Oleh : M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Tuduhan bahwa Fatwa MUI soal larangan salam lintas agama mengancam Pancasila sungguh keterlaluan. Fatwa haram salam lintas agama tersebut adalah panggilan dan tanggungjawab MUI sebagai wadah perjuangan umat Islam untuk menyelamatkan akidah umat. Sebaliknya BPIP sang penuduh justru sedang menunjukkan dirinya sebagai perusak Pancasila.
Menyatakan bahwa Fatwa MUI tidak menghargai kemajemukan jelas ngawur, apalagi mengaitkan dengan kesejarahan bangsa. Umat Islam dan MUI sejak awal sangat menjaga kemajemukan serta memelopori toleransi dalam arti saling menghargai perbedaan dalam beragama. Tidak memaksakan dan juga tidak juga mencampuradukkan. Agama akan kacau jika dicampuradukkan. Sinkretisme namanya.
Sekurangnya ada lima kejahilan (kebodohan) BPIP dalam menanggapi Fatwa MUI, yaitu:
Pertama, BPIP tidak paham bahwa fatwa ini berlaku bagi umat Islam, tidak berkaitan dengan umat lain, artinya jika umat lain punya pandangan berbeda maka hal itu adalah haknya. Justru umat lain mesti toleran terhadap apa yang dipahami oleh umat Islam.
Kedua, salam bagi umat Islam itu ibadah dengan kategori “ghoiru mahdhoh” tentu tidak sama dengan shalat, puasa atau haji. Rasulullah Saw mengajarkan bagaimana salam kepada sesama muslim dan kepada non muslim. Salam adalah syariah. Mengucapkan dan menjawab salam bagi muslim itu berpahala.
Ketiga, membenturkan dengan sejarah bangsa soal salam adalah bukti BPIP ternyata memang buta akan sejarah. Mana ada dalam sejarah tokoh bangsa berpidato menyatukan salam semua agama. Tidak Soekarno tidak juga Soeharto. Apalagi tokoh-tokoh sebelum kemerdekaan.
Keempat, menganggap Fatwa MUI mengancam Pancasila sangatlah tidak berdasar. Sila mana yang diancam? Sila Ketuhanan Yang Maha Esa justru melindungi pemahaman masing-masing agama. Umat Islam sangat konsisten dengan ke-Esa-an Tuhan. Ironi sekali, ternyata BPIP yang justru tidak mengerti Pancasila.
Kelima, Fatwa MUI tidak menyerang apa yang disebut oleh BPIP sebagai “kearifan lokal tradisi ratusan tahun nenek moyang kita”. Lho, kapan nenek moyang “ratusan tahun” itu mengucapkan salam dengan menyatukan Assalamu’alaikum dengan Om Swastiastu atau Namo Budaya? Dasar BPIP itu badut dan pembohong.
MUI sudah benar dan patut didukung oleh umat Islam. Pikiran sekuler tengah melanda kalangan “tukang stempel rezim”. Mereka sesungguhnya benci Islam dan memusuhi umat Islam. Bagaimana bisa seorang Kepala BPIP menyatakan bahwa musuh besar Pancasila adalah Agama. Betapa naif dan dangkal berfikir BPIP.
BPIP tidak berguna, tidak produktif dan makan gaji buta. Memboroskan uang rakyat. Pancasila bukannya aman di ruang BPIP malah dirusak dan diinjak-injak. Inilah ironi bangsa terbesar dalam sejarah. BPIP adalah sampah. Karenanya solusi dan pikiran sehat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah lawan dan bubarkan BPIP.
BPIP merupakan musuh agama, musuh umat Islam dan musuh Pancasila. BPIP adalah Badan Perusak Ideologi Pancasila. Pagar yang menjadi pemakan tanaman. Dulu tahun 1964 Ketua CC PKI DN Aidit juga membuat buku berjudul “Aidit Membela Pantjasila”. Pancasila dijadikan slogan dan tipu-tipu PKI.
Ayo dukung Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah perjuangan umat Islam. Fatwa MUI itu untuk menyelamatkan umat. (Bandung, 12 Juni 2024/TAL)