Salah satu pilar demokrasi. Itulah keberadaan dan peran partai politik (parpol). Konsekuensinya, bangsa dan negara manapun yang menghendaki wujudnya sistem demokrasi harus memberikan ruang gerak pada parpol. Yang perlu kita cermati lebih jauh, apakah sistem demokrasi otomatis terwujud manakala parpol eksis berperan dominan?
Tidak. Dalam beberapa hal, eksistensi dan peran parpol justru menjadi faktor destruktif perjalanan sistem demokrasi, apalagi jika ia parpol besar dan dominan menguasai parlemen dan pemerintahan. Hal inilah yang membuat sebagian publik menilai miris terhadap parpol. Di mata publik ini, parpol hanya dilihat sebagai instrumen menuju kepentingan sempit personal atau kelompok tertentu yang kadang tidak menghargai reaksi negatif sejumlah masyarakat. Suara kritis publik dandang sebelah mata.
Bahkan, tak sedikit terjadi gerakan kontrarian atas nama demokrasi ideal dihadapi dengan laras atau represif. Hal ini di mata parpol penguasa justru mendapat pembenaran. Tak disadari, sikap politik itu melukai hati nurani rakyat. Tidak sesuai dengan ruh utama parpol sebagai pilar demokrasi yang sejatinya menjunjung tinggi hak-hak rakyat. Karena itu, sebagian publik yang masih menaruh harapan (berfikir positif) terhadap parpol, mereka mendambakan jatidiri parpol yang memang benar-benar menjalankan peran politik yang menimbuhkan demokrasi yang berkualitas. Prinsipnya, masih ada kaum ideolog dalam insan parpol. Mereka siap menghadirkan parpol sekaligus membumikannya yang sejalan dengan cita-cita demokrasi ideal itu.
Kalangan pejuang tersebut itulah yang kemudian terpanggil untuk mengkiritisi otoritas atau kewenangan parpol yang tampak sentralistik. Kewenangan mutlak garis partai ada di Dewan Pengurus Pusat (DPP) layak dikoreksi secara mendasar, karena dinilai menjadi faktor impotensi, setidaknya memperlemah peran parpol yang sesungguhnya. Tak sesuai dengan ekspektasi publik secara meluas.
Fakta bicara, kekuasaan parpol yang sentralistik ini hanya memfasilitasi kepentingan para elit tertentu, karena faktor feodal (trah barah biru), atau faktor kecukupan finansial. Feodalitas dan atau budaya oligarki ini jelas memasung hak publik dalam berpolitik. Inilah panorama ketidakadilan dalam berpolitik. Sungguh memprihatinkan manakala ketidakadilan itu menerpa kaum potensial, yang sesungguhnya sangat dinanti peranannya untuk kepentingan publik yang multi keinginan itu.
Dan secara kelembagaan, sentralisme parpol membuat peran pengurus di bawahnya Dewan Pengurus Wilayah (DPW) dan Pengurus Daerah (DPD), apalagi pengurus tingkat kecamatan, kelurahan hanya menjadi instrumen bagi kepentingan taktis dan strategis DPP yang belum tentu sejalan dengan kepentingan kepengurusan daerah. Dengan demikian, sejatinya DPW, DPD dan atau fungsionaris di bawahnya sama sekali tak memiliki kewenangan.
Kita perlu mengkritisi, sentralisme absolut Pusat sering berdampak negatif pada sejumlah perbedaan cara pandang dan artikulasi politik. Ketika Pusat melalui perwakilannya di DPR RI merancang-bangun kebijakan yang bersifat nasional, hal ini sering menjadi masalah manakala output legislasi tidak senafas dengan keinginan dan kepentingan luas, termasuk mereka yang tinggal di daerah. Para pengurus parpol di daerah termasuk kadernya yang masuk ke parlemen daerah sama sekali tak berdaya ketika masyarakat di daerah menunjukkan keberatan atas produk legislasi DPR RI. Benar-benar menjadikan fungsionari dan kader DPW dan atau DPD terbebani oleh langkah politik Pusat, meski beberapa wakil yang duduk di singgasana DPR RI berasal dari daerah.
Meski sejumlah wakil itu dari daerah, tapi loyalitasnya pada komando DPP, bukan daerah. Cara pandang yang menihilkan posisi DPW dan atau DPD menjadikan kepentingan daerah akan selalu dipandang sebelah mata. Hal ini dapat kita baca dengan jelas pada panorama UU Omnibus Law yang mengundang gelombang reaksi negatif secara ekstensif. Reaksi ini sekali lagi membuat DPW, DPD bahkan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) tak bisa bicara konkret terhadap komponen publik yang menuntut pembatalannya.
Dalam panorama lain, seperti masalah pemilihan kepala daerah (pilkada), DPW dan atau DPD benar tak berdaulat, apalagi mandiri. Sentralisme dan kewenangan penuh DPP membuat DPW dan DPD hanya menjadi instrumen pengantar bidodata kandidat. Surat sakti (rekomendasi) yang menjadi alat sah dan tidaknya untuk proses politik menuju kontestasi pilkada tetap di tangan DPP.
Landasan UU Pemilu tersebut membuat posisi DPW dan atau DPD apalagi Dewan Pengurus Kecamatan dan Kelurahan/desa benar-benar tak punya otoritas atau kekuasaan. Sebagai lembaga politik yang sah, tapi tak punya kedaulatan dan kemandirian. Hal ini jelas paradoks dengan fitrah manusia yang berhak bersyarikat dengan back up kedaulatan dan kemandirian.
Yang perlu kita catat lebih spesifik, sentralisme kekuasaan DPP sering berdampak lebih jauh: konflik internal yang tidak mengharmoniskan hubungan DPP DPW/DPD. Bahkan, sering terjadi, karena dominasi campur-tangan pusat, mengakibatkan suasana kepengurusan daerah sering terjadi dualisme dan akhirnya konflik yang sulit dihindari. Panorama ini sering menampak jelas, terutama saat menghadapi pesta demokrasi dalam memilih calon kepala daerah.
Panorama tersebut tentu tidak sehat. Karena itu harus dicari kerangka solusi permanen. Bukan hanya cara mencegah terjadinya konflik internal musiman, tapi bagaimana memperkuat kiprah parpol yang menyeluruh. DPP harus kuat. Dan kepengurusan parpol di daerah juga harus kuat. Hal ini akan terbangun konstruksi baru dalam warna politik, yakni masing-masing level kepengurusan akan mampu memberikan kinerja terbaiknya (kemanfaatan nyata) untuk masyarakat, dari level nasional hingga daerah.
Daerah Menjadi Episentrum Kekuatan
Dalam kaitan itulah posisi kepengurusan daerah harus memiliki hak dan kewenangan untuk mengembangkan diri dan hal ini harus dilandasi prinsip kemandirian, sehingga DPW dan atau DPD benar-benar berdaulat. Jatidiri ini bukan hanya akan mendorong partai untuk melakukan peran maksimal dan produktifnya, tapi kemanfaatannya bagi kepentingan publik di daerah. Dan kultur parpol seperti inilah yang selalu dinanti.
Daerah harus menjadi episentrum kekuatan parpol, atau fondasi rancang-bangun parpol. Dan karena itu para fungsionaris di wilayah atau daerah dalam perspektif sistem parpol yang produktif, menjalankan misi keadilan, sekaligus berpotensi besar untuk mengahdirkan sestem demokrasi maka tak ada kata lain bahwa wilayah dan daerah harus berdaulat dan atau diberi kewenangan yang penuh oleh Pusat. Kewenangan ini akan membuat fungsionaris wilayah dan daerah bisa mandiri, dapat menentukan nasib ke depannya secara jelas, tanpa bayang-bayang Pusat.
Otoritas wilayah dan atau daerah itulah dalam sistem politik kita kenal dengan istilah sistem distrik. Penguasa wilayah dan atau daerah dituntut untuk menciptakan mekanisme politik yang siap mengantarkan kandidat terbaiknya dari sejumlah kandidat yang berkontestasi, bukan hanya untuk urusan kepala daerah, tapi juga dalam kaitan parlemen. Yang perlu kita catat adalah, siapapun yang tampil sebagai pemenang dalam kontestasi itu, ia bukan hanya sangat memahami kepentingan daerah yang diwakilinya, tapi ia merasa benar-benar mewakili daerahnya. Seperti satu-kesatuan atau senyawa. Hubungan sang wakil dan yang diwakilinya (rakyat) juga demikian kental. Kualitas hubungan ini di satu sisi akan memudahkan rakyat untuk mengontrolnya manakala sang wakil tak amanah. Di sisi lain, chemistry hubungan itu akan selalu mendorong sang wakil terus peduli aspirasi daerahnya. Sungguh merupakan simbiosis-mutualisme yang saling memberikan yang terbaik. Kondisi simbiosis-mutualisme ini terjadi karena kedua pihak sang wakil dan rakyat yang diwakilnya terkategori cukup saling mengenal. Tak ada cerita wakil dropping dan kenal hanya pada saat kontestasi.
Ikatan emosional itu membuat sang wakil distrik akan berjuang total untuk kepentingan daerah. Tak akan ada cerita kepura-puraan dalam pengabdian politiknya. Totalitas pengabdian ini tercipta sejak di parlemen daerah hingga pusat. Jika kita telaah secara komparatif, kita saksikan sejumlah keunggulan sistem distrik untuk urusan pembangunan pemerintahan dan atau kenegaraan. Kinerja dari sistem distrik ini menjadikan rakyat merasa terakomodasi kepentingannya. Dan inilah yang perlu kita respons secara konstruktif. Sebagai garis kebijakan nasional yang boleh jadi merupakan haluan baru dalam rancang-bangun sistem ketatanegaraan. Selagi konstruktif, mengapa harus alergi terhadap corak haluan baru itu.
Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Sentralisme parpol sarat dengan panorama ketidakadilan distribusi hak berpolitik. Sebuah renungan, haruskah dipertahan perilaku parpol yang mencerminkan panorama ketidakadilan bahkan pembodohan itu? Tidak. Praktik parpol nakal seperti itu sudah seharusnya mengubah haluan dan praktik politiknya. Tentu, tidak mudah bagi parpol besar, apalagi sudah establis. Namun demikian, Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) cukup menyadari erosi budaya politik yang tidak sehat itu. Karena itu, PANDAI menawarkan sistem baru perpartaian.
DPP PANDAI akan memberikan otoritas DPW dan atau DPD agar jauh lebih berdaulat dan mandiri. DPP sangat meyakini, pemberian otoritas seperti itu akan tercipta loyalitas para fungsionaris DPW dan atau DPD. Masing-masing jenjang akan saling menghargai dan akan memberikan kontribusi terbaiknya. Perlu kita catat, kinerja DPP akan sangat terbantu oleh kinerja DPW dan DPD. DPD pun akan terbantu oleh kerja keras fungsionaris kecamatan dan di bawahnya: pengurus ranting, sampai ke ringkat RW dan RT. Dengan pemikiran simbiosis mutualisme, maka tidaklah berlebihan jika PANDAI memang partai berhaluan baru dan menjadi harapan baru. Untuk bangsa dan negeri tercinta yang berdaulat: Indonesia. Hayo, kita saling merapatkan barisan. Untuk kedigdayaan bangsa-negara yang berkeadilan. Sebuah artikulasi hak dasar yang sangat fitrah.
Medan, 27 November 2020
Orasi Politik: Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)