Oleh : M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Berita mengejutkan dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yaitu pemecatan Dekan Fakultas Kedokteran Prof. Dr. Budi Santoso, dr. Sp.OG oleh Rektor UNAIR tanpa alasan yang jelas.
Faktanya adalah bahwa Prof Budi Santoso gigih menolak kebijakan Pemerintah untuk mendatangkan dokter asing ke Indonesia. Menurutnya, 92 Fakultas Kedokteran di Indonesia mampu menghasilkan dokter-dokter berkualitas yang tidak kalah dengan dokter asing. Sebagaimana diketahui Pemerintah terus mendengungkan kebijakan untuk “mengimpor” dokter asing.
Atas Keputusan Pimpinan UNAIR tersebut para Dosen dan Civitas Academica di lingkungan FK UNAIR bertekad untuk melakukan mogok sebagai bentuk perlawanan. Dugaan pemecatan adalah politis, karena pihak Civitas Academica tidak melihat Prof Budi Santoso melakukan pelanggaran apapun. Menentang kebijakan Pemerintah yang salah semestinya dihormati. Menkes Budi Gunadi Sadikin cuci tangan mengelak ikut intervensi atas kebijakan kampus.
Fenomena yang terjadi pada Perguruan Tinggi Negeri, dan juga PT swasta, adalah dominannya Pemerintah mengintervensi kebijakan kampus. Para Rektor menjadi kepanjangan tangan kepentingan Istana. Dosen dan mahasiswa menjadi sulit untuk bebas berpendapat dan bergerak. Berbagai ancaman bertaburan. Rezim Jokowi menguasai dan menjajah Perguruan Tinggi secara sistematis.
Slogan “kampus merdeka” memiliki makna “merdeka jika patuh”. Jika tidak, maka predikat radikal, pembangkang, atau tidak tahu diri dapat disematkan. Berkonsekuensi pada anggaran atau jabatan. Memang di samping dunia usaha, hukum, budaya dan agama, maka dunia akademik termasuk yang dihancurkan oleh Jokowi.
Kebebasan akademik harus digaungkan kembali. Kemandirian kampus harus dipulihkan. Kepemimpinan masa depan bangsa yang dihasilkan oleh Perguruan Tinggi dipastikan tidak cerah jika kondisi seperti saat ini dibiarkan. Apa arti Tridharma Perguruan Tinggi jika semua dharma tergerus oleh kepentingan pragmatis. Kampus dengan pimpinan para penjilat adalah kebodohan dan pengkhianatan akademik yang nyata.
Rezim Jokowi telah menciptakan iklim kampus yang gelap. Memiliki Menteri Pendidikan dan Menteri Kesehatan yang tidak kompeten. Nadiem Makarim tidak memiliki “track record” bidang pendidikan, sementara Budi Gunadi bukan seorang dokter. Sungguh Jokowi telah menistakan profesi. Pantas jika dirinya dipertanyakan keaslian ijazah nya. Jika benar ijazah Jokowi palsu maka sangat pas jika para Menteri nya pun berkategori “palsu”.
Kampus harus berontak melawan penistaan akademik oleh kekuasaan politik. Merdekakan dari segala bentuk penjajahan. Rektor, Dekan, Dosen dan Civitas Academica lainnya adalah para pejuang kemandirian dan kemajuan bangsa. Bukan budak-budak yang selalu takut untuk berpendapat dan berbuat. Perubahan ditentukan oleh mental bebas para akademisi. Rakyat berani karena akademisi berani. Akademisi pengecut membuat rakyat semakin kalut dan takut.
Dekan Fakultas Kedokteran UNAIR telah berbuat untuk kebaikan bangsanya. Ia dipecat sebagai risiko. Bagi dirinya tentu tidak masalah, akan tetapi bagi para akademisi lain ini menjadi persoalan yang serius. Solidaritas harus dibangun, bukan hanya untuk kepentingan UNAIR tetapi ini demi kepentingan seluruh kampus di Indonesia. Kooptasi kekuasaan politik harus segera diakhiri.
Kampus harus berontak. Tidak ada kata menyerah pada keadaan. Para mahasiswa jangan dididik untuk memiliki mental budak. Mereka adalah masa depan bangsa. Para dosen dan akademisi mesti menjadi teladan dari sikap berani, cerdas dan gigih dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan.
“The history of liberty is a history of resistance” (Sejarah kebebasan adalah sejarah tentang perlawanan)–Woodrow Wilson.
Para pejuang kampus tidak perlu menunggu-nunggu yang penting adalah mulai untuk berontak. Saat ini adalah momennya.
“Dont wait for the perfect moment, take the moment and make it perfect”–Jangan tunggu momen sempurna, ambil momen itu dan jadikanlah sempurna! (Bandung, 6 Juli 2024/RAF)