Oleh : Nuim Hidayat (Direktur Forum Studi Sosial Politik Islam)
Sabtu, 27 April lalu di Gedung DDII, Jakarta Pusat, saya dihadiahi buku yang menarik. Yang menyerahkan langsung penulisnya, Hadi Nur Ramadhan. Buku itu berjudul “Degup Cita Para Pendiri Bangsa untuk Palestina.”
Selain Hadi, penulis buku ini adalah Pizaro Gozali Idrus. Dua anak muda ini kini dikenal sebagai cendekiawan muda yang sedang bersemi di tanah air.
Buku ini merangkum pemikiran tokoh-tokoh Islam atau tokoh-tokoh bangsa yang berperanan mendukung kemerdekaan Palestina. Mulai dari Soekarno, Hatta, Mohammad Natsir, Hamka, Haji Agus Salim, Wahab Chasbullah, Mohammad Roem, Rasyidi, AR Baswedan dan lain-lain.
Dalam sejarah, sejak Israel diakui PBB sebagai negara yang resmi tahun 1948, Israel berusaha keras melobi berbagai negara agar mengakui kedaulatan negaranya. Indonesia yang merupakan negara yang berpenduduk Islam terbesar di dunia, menjadi incaran utama Israel.
Pada 5 Desember 1949, Yaacov Shimoni, Kepala Departemen Asia Kementerian Luar Negeri Israel, meminta Presiden Israel agar kedutaan, atau Konsulat Jenderal Israel dapat dibuka di Indonesia.
Menyambut usulan Shimoni, Presiden Chaim Weizmann dan Perdana Menteri David Ben Gurion kemudian mengirimkan telegram kepada Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta. Telegram tanggal 9 Januari 1950 itu berisi ucapan selamat atas kemerdekaan Indonesia.
Merespons surat kawat yang isi utamanya timbal balik untuk pengakuan Israel, Hatta tidak banyak komentar. Ia hanya mengucapkan terima kasih tanpa memberikan pengakuan balik atas kedutaan Israel. Hatta memahami siapa Israel sesungguhnya. Pembagian PBB terhadap tanah Palestina pada tahun 1947 telah memantik amarah dari Indonesia.
“Bangsa Indonesia yang sedang memerangi kezaliman dan penjajahan menentang sekuat-kuatnya pembagian Palestina dan berdiri di samping saudara-saudaranya negara-negara Arab,” siar Radio Republik Indonesia Yogyakarta pada 3 Oktober 1947, seperti ditulis M Zein Hassan dalam Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri (Bulan Bintang, 1980).
Gagal dalam diplomasi pertama, Israel tidak putus asa. Kali ini lobii dijalankan Menteri Luar Negeri Israel Moshe Sharett. Ia mengirimkan telegram kepada Hatta untuk mengabarkan pengakuan penuh Israel kepada kemerdekaan Indonesia. Hatta menerima telegram itu biasa saja dan hanya menjawab singkat ‘thanks’.
Karena khawatir Indonesia mengelak mengakui Israel, Shimoni berniat mengirimkan misi diplomasi ke Indonesia. Sharett mendukung usulan Shimoni dan meneruskan proposal ini kepada Hatta. Namun Hatta hanya merespons secara diplomatis dan meminta agar ide itu ditunda di kemudian hari tanpa ada batas waktu yang jelas. (Lihat Moshe Yegar dalam The Republic of Indonesia and Israel, Routledge, 2008).
Sikap Hatta semakin jelas pada perhelatan Asian Games 1962 di Jakarta. Selain tidak setuju karena pesta olahraga itu menelan biaya besar, Hatta mengatakan alasan utama penolakan lainnya adalah adanya hasrat Israel untuk ikut serta. Bagi Hatta, partisipasi Israel sama saja bentuk pengakuan kedaulatan terhadap penjajah.
“Bagaimana pula soal lagu kebangsaan mereka? Konsekuensi ini agak berat,” kata Hatta dalam suratnya kepada Perdana Menteri Djuanda pada 24 Juni 1958 seperti dikutip Deliar Noer dalam Mohammad Hatta Biografi Politik (LP3ES, 1990).
Hatta sejatinya telah lama menyoroti penjajahan Zionis atas tanah Palestina. Dalam tulisannya Politik Inggris di Palestina, Hatta mengungkapkan bagaimana penderitaan bangsa Palestina yang menjadi korban tipu muslihat Inggris dan Zionis. Hatta mengatakan Inggris sengaja menguasai Palestina demi kepentingan ekonomi dan politiknya di Terusan Suez.
“Itulah sebabnya maka negeri itu jatuh ke tangan Inggris dan tidak ke tangan Prancis. Kalau Inggris duduk di Palestina ia selalu dapat mengontrol Terusan Suez, jalannya yang terutama untuk pergi ke Asia,” tulis Hatta.
Hatta kemudian menegaskan politik zionisme hanyalah akal bulus Yahudi untuk mengubah demografi Palestina. Tindakan itu, kata Hatta, memunculkan perselisihan antara bangsa Arab dan Yahudi, meski sebelumnya mereka dapat hidup bersama-sama dalam perdamaian di Palestina.
“Disitu Inggris dapat lagi melakukan politik devide et impera sedangkan kaum Yahudi menjadi perkakasnya. Dalam tahunn 1929 sudah terjadi suatu pertumpahan darah yang maha sedih antara Arab dan Yahudi, yang mengguncangkan seluruh dunia. Orang Arab merasa dirinya tertipu oleh Inggris,” terang Hatta (Lihat Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan Jilid II, Balai Buku Indonesia, 1953).
Namun meski mengalami penindasan oleh Inggris dan entitas Zionis, Palestina masih bisa berdiri mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal itulah yang membuat Hatta menyempatkan diri bertemu Mufti Palestina Syekh Amin al Husaini dan para tokoh Arab lainnya di Kairo usai memimpin Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949. Sebuah tindakan yang kontras yang dilakukan Hatta terhadap Israel.
Hatta menegaskan bahwa politik luar negeri Indonesia adalah anti kolonialisme dan bertujuan untuk mewujudkan perdamaian internasional.
”Karena dengan tak adanya kemerdekaan, maka tak akan tercapai persaudaraan dan perdamaian internasional,” tegas Bung Hatta.
Sikap Presiden Soekarno dalam soal Israel, sama dengan Bung Hatta. Dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung, 1955, Soekarno menyatakan, tidak ada artinya kemerdekaan Indonesia jika negara-negara Asia dan Afrika masih terjajah.
Ia menegaskan dunia tidak boleh lupa bahwa kolonialisme masih bercokol di Asia dan Afrika. Negara-negara lainnya yang sudah merdeka tidak boleh menutup mata atas situasi ini. Mereka harus tolong menolong membantu bangsa Asia dan Afrika yang masih dicengkeram kolonialisme.
Sikap anti penjajahan itu melatarbelakangi tindakan Soekarno memutuskan menarik diri dari kualifikasi Piala Dunia 1958, karena harus menjamu Israel di tanah air. Bagi Soekarno, selama Palestina masih terjajah, di sanalah Indonesia akan berdiri melawannya.
Yang tidak kalah peranannya dalam masalah Palestina ini adalah Mohammad Natsir, mantan Perdana Menteri RI. Natsir mengikuti perkembangan Palestina ini sejak muda. Pada 1941, ketika berusia 33 Tahun, Natsir sudah menulis tentang penindasan Israel terhadap Baitul Maqdis dengan perspektiif hukum internasional.
Natsir saat itu mengkritik sikap Perdana Menteri Afrika Selatan periode 1919-1924 dan 1039-1948, Jan Smuts yang menyebut Balfour Declaration telah sesuai dengan hukum internasional. Natsir menegaskan bahwa hukum internasional tidak dapat dipakai untuk melegitimasi penjajahan dan pelanggaran terhadap kedaulatan suatu bangsa.
Natsir dalam bukunya, Masalah Palestina (1971) juga mengecam Amerika Serikat yang mendua dalam merespons isu HAM.
Tokoh besar Islam ini menulis, ”Di waktu membicarakan Israel ini, ia tak pernah menyebut istilah-istilah seperti hak asasi manusiia. Jadi berlainan sekali antara apa yang diomongkan dan apa yang dimaksud dengan omongannya. Tidak dapatlah diharapkan Amerika akan membela orang-orang yang tertindas di Palestina itu. Tidak mungkin. Sebab sejarah lahirnya Israel itu adalah dengan bantuan dan inisiatif dari negara-negara besar itu sendiri di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mana mungkin dia akan menghapuskan anaknya. Yah tidak bisa dan tidak akan mungkin.”
Mantan Wakil Perdana Menteri RI, Mohammad Roem banyak dikutip tulisannya dalam buku ini. Dalam artikelnya 28 November 1979, Roem membuat judul “Lobi Yahudi di Amerika.” Ia menulis, ”Dukungan untuk Israel dari Amerika itu diperbolehkan, dipelihara dan dilaksanakan dengan apa yang dinamakan Lobi Yahudi. Ini suatu hal yang dalam dunia modern kelihatannya sesuai dengan dasar demokrasi, akan tetapi kalau dilihat lebih lanjut, toh menampakkan sudut yang melampaui batas.
Israel adalah suatu negara yang penduduknya pada saat ini (1979 -pen) tidak lebih dari dua juta manusia. Penduduk Israel adalah keturunan Yahudi. Di seluruh dunia, di luar Israel, jumlah orang Yahudi kurang lebih 15 juta. Dari jumlah ini 12 juta hidup di Amerika dan menjadi warga negara Amerika.
Dua belas juta warga Amerika keturunan Yahudi itu, dengan lobi Yahudi, berhasil menguasai politik Amerika, sepanjang politik itu diperlukan untuk menyokong negara Israel. Itulah yang dinamakan kekuatan lobii Yahudi di Amerika.
Berkat perkembangan Amerika yang sekarang menjadi negara terkuat dan terkaya di dunia, malah sesudah Perang Dunia II menjadii pemimpin dunia, atau dunia Barat, maka dalam negara yang penduduknya berjumlah 200 juta, 12 juta orang Yahudi itu menguasai bidang-bidang kehidupan yang penting. Media massa, persuratkabaran, majalah, radio, TV, biro pers didominir oleh orang-orang Yahudi. Dunia uang, bank-bank sebagian besar di tangan orang keturunan Yahudi.
Dalam dunia kebudayaan dan seni, dan perdagangan besar, orang Yahudi kuat kedudukannya. Meskipun jumlahnya kecil, 12 juta dari 200 juta, tetapi dengan melalui proses demokrasi, keputusan-keputusan politik, dari badan-badan eksekutif dan legislatif, mencapai keputusan yang terarah kepada kepentingan Israel.”
Walhasil, dengan kondisi Palestina yang kini menyedihkan diporakporandakan Israel, kehadiran buku ini sangat penting. Jumlah korban akibat keganasan Israel kini mencapai lebih dari 34.000 orang. Mahasiswa-mahasiswa di kampus Amerika dan Eropa bergolak mendukung Palestina.
Rencana buku ini akan diluncurkan di Jakarta pada 15 Mei 2024. Semoga kehadiran buku ini semakin menguatkan semangat bangsa Indonesia untuk membela Palestina. Wallahu azizun hakim.
Sumber: Degup Cita Para Pendiri Bangsa untuk Palestina, Hadi Nur Ramadhan dan Pizaro Gozali Idrus, Pusat Dokumentasi Islam Indonesia Tamaddun bekerjasama dengan Nusantara Palestina Center dan Rumah Literasi Publishing, 2023.