JAKARTA (DesentraLNEWS) – Indonesia Institute for Social Development (IISD) mengapresiasi keluarnya Peraturan Pemerintah RI No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Kesehatan.
Direktur Program Indonesia Institute for Social Development (IISD) Ahmad Fanani, menyambut baik pengesahan aturan pelaksana ini sebagai langkah penting dalam transformasi kesehatan menuju Visi Indonesia Emas 2045.
Khusus dalam hal pengendalian tembakau, Fanani menyebut PP ini menandai berlakunya rezim baru pengendalian tembakau.
“Muatan pengaturan dalam PP tersebut belum mencerminkan norma pengendalian yg maksimal, tapi ada beberapa hal yang patut diapresiasi,” kata Fanani saat berbincang dengan sejumlah jurnalis di Jakarta, Rabu siang (31/07/2024).
Paling tidak, mantan Bendahara Umum PP Pemuda Muhammadiyah itu menyebut lima hal yang patur diapresiasi dari PP tersebut. Pertama, larangan penjualan rokok kepada orang di bawah 21 tahun.
“Rokok tidak boleh dijual atau diberikan secara cuma-cuma kepada individu di bawah usia 21 tahun. Sebelumnya, dalam rezim regulasi yang lama (PP 109 tahun 2012), batas usia ditetapkan 18 tahun,” kata Fanani.
Kedua, larangan penjualan rokok batangan. Dalam PP disebutkan, penjualan rokok secara satuan per batang dilarang, kecuali untuk cerutu dan rokok elektronik.
“Pengaturan ini penting karena sebagaimana temuan SKI (Survey Kesehatan Indonesia) 2023, perokok terbanyak masih di kelompok ekonomi menengah ke bawah dan pendidikan terendah yang sebagian besar membeli rokok eceran per batang,” jelas Fanani.
Ketiga, penjualan rokok dilarang dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Dengan aturan ini, kata Fanani, bisa meminimalisir potensi anak-anak dan pelajar untuk merokok.
Keempat, adanya aturan tempat khusus merokok yang harus terpisah dari bangunan utama dan jauh dari lalu lalang orang, sebagaimana diatur pasal 443 ayat (5).
Kelima, larangan merokok atau menampilkan rokok di media apapun. Hal ini diatur dalam pasal 456 yang berbunyi, “Setiap orang dilarang menyiarkan dan menggambarkan dalam bentuk gambar atau foto, menayangkan, menampilkan atau menampakkan orang sedang merokok, memperlihatkan batang rokok, asap rokok, bungkus rokok atau yang berhubungan dengan produk tembakau dan rokok elektronik serta segala bentuk informasi produk tembakau dan rokok elektronik di media cetak, media penyiaran, dan media teknologi informasi yang berhubungan dengan kegiatan komersial, iklan, atau membuat orang ingin merokok.”
“Termasuk dalam aturan ini, influencer atau netizen tak lagi boleh merokok (vape) di media sosial,” terangnya.
Sayangkan Iklan Masih Diperbolehkan
Meski memberikan apresiasi, Fanani juga memberikan sejumlah catatan atas lahirnya PP tersebut. “Kami menyayangkan Iklan masih dibolehkan,” kata dia.
Merujuk PP tersebut, larangan iklan hanya berlaku di media sosial. Iklan di media lain masih diperbolehkan seperti di website dan platform internet lainnya. Iklan di televisi masih boleh ditayangkan pada pukul 22.00 hingga 05.00, (berubah 30 menit dari aturan sebelumnya).
Larangan iklan di Media Luar Ruang juga masih diperbolehkan meski dengan ketentuan tidak boleh ditempatkan dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Fanani mengatakan, salah satu faktor determinan penyebab darurat rokok sedemikian mencemaskan adalah karena ‘sihir’ iklan.
Menurutnya, berbagai evidensi menunjukkan iklan adalah salah satu faktor yang mempunyai pengaruh signifikan menstimulasi anak muda merokok.
“Hasil riset Indonesia Institute for Social Development (IISD), 71% perokok pelajar menyatakan bahwa iklan rokok itu kreatif/inspiratif, merangsang mereka untuk merokok,” kata dia.
Kritik lainnya, adalah aturan tentang peringatan kesehatan yang hanya 50 persen di bungkus rokok. Sesuai Pasal 438 Ayat (4) huruf e, Pictorial health warning (PHW) pada kemasan rokok harus menempati 50 persen dari bagian atas kemasan sisi lebar depan dan belakang.
Dengan aturan ini, artinya hanya ada kenaikan 10 persen saja dari aturan sebelumnya yang menetapkan PHW 40 persen.
“Padahal berbagai riset menunjukkan PHW hanya efektif dalam besaran di atas 80 persen,” kata Fanani.
Terpenting, kata Fanani, pengesahan PP No. 28 Tahun 2024 ini tak serta merta menjadi akhir dari darurat candu tembakau. Namun setidaknya ini menunjukkan kehendak baik dari pemerintah untuk memperbaiki kondisi.
“Beberapa aturan progresif dalam PP tersebut, seperti larangan penjualan kepada orang di bawah 21 tahun, dan larangan penjualan eceran per batang, masih membutuhkan pengaturan teknis yang kompleks,” kata dia.
Ia menegaskan pentingnya pengawalan terhadap implementasi PP Kesehatan ini agar semua pihak mematuhi aturan yang ditetapkan demi kesehatan masyarakat.
Sebelumnya pemerintah telah merilis aturan pelaksana dari Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024.
PP yang terdiri atas 1172 pasal ini ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 26 Juli 2024 dan diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, pada hari yang sama.
Salah satu aspek penting yang diatur dalam PP ini adalah ketentuan mengenai Pengendalian Zat Adiktif (Produk Tembakau).