JAKARTA (DesentraLNEWS) – Lembaga Riset Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) menanggapi apa yang disampaikan Presiden Jokowi dalam Pidato Kenegaraan terkait prestasi pembangunan infrastruktur selama 10 tahun kepemimpinan-nya.
Peneliti IDEAS, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa meski pemerintah telah mengalokasikan anggaran besar untuk Proyek Strategis Nasional (PSN), namun arus besar pembangunan infrastruktur prioritas di sepanjang 2016-2023 ini terlihat tidak berdampak pada kesejahteraan rakyat banyak.
“PSN yang telah dijalankan secara masif, seperti pembangunan jalan tol, hilirisasi tambang, dan pengembangan destinasi wisata super prioritas, seharusnya dapat memberikan dampak signifikan terhadap pengurangan kemiskinan. Namun, kenyataannya, sebagian besar penurunan angka kemiskinan lebih banyak disumbangkan oleh program-program bansos yang diluncurkan pemerintah,” kata Sri Mulyani dalam keterangan tertulisnya pada Jum’at (16/08/2024).
Berdasarkan kajian IDEAS terhadap PSN Infrastruktur Jalan Tol (Nganjuk dan Pasuruan), PSN Hilirisasi Tambang (Morowali dan Halmahera Tengah) dan PSN Parawisata Prioritas (Manggarai Barat dan Lombok Tengah) menunjukan bahwa pembangunan infrastruktur dan hilirisasi tambang belum berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan signifikan mengurangi kemiskinan.
“Di lokasi dibangunnya PSN, progres penanggulangan kemiskinan berlangsung sangat lamban setelah PSN tersebut berjalan. Penurunan kemiskinan terjadi secara progresif justru terjadi di era sebelum PSN dibangun,” tutur Sri Mulyani.
Pembangunan jalan tol sering dilekatkan dengan rasionalitas antara permintaan perjalanan dan pertumbuhan ekonomi. Jalan tol menurunkan biaya logistik, memperbaiki rantai pasok, meningkatkan perdagangan dan mendorong industrialisasi.
“Namun kini semakin banyak bukti yang menunjukkan kontra argumen yang memutus keterkaitan infrastruktur transportasi dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif,” ujar Sri Mulyani.
Sejak Desember 2018, dua kota terbesar di Indonesia, Jakarta dan Surabaya, berhasil tersambung dalam jaringan tol trans Jawa. Kabupaten Nganjuk menjadi salah satu daerah yang banyak terdampak dengan pembangunan jalan tol di era Presiden Jokowi ini.
Pasca akselerasi pembangunan jalan tol, angka kemiskinan Kabupaten Nganjuk terlihat menurun namun lamban.
“Angka kemiskinan turun hanya 0,25 persen per tahun dari 13,14 persen pada 2014 menjadi 10,89 persen pada 2023, dengan jumlah penduduk miskin turun hanya 2.300 jiwa per tahun dari 137 ribu jiwa menjadi 116 ribu jiwa,” ungkap Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, hal tersebut berbeda jauh dari pengalaman Kabupaten Nganjuk di era tanpa jalan tol dimana angka kemiskinan turun secara progresif. Angka kemiskinan turun hingga 1,75 persen per tahun dari 25,83 persen pada 2006 menjadi 13,60 persen pada 2013, dengan jumlah penduduk miskin turun hingga 16.400 jiwa per tahun dari 225 ribu jiwa menjadi 141 ribu jiwa.
“Seiring sistem jejaring jalan tol yang semakin maju, pembangunan jalan tol baru hanya berkontribusi kecil pada produktivitas dan seringkali hanya merelokasi aktivitas ekonomi pada jarak yang tidak berjauhan. Meski jalan tol menurunkan biaya produksi bagi industri yang intensif menggunakannya, namun manfaatnya semakin menurun seiring waktu,” ucap Sri Mulyani.
Sri juga menyoroti kebijakan hilirisasi tambang yang diklaim pemerintah akan menciptakan kesejahteraan dan akan membawa Indonesia menjadi negara maju.
Selain penerimaan fiskal dari pajak ekstraktif dan penciptaan lapangan kerja, argumen untuk adopsi strategi hilirisasi tambang seringkali juga di dasarkan pada nasionalisme ekonomi untuk penciptaan nilai tambah yang lebih tinggi di dalam negeri melalui industrialisasi berbasis komoditas tambang.
“Terjangan hilirisasi nikel menerpa Kabupaten Morowali terutama sejak beroperasinya Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) pada 2015. Hanya dalam 5 tahun, setengah dari produksi nikel Indonesia berasal dari kawasan IMIP yang mengukuhkan diri sebagai kawasan industri pengolahan nikel terbesar di Asia Tenggara,” kata Sri Mulyani.
IMIP seketika merubah wajah Kabupaten Morowali secara drastis dan melambungkan pertumbuhan ekonomi daerah.
“Secara angka, hilirisasi memang menaikan PDRB namun terlihat tidak berdampak luas bagi perekonomian lokal. Merepresentasikan kekuatan kapital global yang mengendalikan industri hilirisasi nikel yang terintegrasi secara vertikal, IMIP gagal menciptakan pertumbuhan inklusif di Kabupaten Morowali,” tutur Sri Mulyani.
Berdasarkan temuan IDEAS, pasca pembangunan infrastruktur hilirisasi industri pengolahan nikel, angka kemiskinan Kabupaten Morowali menurun namun lamban, hanya 0,47 persen per tahun, turun dari 16,37 persen pada 2015 menjadi 12,59 persen pada 2023, dengan jumlah penduduk miskin turun hanya 523 jiwa per tahun, turun dari 37.600 jiwa menjadi 33.413 jiwa.
“Hal ini berbeda jauh dari pengalaman Kabupaten Morowali di era pra-hilirisasi dimana angka kemiskinan turun secara progresif. Angka kemiskinan turun hingga 1,90 persen per tahun, dari 30,14 persen pada 2006 menjadi 14,97 persen pada 2014, dengan jumlah penduduk miskin turun hingga 2.263 jiwa per tahun, dari 52 ribu jiwa menjadi 34 ribu jiwa,” ujar Sri Mulyani.
Pengalaman daerah sentra hilirisasi nikel ini secara jelas menunjukkan minimnya dampak kesejahteraan hilirisasi yang dapat ditelusuri dari fakta bahwa pertumbuhan tinggi daerah kaya nikel tersebut nyaris sepenuhnya berasal dari investasi swasta asing dan aktivitas ekspor – impor.
“Investasi besar dalam bentuk impor kapital dan teknologi, diikuti ekspor hasil hilirisasi, membuat keterkaitan dan dampak hilirisasi terhadap perekonomian lokal menjadi sangat minim,” tutur Sri Mulyani.
Daerah sentra nikel yang semula didominasi ekonomi rakyat berbasis pertanian dan perikanan, secara drastis kini dikuasai kapital raksasa global yang mengeksploitasi dan mengolah nikel untuk kemudian mengekspor hasilnya. Dengan keterlepasan hilirisasi dari sumber penghidupan utama masyarakat, tidak heran bila kemudian pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi akibat hilirisasi nikel, tidak memberi manfaat bagi masyarakat lokal.
Sri Mulyani berkesimpulan bahwa lompatan struktural daerah kaya nikel gagal menciptakan pembangunan inklusif, dan menjadi lebih terlihat sebagai penghisapan sumber daya lokal untuk kepentingan kapitalis global.
Selain PSN Jalan tol dan Hilirisasi Tambang, Sri Mulyani juga menyoroti pengembangan destinasi wisata unggulan di Kabupaten Lombok Tengah, yaitu di Kawasan Mandalika. KEK Mandalika dibangun sebagai kawasan pariwisata terpadu tepi pantai dengan standar infrastruktur pariwisata kelas dunia mulai dari hotel dan resort, area komersial, taman hiburan hingga fasilitas olahraga yaitu sirkuit internasional dan lapangan golf.
Seiring transformasi Mandalika sebagai destinasi wisata tingkat dunia, pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lombok Tengah terdongkrak naik.
“Namun dampak kesejahteraan dari pembangunan destinasi wisata tingkat dunia ini terlihat rendah. Angka kemiskinan Kabupaten Lombok Tengah menurun namun lamban, hanya 0,43 persen per tahun, turun dari 18,14 persen pada 2011 menjadi 12,93 persen pada 2023, dengan jumlah penduduk miskin turun hanya 2.355 jiwa per tahun, turun dari 158 ribu jiwa menjadi 130 ribu jiwa,” beber Sri Mulyani.
Pengalaman pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lombok Tengah di era pra destinasi wisata prioritas justru jauh lebih inklusif dengan angka kemiskinan mampu turun secara progresif.
“Angka kemiskinan turun hingga 2,02 persen per tahun, dari 27,98 persen pada 2006 menjadi 19,92 persen pada 2010, dengan jumlah penduduk miskin turun hingga 14.900 jiwa per tahun, dari 231 ribu jiwa menjadi 171 ribu jiwa,” papar Sri Mulyani.
“Infrastruktur adalah input penting untuk pembangunan. Namun, tanpa visi dan afirmasi yang kuat, dorongan besar melalui investasi infrastruktur bisa menjadi sia-sia tanpa dampak yang berarti pada produktivitas, pemerataan dan kemiskinan,” tutup Sri Mulyani.