Oleh : M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Saat ramai kasus pembunuhan Brigadir J atau Yoshua Hutabarat oleh “Sambo and his gang” maka muncul bagan “Konsorsium 303” yang merujuk pada Pasal 303 KUHP terkait pidana perjudian. Satgassus bentukan mantan Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian itu berakhir formal di tangan Kadiv Propam Mabes Polri Irjen Pol Ferdy Sambo.
Satgasus menjadi Satuan Tugas “Mafia” Polri yang berlingkup narkoba, judi online, terorisme, korupsi, TPPU, tambang ilegal serta ruang hitam dan gelap lainnya. Satgassus pun terlibat dalam kasus pembantaian Km 50.
Aneh memang jika penegak hukum justru menjadi pelaku dari berbagai kegiatan yang dikualifikasi sebagai melanggar hukum. Lucunya hal itu direstui diam-diam oleh atasan dan pejabat teratas. Konon dalam rangka “fund raising” institusi dan pribadi. Proyek melindungi pelaku kriminal demi duit.
Kasus Sambo membongkar borok kerja mafia ini. Fredy Sambo banyak masuk duit sekaligus pembagi duit. Judi online sudah diramaikan sebagai salah satu sumber dan kegiatan yang dilindungi.
Ketika judi online dilaporkan oleh Ketua PPATK bahwa telah melibatkan 1000 lebih anggota DPR dan DPRD, maka publik mulai menyorot betapa bahayanya wabah judi online ini. Ratusan juta hingga 25 milyar seorang anggota dewan menyetor. Transaksi hingga ratusan miliar.
Sorotan publik diarahkan pada kerja “Konsorsium 303” yang formal telah dibubarkan namun hantunya masih bergentayangan bahkan lebih menyeramkan. Kata PKI dulu, gerakan “tanpa bentuk”.
Seramnya pasukan 303 ini membuat Satgas Pemberantasan yang diketuai Menko Polhukam Hadi Tjahjanto, mantan Panglima TNI, gentar dan gemetar. Ia menyatakan bahwa kerja Satgas tidak akan menyentuh bandar.
Kini anggota DPR dan DPRD mungkin sedang berlomba mengajukan proposal perlindungan untuk operasi rahasia pasukan 303. Adakah “fund raising” memercik ke Tito Karnavian sang pendiri, Kapolri atau puncak rezim “Konsorsium 303” Jokowi?
Jika benar ada niat untuk memberantas judi online, maka langkah strategisnya antara lain:
Pertama, buka nama anggota DPR dan DPRD ke publik karena mereka bukan hanya melanggar etik tetapi juga kriminal. Pelaku adalah pejabat publik yang dapat menularkan kejahatannya.
Kedua, PPATK memenuhi tuntutan DPR untuk membuka jumlah dan nama pejabat eksekutif, yudikatif dan aparat yang juga melakukan judi online. Saatnya PPATK melakukan langkah “heroik” demi kebaikan rakyat, bangsa dan negara Indonesia.
Ketiga, bubarkan Satgas “banci” yang bekerja hanya pura-pura tapi misi terselubungnya adalah untuk meredam keriuhan. Persis seperti Satgas pajak TPPU bentukan Mahfud MD yang sukses membungkam kasus pencurian uang negara di Kemenkeu 349 Triliun.
Keempat, arahkan kembali pengusutan kepada komandan terakhir Konsorsium 303 yaitu Sambo. Adakah ia masih mampu menjadi pengendali dari bui? Paksa buka “buku hitam” simpanannya serta data siapa pejabat tinggi yang sering bersilaturami “offline” dengan “sang kaisar” ini.
Kelima, Jokowi harus pidato serius menyatakan perang melawan judi online, perintahkan semua aparat bergerak, tangkap bandar. Proteksi politik itu penting untuk konsistensi hukum. Jika tidak berani, berarti Jokowi terlibat bahkan potensial menjadi pelindung dari kejahatan judi online.
Mengingat Polri menjadi andalan tetapi juga kerawanan, maka sebaiknya Kepolisian Indonesia harus melakukan evaluasi menyeluruh bahkan revolusi diri untuk meciptakan Polisi baru yang lebih bersih dan dipercaya oleh masyarakat.
Sebagai aparat penegak hukum keberadaannya tentu selalu diharapkan. Suara miring tentang kepolisian mesti dijawab dengan bukti evaluasi, reformasi bahkan revolusi institusi. (Babdung, 2 Juli 2024/RAF)