Oleh : Dairy Sudarman, Pemerhati politik dan kebangsaan
Semakin mendekati kekuasaan Jokowi berakhir, negara semakin terasa sengkarut alias acakadul, tak karu-karuan, dan amburadul.
Dan muara dari semua kesemrawutan ini hanya akan berdampak satu-satunya: semakin mempersulit dan menyusahkan kepada rakyat saja.
Legacy Jokowi menjelang keberakhirannya memang buruk. Seburuk acap kali dia suka berbohong dan berbohong lagi.
Sehingga, selalu mengkamuflase apa yang disebut sebagai “kemajuan” dan “keberhasilan” negara ini menyambungkannya hanya dengan kebohongan-kebohongan baru pula.
Lantas hebatnya, entahlah mengapa seorang biasa seperti Jokowi —tak sehebat sebagaimana diperkirakan—selalu mampu mengecohnya dari pandangan mata publik dan ke lembaga ekonomi atau negara lainnya.
Hasilnya, IMF dan World Bank pun tak pernah bisa berhenti menolak dengan urusan penambahan hutang negara kita. Padahal, bila semua pihak debitur dihitung sudah berjumlah 20.000 triliun lebih. Mengerikan!
Padahal, fakta kenyataannya dirasakan di tengah-tengah semakin mahalnya biaya pendidikan, pemunculan potongan Tapera, mengubah adanya tarif standar BPJS semakin mahal menjadi tunggal Rp150.000,- per bulan, harga-harga bahan pokok yang melonjak naik dikarenakan inflasi yang takkan terelakkan dikarenakan rupiah tak kompetitif terus melemah, tiba-tiba dikejutkan oleh betapa merajainya judi online (judol) merangsek dan meringsek. Telah membuat perekonomian rakyat kita bonyok dan boncos.
Sampai-sampai wakil rakyatnya di DPR dan DPRD di pelbagai daerah berjumlah sekitar 1000 orang betapa sangat memalukan terdeteksi oleh PPATK menggeluti judon. Sirkulasi transaksinya pun begitu menggila mencapai ratusan miliar rupiah.
Dari kasus ini salah satunya bisa dideteksi ternyata benar judon itu betapa telah sangat menguasai dan menguras perekonomian negeri ini dikarenakan skala ekonominya dalam satu triwulan saja sirkulasi transaksinya mencapai 600 triliun.
Itu berarti dalam satu tahun 2400 triliun nyaris menyamai alokasi APBN untuk membiayai seluruh kepentingan dan kebutuhan “rumah tangga” negara ini agar tidak goyah dan tetap stabil:
Suatu “harga” yang harus dibayar sangat mahal agar pemerintahannya tetap dimosipercayai oleh rakyatnya.
Tetapi apakah masih patut dimosipercayai? Ketika hanya berselang beberapa minggu sebelumnya setelah dipermalukannya lembaga legislasi yang mulia dan terhormat oleh anggota sendiri.
Terjadi peristiwa seorang suami dibunuh dengan dibakar oleh istrinya, keduanya berprofesi sesama polisi. Ternyata, penyebabnya dipicu oleh sang suami yang kerap kali teracuni kecanduan bermain judol.
Jelas, ini dampaknya sudah sangat parah tidak saja sangat memperdayakan lembaga kepolisian selayaknya sebagai garda paling terdepan melindungi rakyat dari judon ini.
Sebaliknya, bahkan telah merusak tatanan ekonomi keluarga dan rumah tangga anggotanya. Sekaligus, bagi setiap warga negara bangsa ini yang boleh jadi jumlahnya berpuluhan juta telah terjerumus kecanduan judon itu.
Lantas, harus diapakan jika rumah tangga negara juga telah dirusak oleh judon ini?
Terlebih, transaksi uang judon ini bisa menimbulkan kepanikan memicu seperti “rush”. Niscaya akan mengguncang kedaulatan perekonomian negara ini pula.
Sirkulasi dananya berlarian dan terbang ke luar negeri. Oleh karena lenders bandar judinya mayoritas berada di nyaris 20 negara.
Termasuk, pinjol legal-ilegal dan tindak kriminal siber lainnya yang sangat sulit terlacak, semakin mempermulus dan memperlancar pelarian dana kita ke luar negeri.
Sementara, kita masih belum memiliki UU Digitalisasi yang mampu memproteksinya apalagi mencegahnya secara yuridiksi hukum. Baik melalui upaya advokasi maupun arbitrase-nya.
Ironisnya, kondisi ini pun disertai semakin bertambah banyak dana berlarian pula keluar negeri diakibatkan kebiasaan buruk kebijakan sistem perdagangan negara dengan kegemarannya mengimpor.
Termasuk, tak terbendungnya adanya serbuan luar biasa barang-barang China membanjiri kita seringkali sebagai hasil tindak kejahatan smuggling. Tak lepas dari permainan persekongkolan dan korupsi oknum aparatur negara pula.
Sedangkan, kemampuan perdagangan kita hanya mengekspor bahan-bahan baku dan mentah yang tak banyak memiliki nilai tambah, seperti bahan-bahan pertambangan dan minerba yang seharusnya dihilirisasi terlebih dahulu.
Sehingga, mampu meraup beratus-ratus kali peningkatan keuntungan dari harga jual ekspornya.
Faktualisasinya eksplorasi bahan-bahan tambang itu tidak saja banyak yang ilegal, banyak dikorupsi pula oleh oknum pejabat. Lebih parahnya lagi malah banyak dikuasai pemain asing.
Yang difasilitasi oleh pejabat setingkat menteri di kabinet dan bukan suatu kebetulan para menteri itu ternyata pebisnis pengusaha pertambangan pula.
Maka, uang beredar, likuiditas moneter dan keuangan di dalam negeri kita nyaris habis karena dibawa kabur dan hilang melenyap ke luar negeri dengan jumlah sangat luar biasa besar setiap bulannya.
Ini sungguh telah dan akan berdampak sangat mengerikan. Semakin memperdalam jurang disparitas perekonomian di dalam negeri antara yang kaya akan semakin kaya dengan yang miskin semakin akan termiskinkan dan dimiskinkan; antara korporasi yang besar dengan UMKM, koperasi, pedagang kecil dan kaki lima yang hari-hari ini tengah satu per satu berguguran dan sekarat dikarenakan tertimpa beban berat berkurangnya daya beli rakyat, yang semakin melemah dan melesu, sudah sangat sepi, bahkan mati suri.
Jadi teringat di masa Orde Baru lalu. Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun dan telah menjadi penguasa represif dan otoriter banyak menutup kran kepentingan demokrasi:
Namun, seperti yang dijelaskan oleh ekonom Arthur William tentang teori trickel down effect, ternyata implementasi praksis pertumbuhan ekonominya terbuktikan masih mampu meneteskan kesejahteraan ke rakyatnya: masih mendapatkan biaya pendidikan gratis; menjamin biaya kesehatan lebih murah; dan ini yang paling membahagiakan rakyat selalu ada ketersediaan pangan murah dikarenakan keberhasilan dari upaya swasembada. Terutama, di kesembilan kebutuhan bahan pokoknya.
Sedangkan, di era Jokowi yang hanya satu dekade banyak dianggap telah berhasil membangun infrastruktur.
Yang terjadi justru sebaliknya, hanya menimbulkan efek menetes tersisa. Itu pun berasal dari sampah ekonomi —The Rubbish Down Effect.
Kemudian rakyat dibiarkan menelannya, sekalipun itu mengakibatkan rasa anyir di mulut dan mual di perutnya.
Lantas, pertanyaannya apalagi yang bisa diharapkan oleh negeri ini ketika terjadi transisi demokrasi —dengan Pilpres 2024 yang baru diselenggarakan lalu—hanya menghasilkan pemimpin baru di pemerintahan negeri ini berasal dari hasil kecurangan TSM dan inskontitusional alias cacat hukum?
Program keberlanjutannya pun hanya akan menguntungkan penyokong utamanya para oligarki konglomerasi beserta struktur mafia-mafiosonya?
Sekaligus, sikap dan perilaku rezim penguasa otoriter selama ini semata-mata hanya akan menyemaikan semakin tumbuh suburnya KKN di seluruh lini infrastruktur pemerintahannya, seperti: DPR, MA, MK, Kabinet, Polri, TNI dsb yang sudah tengah sangat marak dan menyeruak di mana-mana saat ini? Tetap saja telah semakin dan semakin mengabaikan penderitaan rakyatnya?
Maka, jawaban atas dua pertanyaan itu bagi program keberlanjutan Prabowo-Gibran yang disokong dan didukung Jokowi sedemikian:
Itu berarti akan menyisakan bahwa rakyat itu tak lebih dan tak kurang hanya sebagai “pemulung” negara saja, bukan? Wallahu a’lam Bisshawab (Mustikasari-Bekasi, 3 Juli 2024/RAF)