Oleh : Dairy Sudarman, Pemerhati politik dan kebangsaan.
Fakta faktualisasi semua aspek pengaturan pengelolaan digitalisasi di Indonesia yang ada sekarang —harus diakui, hanya masih terbatas setingkat Peraturan Menteri (Permen).
Sudah ada sekitar 18 Permen —bisa jadi jumlahnya akan terus bertambah. Tetapi, tetap saja akan statis, tanpa adanya progress dinamisasi terhadap upaya solusi holistik.
Itu pun dalam implementasi program masih bersifat parsial alias terpisah-pisah tergantung kepentingan dan kebutuhan kementerian masing-masing.
Maka, ketika ada permasalahan, jangan terlalu berharap banyak adanya upaya penanggulangan dan solusi menyeluruh.
Malah, menjadi lemah tak berdaya, tak ada kekuatan dan penguatan. Seolah luka yang semakin bonyok, semakin terinfeksi tanpa adanya tindakan kuratifnya.
Maka, satu-satunya yang mengemban pertanggungjawaban, adalah kementerian itu sendiri-sendiri secara berkelarutan tanpa hasil.
Seharusnya, Kemenkominfo sebagai kementerian yang paling terdekat terkait teknis teknologi digitalisasi, bangun dan bangkit mengambil inisiasi setelah sekian lama terlelap dari tidurnya —paling tidak terlebih dahulu mengajukan adanya Perpres yang mengatur digitalisasi.
Sehingga, dalam pelaksanaannya memiliki kekuatan payung hukum yang lebih tinggi, seluruhnya di bawah langsung pertanggungjawaban Presiden.
Pun yang bersentuhan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi lagi UU —meskipun sudah adanya UU Cipta Kerja, UU Penyiaran dan UU ITE, dikarenakan dalam praktis implementasinya sama halnya masih bersifat umum dan sektoral juga, tetap tidak akan mampu menjadi sarana dan solusi bersifat komprehensif, akuntabilitas dan trustment yang melekat secara hukum yuridis bilamana diminta oleh publik bagaimana solusi penanggulangan menghadapi permasalahan digitalisasi.
Yang keniscayaan dan kenyataannya di perikehidupan sosial kemasyarakatan sudah semakin berefek buruk dan parah, berakibat merusak, sangat kompleks, multidimensional dan global.
Yang jelas, sepanjang masih ada niat, kemauan dan keseriusan tidak ada kata terlambat —meskipun hingga kini belum adanya Perpres yang mengaturnya.
Hal mendesak yang sangat diperlukan sekarang, adalah kehadiran UU khusus digitalisasi tersendiri yang seharusnya sesegera mungkin di- endoorsment dan digodok oleh lembaga legislasi, DPR. Sesegera pula membuat RUU-nya.
Sehingga, publik semakin menjadi berkesadaran, membuat ramai banyak tuntutan-gugatan legal standing dan menciptakan political will akan perlunya kebutuhan dan kepentingan kehadiran hanya satu UU Digitalisasi yang bersifat holistik, berfungsionalisasi dan berkinerja secara terintegritas dan tersinergi serta terintegrasi itu.
Lihatlah fakta kemirisannya dikarenakan ketiadaan UU Digitalisasi, Judi Online telah berdampak sangat buruk dan merusak.
Tidak hanya karena menimbulkan efek ketergantungan, kebebasannya yang tiada batas telah merambah keseluruhan tingkatan usia. Tanpa pandang bulu muda maupun tua.
Bahkan, di seluruh strata profesi —termasuk baru-baru ini menyatroni kepolisian seorang Polwan membunuh suaminya yang juga seorang polisi akibat kecanduan judi online, jelas telah menampar muka dan mempermalukan lembaga Polri yang justru seharusnya melindungi dan mengayomi rakyat melawan akibat buruk judi online ini.
Demikian pula dengan pinjaman online, digitalisasinya yang memudahkan aspek penyebaran dan penggunaannya, bagi pinjol legal, yang diizinkan pemerintah via OJK, side effect keberadaannya justru berimbas seperti tengah memupuk persemaian bagi suburnya pertumbuhan pinjol-pinjol ilegal yang menyertainya.
Dan jika sudah begini bagi OJK memberantasnya sudah sangat sulit seperti lebih dari mengurai benang kusut.
Ujung-ujungnya, kemudian masyarakatlah yang akan menjadi korban kerugian sepenuhnya, plus tertindas dan terintimidasi tanpa adanya upaya advokasi dan atau arbitrase hukum yang dapat melawan dan melindunginya.
Pun terkait modus dan kasus kejahatan online, dikarenakan sistem digitalisasi mereka yang menciptakan, termasuk kecanggihan teknologi recovery atas kejahatan mereka. Sudah dipastikan tak akan dapat diantisipasi pula melalui sistem cyber criminal penanggulangan yang seringkali sangat terbatas kemampuannya hingga tak mampu melacak identitas dan keberadaan mereka.
Maka, sesungguhnya sudah tak ada validasi data informasi komprehensif tentang perhitungan berapa besar skala ekonomi dan berapa jumlah personal yang menjadi korban judi, pinjaman dan kejahatan online di Indonesia tersebut.
Probabilitasnya, bisa jadi lebih dari ribuan trilyun dan puluhan juta orang ketimbang data yang sudah tersiar di media yang sesungguhnya jumlahnya juga sangat besar. Sehingga, sudah layaklah mengundang kedaruratan dan keamanan negara sesungguhnya.
Yang jelas, dikarenakan para lenders-nya pun sesungguhnya berasal dari luar negeri alias asing —sedangkan di Indonesia hanya sebagai operator, hal ini juga dapat dianggap sebagai kasus “pelarian” dalam bentuknya modus penggelapan, penipuan, pencurian dan perampokan keuangan rakyat dan masyarakat di dalam negeri ke luar negeri.
Sehingga, semakin jelas bahwa permasalahan judi, pinjaman dan kejahatan on line itu sudah sama halnya tidak saja dengan kejahatan kemanusiaan (termasuk rusaknya moralitas dan norma-norma religiusitas seseorang) yang akan mampu merusak dan menghancurkan keadaban dan peradaban suatu bangsa. Mereka pun ternyata menerabas, menginvasi dan mengintervensi menginjak-injak suatu kedaulatan bangsa dan negara.
Maka, permasalahan digitalisasi hendaknya sudah tidak boleh dianggap sebelah mata dan sepele.
Digitalisasi dengan perkembangan teknologinya yang terus berkembang pesat sudah pasti akan selaras dengan perkembangan penyalahgunaannya.
Mereka telah menjadi momok dan hantu kegelapan baru yang akan mengancam keajegan tata norma hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya perikehidupan kemanusiaan dan perikemanusiaan serta kemasyarakatan tidak saja di Indonesia bahkan dunia mondial dan global.
Ironisnya, ketika digelar acara “Debat Presiden” di Pilpres 2024 lalu yang memenangkan Pra-Gib, kedua pasangan ini tak menyentuh sama sekali permasalahan efek buruk dan merusak akibat kejahatan digitalisasi ini.
Sama halnya dengan Jokowi yang tak memandang permasalahan kejahatan digitalisasi ini sebagai masalah urgent dan krusial.
Pun Ganjar-Mahfud MD, hanya mempropagandakan fasilitas core infrastrukturnya berupa fasilitas memperluas internetnya saja.
Dan ini akan lebih mengkuatirkan hanya akan semakin memperluas kasus dan modus judi, pinjaman dan kejahatan on line yang semakin merambah tidak saja di kota-kota bahkan hingga di seluruh pelosok desa-desa di tanah air.
Hanya pasangan Anies-Muhaimin-lah yang secara konkrit dan teknis bagaimana menjelaskan bahaya permasalahan dan penanggulangan efek kejahatan digitalisasi ini. Namun, sayangnya kedua pasangan ini pun terkalahkan.
Lantas, siapa kemudian yang akan memberi atensi khusus terhadap permasalahan digitalisasi ini dengan membuat UU Digitalisasi yang diharapkan akan dapat memberantas kejahatannya yang sungguh sudah sangat mengerikan bagi keadaban dan peradaban kemanusiaan ini?
Bahkan, boleh disebut sebagai suatu upaya kejahatan “ invasi dan intervensi tak kentara” yang akan sangat membahayakan bagi kedaulatan bangsa dan negara ini? Wallahua’lam Bishawab. (Mustikasari Bekasi, 24 Juni 2024/RAF)