KETERANGAN ISTRI USTADZ MAAHER AT-THUWALIBI DAPAT MENJADI PINTU MASUK BAGI DPR RI, KOMNAS HAM RI DAN OMBUDSMAN RI MELAKUKAN PEMERIKSAAN?
JAKARTA – Mengutip pernyataan istri ustadz Maheer at-thualibi yang dipublikasikan di website kantor berita JPNN, menyatakan pada pokoknya kurang lebih sebagai berikut :
“Kami sudah berupaya minta penangguhan tetapi sepertinya penyidik tidak mengindahkannya. Padahal alasan kami jelas, minta tolong mengobati sakit suami saya dulu”
“Suami saya enggak akan lari. Kami hanya minta tolong diberikan kesempatan untuk merawatnya sampai sembuh”
“Baru tujuh bulan rawat jalan, suami saya ditahan, akhirnya rawat jalan terhenti walaupun obatnya tetap diminum”
“Terakhir bertemu suami didampingi pengacara, saya lihat kok suami saya makin kurus makanya kami coba lagi minta penangguhan tetapi tidak dikabulkan.”
Diceritakan ibu dua anak ini, Ustaz Maaher menderita TB usus. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberkulosis. Bakteri ini umumnya menyerang sistem pernapasan.
Berdasarkan hal tersebut diatas saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:
PERTAMA, bahwa sebagaimana yang saya tulis dalam legal opini yang sebelumnya banyak pertanyaan yang mengganggu batin saya, mungkin juga masyarakat. Apabila keterangan istri ustadz Maheer at-thualibi adalah benar, mungkin dapat dijadikan bagi DPR RI, KOMNAS HAM RI dan OMBUDSMAN RI untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut apakah ada dugaan pelanggaran HAM atau apakah ada dugaan maladministrasi atau malprosedur atau apakah ada dugaan kesengajaan?. Kasus ini adalah sebuah ironi di tengah semangat penahanan yang dilakukan guna merehabilitasi orang bukan tempat pencabutan nyawa. Kasus kematian tahanan karena sakit semestinya dapat dicegah apabila melakukan identifikasi dini berupa pemeriksaan medis fisik dan jiwa terhadap tersangka atau tahanan. Jika hasil pemeriksaan medis menunjukkan bahwa kondisi kesehatan tahanan buruk, maka dapat mengambil pilihan lain untuk melakukan penahanan alternatif atau pengalihan jenis penahanan;
KEDUA, bahwa yang dimaksud dengan pengalihan jenis penahanan ialah mengalihkan status penahanan dari jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain. Jenis penahanan yang dimaksud terdiri dari rutan ke tahanan rumah dan tahanan kota. Pengalihan jenis penahanan dapat diberikan dengan pertimbangan adanya permohonan dari pihak tersangka yang disertai dengan alasannya; hasil pemeriksaan medis tentang kondisi kesehatan tersangka;
KETIGA, bahwa Setiap orang tanpa terkecuali memiliki hak asasi manusia (HAM), termasuk hak atas kesehatan, yang sama. Hak atas kesehatan dapat ditemukan di banyak instrumen hukum dan HAM internasional maupun nasional. Aturan mengenai hak atas kesehatan dalam instrumen internasional dapat ditemukan pada Pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Kemudian Peraturan Mandela (Mandela Rules), yang mengatur bahwa hak atas kesehatan harus setara antara penghuni penjara dan orang-orang di luar penjara. Selanjutnya Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang pada intinya mengatur setiap orang dalam kondisi apapun berhak mendapatkan pemenuhan hak atas kesehatannya, termasuk jika ia sedang menghadapi perkara pidana. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyebut bahwa narapidana berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.
Demikian pendapat hukum (legal opini) saya sampaikan.
Salam hormat,
Chandra Purna Irawan SH MH
(Ketua LBH PELITA UMAT & BHP KSHUMI)
IG @chandrapurnairawan