menunjukkan kepemimpinannya yang mandiri:
Tak ada lagi arsiran, warna keabu-abuan dan pengelabuan dalam betapa begitu ambivalensinya keruwetan kepemimpinan matahari kembar; kesesatan meritokrasi atas nama balas budi; dan disharmoni hasil keputusan maling teriak maling atau faktor hubungan causa prima sandera menyandera.
Yang dalam pandangan pribadi Prabowo sendiri secara tradisi militeristik itu sungguh menjadi suatu hal yang sangat menjijikkan. Apalagi dalam pandangan keadaban dan kesantuan profesionalisme kenegaraan seorang Presiden?
Sedangkan, partai Golkar yang baru saja dicaplok oleh Jokowi melalui “kudeta halus”. Memungkinkan terbuka lebar bagi Jokowi atau Gibran akan bisa langsung sebagai Ketua Umum Golkar atau Ketua Dewan Pembina Golkar.
Dengan demikian di bawah haluan dan kendalinya Golkar, Jokowi atau Gibran akan memainkan perannya sebagai masinis lokomotif kereta untuk menggandeng gerbong partai-partai pendukungnya.
Dengan perolehan suara Golkar sendiri (15,28%), PAN (7,23%), Partai Demokrat (7,43%), PSI (2,8% ) dan PPP (3,87%) total suara sebesar 36,4%, adalah angka deteran untuk membuka perlawanan ke kubu Prabowo itu.