Oleh : M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Iduladha adalah saatnya menyembelih hewan apakah unta, sapi atau kambing. Penyembelihan merupakan wujud dari kepatuhan kepada Allah untuk mencapai derajat takwa. Waktu penyembelihan dilakukan saat itu atau hari-hari tasyrik. Hampir setiap Masjid menyelenggarakan penyembelihan hewan kurban.
Banyak khatib shalat Iduladha mengaitkan dengan sifat-sifat hewan pada manusia. Hal itu tentu sah-sah saja walaupun hakikat kurban adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tafsir yang dikaitkan dengan penyembelihan sifat hewani dinilai kontekstual.
Menarik kasus Khatib Ketua KPU di Masjid Baiturrahman Semarang. Salah seorang jamaahnya adalah Presiden. Nampaknya pertemuan Jokowi dengan Asy’ari bukan kebetulan tetapi direncanakan. Tentu isi khotbah bukan menyangkut Pilpres atau Pilkada yang sebentar lagi akan diadakan.
Disebut kasus karena di samping ‘kongkalikong’ berkelanjutan hingga shalat Iduladha, juga baik Ketua KPU maupun Presiden sedang disorot rakyat soal kecurangan Pemilu. Presiden cawe-cawe sedangkan Ketua KPU butut gawe. Di sana ada juga ada urusan “wewe gombel” atau “kalong wewe”.
Isi khotbah Kiai KPU di antaranya menyinggung perlunya menyembelih sifat-sifat hewan yang sering melekat pada manusia. Publik mungkin membaca sifat-sifat hewan yang “rakus, mementingkan diri, sombong, tamak dan ambisi” itu justru menunjuk pada diri khatib dan jamaah istimewa itu sendiri. Adapun tudingan “menyebar informasi tak benar” rasanya tidak ada pada sifat hewan.
Presiden bersama Menteri “IKN” PUPR berakrab spiritual dengan Ketua KPU. Unjuk diri melalui ibadah shalat. Dengan khatib Ketua KPU ini menjadi contoh praktik “politik identitas” yang biasa dikecam Pemerintah. Mencampuradukkan politik dengan agama, katanya.
Kiai KPU bagusnya tidak menjadi Khatib, masih banyak kiai di Semarang yang lebih pantas untuk menasihati jamaah yang bernama Jokowi. Maksud hati ingin menunjukkan diri paham akan moral dan agama tetapi justru persoalan moral dan agama itu yang sedang mendera dirinya. Inilah yang namanya tuntunan berubah menjadi tontonan. Tontonan dari pembacaan naskah bernarasi bunuh diri.
Khotib membacakan banyak ayat, namun Allah telah menunjukkan ayat kebesaran-Nya. Presiden dan Ketua KPU yang bersekongkol dalam urusan Pilpres kini bersama dalam ritual di Semarang. Satu jadi khotib lainnya jamaah. khotib mungkin sedang bercitra bersih, namun tanpa disadari ia sedang mencemari khatib lain.
Dalam Al-Qur’an ada manusia yang diumpamakan hewan yaitu mereka yang ‘ndableg’ atau masa bodoh. Mereka itu punya hati tapi tidak punya rasa, punya mata tapi buta dan punya telinga yang tidak mendengar “ulaa-ika kal an’aam, bal hum adhol”–mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih rendah. Lalu, “ulaa-ika humul ghoofiluun”–merekalah orang-orang yang lalai.
Tempat mereka adalah Jahannam dan akan berhimpun bersama jin. “Walaqod dzaro’naa li Jahannama katsiiron minal Jinni wal Insi.” (QS. Al A’raf: 179). (Bandung, 18 Juni 2024/RAF)