Oleh : M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Tentu aneh masa Khatib harus diaudit, forensik lagi. Namun untuk kasus ini perlu sebagai konsekuensi dari kontroversi Ketua KPU yang menjadi Khatib Iduladha. Menjadi Khatib bersama jamaah yang antara lain bernama Jokowi dan Basuki. Bisa-bisanya Ketua KPU bersama orang yang berkepentingan dalam Pilpres kemarin dan Pilkada esok. Kepentingan Gibran dan Kaesang putra Jokowi.
Sorotan kepada sang Khatib yang berkhotbah tentang penyembelihan sifat hewan yang melekat pada insan ini tentu masih relevan karena penyembelihan hewan qurban belum berakhir waktunya. Sementara konteks ritual haji adalah hari pelemparan jumroh baik ula, wustho maupun aqabah. Jadi jamaah haji masih dalam kegiatan melempar jumroh. Simbol dari gerakan umat melawan syetan.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari belum clear dari tuduhan bermain curang untuk menyukseskan dinasti Jokowi. Ditambah kasus pribadi yang terkait aspek moral. Semua ini masih menjadi perbincangan publik. Sebentar lagi ia akan menjadi hakim Pilkada Serentak yang di dalamnya terselip anak, mantu dan kerabat Jokowi. Apakah shalat Iduladha bersama di Baiturrahman Semarang itu bagian dari kerja ala mafia berbungkus agama? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka perlu audit forensik.
Di samping itu kepentingan audit juga berkenaan dengan:
Pertama, siapa yang meminta agar Khatib Iedul Adha di Masjid Baiturrahman adalah Ketua KPU? Adakah agenda lama atau dadakan, jika mendadak siapa yang digantikan sebagai Khatib? Bagaimana peran Istana dalam proses penyingkiran?
Kedua, jika tugas Khatib merupakan permintaan jamaah atau pengurus Masjid apa reputasi Ketua KPU sebagai Khatib memadai, pahamkah akan risiko mengundang Ketua KPU sebagai Khatib? Secara syar’i Khatib memenuhi syarat atau tidak atau ada rekayasa persyaratan seperti halnya otak-atik persyaratan ananda Gibran?
Ketiga, masalah pembiayaan adakah kehadiran Khotib Komisioner itu dibiayai jamaah/masjid atau Khatib yang bayar atau berkorban? Semoga tidak ada gratifikasi untuk tampilan Ketua KPU bersama Presiden, Menteri dan pejabat daerah lainnya itu. Bila ada maka itu masuk kategori korupsi dan penodaan agama.
Perlunya audit dikarenakan pengalaman buruk Ketua KPU yang mahir dalam mengacaukan penghitungan suara serta permainan sistem rekapitulasi sebagaimana terungkap dalam film dokumenter “Dirty Vote” dan “Dirty Election”. Ketua KPU bukan profil bagus dan jujur sebagai seorang pemimpin. Berkali-kali ia kena sanksi. Wajah Khatib Iduladha di Masjid Baiturrahman itu penuh dengan goresan hitam.
Audit forensik Khatib menyangkut pemeriksaan atau investigasi keuangan atau transaksi lain yang berujung pada kerugian jamaah yang tidak sepatutnya mendapatkan Khatib yang ternyata lebih bermisi politik daripada agama. Ada KPU dan Presiden di depan Pilkada. Etika dan moral yang dilabrak. Hak jamaah sudah pasti dibungkam.
Audit forensik penting pula untuk mengetahui siapa pembuat naskah khotbah yang isinya ternyata menjadi pemukul bagi Khatib dan Presiden sendiri. Adakah kebodohan Khatib atau sabotase?
Ketua KPU sebagai Khatib menandai penunggangan politik atas kegiatan keagamaan. Besok mungkin Kepala BPIP, Kepala BIN atau mungkin juga Menteri Pemberdayaan Perempuan. Kepalsuan dan penipuan yang ditampilkan di depan jamaah.
Sudah waktunya bukan hanya Khatib “swasta” yang dicurigai dan dituduh radikal atau radikul tetapi juga Khatib “plat merah” diperiksa dan dilakukan audit forensik atas kemungkinan “bertransaksi ayat dengan harga yang murah”.
Audit mulai dari Khatib Ketua KPU yang dinilai telah menghebohkan dan mencoreng kesucian agama. Ada indikasi kolusi Asy’ari dengan Jokowi yang disaksikan oleh Basuki. (Bandung, 19 Juni 2024/RAF)